Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

GAIRAH BUKU ISLAM HOW TO

Gairah Buku Islam How To Selasa, 08/02/2011 09:00 WIB - Junaidi Abdul Munif Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang Setiap ke toko buku dan menghampiri stan yang menjual buku-buku berlabel agama Islam, perasaan saya selalu gundah. Saya melihat deretan buku-buku Islam yang tidak terlalu tebal, bersampul cukup meriah, dengan nama penulis yang entah kenapa agak kearab-araban. Buku-buku jenis ini dengan mudah dijumpai karena berada di stan yang berjajar pendek, tempat berlalu- lalangnya para pengunjung. Sementara buku-buku Islam yang lain berada di rak yang cukup tinggi, sulit dijangkau. