Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2015

Lonceng Kematian PTS

Lonceng Kematian PTS oleh Junaidi Abdul Munif Tahun 2015 akan mulai diberlakukan Asean Community (Komunitas ASEAN), sebagai kelanjutan dari organisasi ASEAN yang saat ini masih membatasi diri untuk tidak masuk terlalu jauh ke dalam urusan (kebijakan) dalam dan luar antar-anggota ASEAN. Misi dari Komunitas ASEAN (KA) adalah kelanjutan dari tujuan pembentukan ASEAN, yakni untuk memajukan kehidupan ekonomi, politik, dan sosial-budaya di kawasan ASEAN yang menjadi organisasi regional terbaik di dunia. Ada harapan dan kecemasan untuk menyongsong diberlakukannya KA mulai 31 Desember 2015, di mana kesepakatannya ditandatangi di Pnom Penh (Kamboja) pada 2013. Kecemasan itu terkait dengan kesiapan Indonesia yang saat ini masih dianggap mengkhawatirkan, sementara bisa jadi KA akan melecut kebangkitan Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara ASEAN, terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. KA merupakan pintu masuk ke urusan “perut” antar-anggota ASEAN. Secara tersurat, hal i

Membangkitkan Roh KTSP

Membangkitkan Ruh KTSP Oleh Junaidi Abdul Munif Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang moncer sejak 2006, ternyata kini “mati angin”. Hal ini mengulang kegagalan kurikulum CBSA maupun KBK yang juga tumpul akibat kompleksitas kesalahan yang tidak total dibenahi. Paradigma KTSP menggunakan model pendekatan link and match, di mana sekolah berperan aktif menjadi agen perubahan di masyarakat. Implementasi KTSP mesti dirasakan oleh masyarakat sekitar sekolah. Perubahan kurikulum dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah sesuatu yang niscaya. Namun sayangnya, perubahan kurikulum tersebut sering tampak hanya perubahan nama, sedangkan substansinya tetap sama. Ada jarak yang menganga lebar antara konsep dan praksis, sehingga kurikulum yang berubah-ubah itu tak juga mengubah insan pendidikan secara menyeluruh, baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sudah banyak kritik terhadap kurikulum di Indonesia yang terlalu sarat dengan mata pelajaran. Setidaknya, kurikulum
Mobil Esemka dan Uji Nyali Pemerintah Oleh Junaidi Abdul Munif Saat ini SMK sedang digembar-gemborkan sebagai lembaga pendidikan yang akan mampu mencetak tenaga-tenaga terampil di bidang tertentu. Pemerintah menargetkan bahwa tahun 2020-2025 jumlah SMK dan SMA adalah 70:30. Dari sini jelas terlihat arah filosofis dan praksis kebijakan pemerintah di bidang pendidikan anak bangsa. Saya pernah beranggapan bahwa penggenjotan SMK adalah sebentuk “megaproyek” untuk membuat anak Indonesia hanya menjadi pekerja di negeri sendiri. Alasan ini saya kemukakan karena melihat beberapa faktor prediktif-asumtif. Pertama, arah yang belum jelas (antara kreasi atau sekadar produksi) yang diharapkan dari SMK. Kedua, produk yang belum jelas (atau sengaja tidak diekspose?) dari SMK. Ketiga, kultur latah masyarakat yang ramai-ramai mengajukan izib untuk mendirikan SMK baru tanpa melihat kemampuan finansial dan SDM yang akan mendukung. Keempat, sikap ambigu dan setengah-setengah dari pemerintah untuk me

Sekolah, Internet, dan Pendidikan di 3T

Sekolah, Internet dan Pendidikan di 3T Oleh Junaidi Abdul Munif Kebutuhan teknologi dalam dunia pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah diyakini adalah sebuah keniscayaan. Teknologi memegang sebuah diktum, membuat hidup semakin mudah dan menyenangkan. Dulu televisi dan video jadi alat pembelajaran dan siswa diharapkan lebih menyenangi materi pelajaran. Pembelajaran dengan audio visual juga dapat marangsang emosi siswa, terutama untuk memunculkan rasa empati. ICT (information communications and technology) menjadi medium bagi guru untuk mengajar siswa. Tahun 2001 pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (inpres) No. 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Telematika di Indonesia, yang dapat menjadi legalitas dunia pendidikan untuk terlibat aktif (Dodi Nandika, 2007). Guru kini seolah wajib memiliki laptop, dan menyampaikan materi pelajaran dengan LCD dan power point. Penggunaan kertas dapat dikurangi karena tugas bisa ditulis komputer dan dikumpulkan melalui imel. K

Sekolah belum Siap Meluluskan

Sekolah Belum Siap Meluluskan Oleh Junaidi Abdul Munif Pelajar di Indonesia selama ini mafhum bahwa ujian adalah penentu naik kelas atau lulus dalam jenjang persekolahan. Mereka akan belajar sungguh-sungguh menjelang ujian dan ikut bimbingan belajar demi lulus ujian nasional (UN). Pelbagai cara dilakukan agar siswa lulus, termasuk cara-cara curang; mencontek atau guru memberi kunci jawaban. Tidak sedikit pula pihak-pihak yang memanfaatkan momentum UN untuk menjual kunci jawaban. Yang cukup menggelikan, ada orangtua dan siswa mendatangi “orang pintar” meminta diberi doa-doa dan pensil yang bernilai magis. Sekolah menggelar doa bersama, mengundang pemuka agama untuk mengajak seluruh pihak sekolah memohon Yang Kuasa agar siswa-siswi dimudahkan mengerjakan soal. Ujian nasional mulai bergeser dari hal yang profan ke profetik. Dari situ terlihat bahwa ujian adalah momentum yang sangat penting bagi siswa dan wali murid. Ada beban psikologis dan sosial ketika pelajar tidak naik kelas atau t