Postingan

Resensi Buku Dalil Sejarah TBS

Data Buku Judul               : Dalil Sejarah TBS; Resensi Kritis Buku KH. Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara Penulis            : M Abdullah Badri Penerbit          : Diroz Pustaka, Jepara Halaman         : xi + 154 halaman Terbit             : Desember 2018 TBS “Menggugat” Oleh Junaidi Abdul Munif             Di akhir 2018 jagad media sosial digegerkan dengan status facebook atas nama  Abdalla Badri yang meresensi buku KH. Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara (di buku ini disebut SAQ). Status tersebut menuai banyak komentar dan menuntut klarifikasi dari penulis buku SAQ. Mereka diminta meminta maaf terkait konten buku yang merendahkan nama madrasah TBS dan KH. Ma’mun Ahmad.   Abdalla Badri setidaknya menyesalkan 2 poin yang tertulis di buku karya alumni Qudsiyyah tersebut. Pertama, tuduhan bahwa TBS berkompromi dengan Belanda akibat (pernah) digunakannya School . Kedua, “pelecehan” terhadap KH. Ma’mun Ahmad yang disebut di bu

Pendidikan Karakter dari Keluarga

Pendidikan Karakter dari Keluarga Oleh Junaidi Abdul Munif             Pendidikan karakter dapat dikatakan sangat berumur tua. Rasulullah Muhammad Saw pun diutus untuk menyempurnakan akhlak, yang itu artinya membawa misi pendidikan karakter. Kemajuan bangsa Arab di zaman Nabi Muhammad rupanya menyisakan kekosongan dimensi akhlak masyarakat. Untuk itu sebelum berbicara tentang tauhid, syariat, fikih, Nabi ditugaskan menyempurnakan akhlak terlebih dahulu. Di Indonesia, pendidikan karakter merupakan salah satu isu pendidikan nasional yang menarik untuk dikaji. Berbagai karya ilmiah mulai dari skripsi, tesis, disertasi, jurnal, buku, dan artikel populer banyak membahas pendidikan karakter. Dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter seperti rumah dengan banyak pintu. Banyak cara untuk masuk ke “rumah” pendidikan karakter tersebut.       Pada tahun 2015, Mendikbud Anies Baswedan telah mengeluarkan Permendikbud No. 21 yang direvisi dengan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumb

Melindungi Anak-Anak dari Radikalisme

Melindungi Anak-Anak dari Radikalisme Oleh Junaidi Abdul Munif         Tragedi terorisme di Surabaya dan Sidoarjo memunculkan fakta yang mencengangkan, dua keluarga bersama anak-anaknya menjadi terduga peledakan bom. Keluarga Dita Oeprianto dan Puji Kuswati bersama empat buah hatinya semuanya meninggal saat meledakkan bom di tiga gereja pada Minggu pagi. Sedangkan keluarga Anton Febrianto di rusunawa Sidoarjo, ada tiga anak yang selamat. Bahkan ada satu anak Anton yang selamat dari pemikiran orangtuanya karena memilih sekolah dan tinggal bersama neneknya.             Pelaku terorisme semakin menakutkan karena telah melibatkan anak-anak sebagai martir. Kita tidak tahu apakah anak-anak tersebut secara sadar memilih ikut bunuh diri bersama orangtuanya. Atau mereka telah dibohongi orangtuanya, tidak tahu bahwa yang dibawanya adalah bom. Fenomena ini sebetulnya juga bukan perkara baru. Bahwa pemikiran radikal telah menyusup ke ruang-ruang sekolah, melalui ekstrakurikuler keislam

