Sekolah, Internet, dan Pendidikan di 3T

Sekolah, Internet dan Pendidikan di 3T Oleh Junaidi Abdul Munif Kebutuhan teknologi dalam dunia pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah diyakini adalah sebuah keniscayaan. Teknologi memegang sebuah diktum, membuat hidup semakin mudah dan menyenangkan. Dulu televisi dan video jadi alat pembelajaran dan siswa diharapkan lebih menyenangi materi pelajaran. Pembelajaran dengan audio visual juga dapat marangsang emosi siswa, terutama untuk memunculkan rasa empati. ICT (information communications and technology) menjadi medium bagi guru untuk mengajar siswa. Tahun 2001 pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (inpres) No. 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Telematika di Indonesia, yang dapat menjadi legalitas dunia pendidikan untuk terlibat aktif (Dodi Nandika, 2007). Guru kini seolah wajib memiliki laptop, dan menyampaikan materi pelajaran dengan LCD dan power point. Penggunaan kertas dapat dikurangi karena tugas bisa ditulis komputer dan dikumpulkan melalui imel. Kini, 13 tahun sejak terbit inpres tersebut, dunia pendidikan belum sepenuhnya menjadi lahan subur untuk menyemaikan teknologi, terutama teknologi informasi. Kompas (22/11/14) melaporkan ada 270.000 sekolah di seluruh Indonesia. Tahun ini koneksi internet telah menjangkau 100.227 yang kebanyakan SMA/SMK. Daerah 3 T (terdepan, terluar, dan tertinggal) belum banyak tersentuh. Alasannya, belum ada jaringan listrik yang masuk. Tapi benarkah sekolah, -tanpa terkecuali- membutuhkan teknologi (terutama internet) untuk memudahkan proses pembelajaran? Internet memang menyediakan hampir segala informasi yang dibutuhkan manusia. Asalkan memiliki perangkat komputer/laptop, gawai, dan jaringan, begitu mudah internet diakses. Cukup mengetik kata kunci tertentu, dan mesin pencari google akan menampilkan berbagai situs. Kita boleh beranggapan bahwa masa depan kehidupan dunia ditentukan oleh penguasaan iptek, terutama internet. Tetapi pendidikan tidak semata berorientasi pada masa depan. Yang lebih penting adalah, pendidikan harus membuat manusia mengenali dirinya, sadar sebagai subjek, menentukan masa depannya bersama orang lain, lebih manusiawi, adil dan padu (T. Mulya Lubis, Prisma, No. 7, Juli 1980). Artinya, proses pendidikan dimulai dengan memahami persoalan saat ini, dan mengenali potensi diri untuk menyelesaikan persoalan itu. Pemenuhan infrastruktur Penyediaan listrik menjadi masalah utama, karena belum meratanya penyaluran listrik di daerah 3 T. Selanjutnya adalah kemampuan guru dan murid untuk menggunakan internet. Belum lagi soal reparasi komputer, baik hardware maupun software. Tanpa penyediaan infrastruktur yang memadai, komputer dan internet akan jadi barang yang mubazir. Di kota-kota besar dan kecil, mudah ditemukan warnet dan anak-anak yang memegang peranti teknologi mutakhir. Selain sebagai alat komunikasi dan pergaulan, juga sebagai gaya hidup dan gengsi. Internet telah menjadi kultur anak-anak muda perkotaan. Anak-anak pedesaan pun banyak yang mengenal internet, salah satunya sebagai upaya menyetarakan diri dengan anak-anak kota, biar dianggap sah sebagai anak kandung zaman. Internet memiliki dampak yang cukup serius, bagi masyarakat yang tak memiliki budaya baca yang kuat, hanya ingin yang instan. Rentan melahirkan generasi copy paste. Umberto Eco (2004) dalam sebuah wawancara, nyinyir dengan internet karena media ini menyediakan banyak sekali data. Internet telah menjadi media yang hiperteks. Di kalangan mahasiswa, sebetulnya kita pun mudah menjumpai mahasiswa yang memiliki peranti