Ibu, Ujung Tombak Pendidikan

Ibu, Ujung Tombak Pendidikan Oleh Junaidi Abdul Munif             Pendidikan di Indonesia mengarah pada model sekolahan. Peran keluarga, -dan terutama ibu-, mulai tergeser. Padahal keluarga Keluarga mempunyai peran untuk melindungi anak dengan memberikan pola asuh yang sesuai dengan prinsip yang digunakan dalam pembangunan Anak Indonesia, yang mengacu pada KHA (Konvensi Hak Anak) yaitu Non Diskriminasi; Kepentingan Terbaik bagi Anak; Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan; dan Menghargai Pandangan Anak. Terlebih ketika para ibu juga disibukkan untuk mencari nafkah bagi keluarga, semakin sedikit waktu yang tercurah untuk anak. Akan tetapi, ada pola yang sebetulnya linier, bahwa waktu sekolah anak sama dengan waktu kerja, khususnya ibu. Orangtua yang mendidik anak secara langsung sangat penting karena orangtua yang lebih tahu karakter anak, sehingga tahu cara mengarahkan potensi anak.             Tentu kita tidak mungkin mengharapkan ibu berperan seperti guru yang

Kebangkitan Ilmu Politik Nusantara

Gambar
Data Buku Judul                           : Pesantren Studies 4a; Buku IV; Khittah Republik Kaum Santri dan Mada Depan Ilmu Politik Nusantara Penulis                     : Ahmad Baso Penerbit                    : Pustaka Afid Jakarta Tahun                       : April 2013   Tebal                         : xiv + 437 halaman Kebangkitan Ilmu Politik Nusantara Oleh Junaidi Abdul Munif Selama ini pesantren distigmatisasi sebagai lembaga pendidikan yang fokus pada ilmu agama Islam an sich , sehingga dicap sebagai lembaga yang kolot, tertinggal dengan ilmu-ilmu yang dianggap modern. Pesantren juga dianggap gagap menghadapi perubahan zaman, karena masih mempertahankan ciri khasnya yang klasik. Sementara kehidupan bergerak cepat dengan modelnya yang sekuler, atau anti dengan pemikiran agama yang dituduh rigid (kaku). Stigmatisasi pesantren sebagai “akar fundamentalisme” Islam mengemuka ketika isu terorisme banyak bertebaran pelaku bom bunuh diri yang

Membangun Karakter Pelajar Indonesia

Gambar
Data Buku Judul                         : Hidup Ini Keras, Maka Gebuklah! Penulis:                    : Prie GS    Penerbit                   : Visimedia Cetakan                    : 2012   Tebal                         : x ii + 574 halaman ISBN                          : 978- 065 - 149-X Membangun Karakter Pelajar Indonesia Oleh Junaidi Abdul Munif Pendidikan menjadi jantung kemajuan bangsa. Sebuah bangsa akan maju dan dapat berperan dalam dinamika global ketika pendidikan yang dijalankan berkualitas dan melahirkan lulusan yang berkualitas pula. Berkualitas luar dan dalam, dalam artian lulusan pendidikan Indonesia memiliki hard skill yang dapat bersaing dengan lulusan negara lain. Tapi lulusan kita juga punya soft skill , yang merupakan ejawantah dari kultur, nilai, dan watak masyarakat Indonesia yang berlangsung sejak nenek moyang kita ratusan (mungkin ribuan) tahun lalu. Dalam proses untuk mengejar kemajuan tersebut, kurikulum sebagai instrumen da

Wajib Belajar atau Wajib Sekolah?

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memiliki program wajib belajar 12 tahun. Sebelumnya , kita akrab dengan program wajib belajar 9 tahun. Perkembangan zaman memaksa pemerintah untuk menaikkan standar minimal belajar , agar anak-anak Indonesia tidak tertinggal oleh anak-anak dari negara (yang dianggap) maju. Kendati dinamakan wajib belajar, yang dimaksud program ini adalah wajaib sekolah 12 tahun. Seperti dikatakan Men teri Anis Baswedan, “kalau sudah wajib belajar, jika tidak sekolah, anak bisa kena sanksi. Semua harus belajar ( Kompas, 30/10 ). Artinya, anak-anak minimal harus lulus setingkat SMA. Rincian nya adalah SD (6 tahun), SMP (3 tahun) dan SMA (3 tahun). Kita tampaknya begitu mudah dan tanpa beban menukar “sekolah” dengan “belajar”, seolah dua kata ini bersinonim. Sekolah dan belajar tentu saja adalah dua kegiatan yang sangat berbeda. Sekolah memiliki konsekuensi berupa ruang kelas, guru, mata pelajaran, jam pelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran yang terencan