teknologi canggih namun hanya digunakan sekian persen saja dari fungsi benda tersebut. Laptop digunakan untuk menonton film, mendengarkan musik, atau bermain game. Jaringan internet pun tidak sedikit untuk bermain facebook, twitter, atau game online. Inilah yang oleh Radhar Panca Dahana disebut sebagai gergasi konsumsi (2007). Internet bukanlah kebutuhan yang mendesak untuk sekolah kawasan 3 T. Lebih baik menyediakan infrastruktur seperti gedung sekolah, akses jalan, dan majalah, koran, buku-buku di perpustakaan. Banyak membaca buku kertas akan melahirkan generasi yang menghargai kerja intelektual sebagai intimitas. Sekaligus membangun fondasi yang kukuh ketika di kemudian waktu mesti berhadapan model media yang bekerja simultan (serentak) seperti internet. Pembelajaran dan pendidikan yang lebih utama adalah berpijak pada kebutuhan lokal. Apa yang menjadi permasalahan bagi daerah tertentu, itu yang harus diupayakan sebagai “kurikulum” berbasis lokal. Anak-anak di daerah 3 T hidup dalam kultur dan habitus agraris dan maritim. Artinya, mereka belajar langsung dari alam, selain dari sekolah yang tidak menyediakan fasilitas memadai. Pemerintah harus selektif dan tepat membaca situasi sosial, kebutuhan masyarakat, dan kearifan lokal di mana masyarakat dan sekolah berada. Revolusi mental Jargon Jokowi-JK tentang revolusi mental patut diajukan di sini. Pendidikan menjadi jalan untuk merevolusi mental pelajar kita yang tidak hanya menjadi bangsa pemakai. Dan mau tak mau, menggunakan internet terkait erat dengan revolusi mental. Mentalitas manusia Indonesia tanpa budaya baca buku kertas yang kuat, akan membuat anak-anak kita jadi generasi yang prematur, yang matang sebelum waktunya. Inilah yang berbahaya bagi proses pendewasaan anak didik, karena tidak berjalan pada aras kontinuitas yang lazim. Yang tidak bisa dinafikan adalah ketersediaan guru yang memiliki kredibilitas untuk mengajak murid memahami persoalan di daerah mereka sendiri. Di kawasan 3T, yang mendesak dilakukan adalah model pendidikan yang mendalam, di mana guru para pengajar harus menguasai pengetahuan bidang studi secara menyeluruh (Max Rafferty, 1999). Yakni guru yang sekaligus berperan sebagai inspirator, inovator, dan motivator bagi anak didiknya. Hal ini berbeda dengan sekolah di kota, tempat informasi mudah diakses. Sumber belajar tidak hanya didapatkan dari guru, bahkan guru terkadang kalah cepat dari siswa untuk urusan informasi yang sedang hangat di masyarakat atau media sosial. Di kota, guru lebih tepat sebagai pendamping dan fasilitator belajar. Internet tanpa didahului dengan kecerdasan dan habitus terhadap buku kertas, akan menyebabkan anak didik mengalami lompatan kebudayaan. Mereka semestinya menguatkan habitus baca-kertas lebih dulu sebelum mengenal internet lebih jauh. Membaca buku dengan tekun akan membuat anak didik kita memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu. Ini jadi bekal informasi yang berharga ketika berhadapan dengan internet yang lalu lintas informasinya cepat, namun tidak mendalam. Pemerintah Jokowi-JK cq Kemdikbud harus bersikap arif dan bijaksana. Ada sekolah yang sudah saatnya menggunakan internet, dan ada pula sekolah yang belum wajib menggunakan internet. Dua hal ini mesti sama-sama berkembang dengan baik. Permasalahan pendidikan masyarakat Indonesia begitu kompleks dan tidak semuanya dapat diselesaikan dengan konten internet. Pemerintah harus mendistribusikan guru-guru unggulan di kawasan 3 T, mengingat tugas mereka yang lebih berat. Dimuat Media Indonesia, 18 januari 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil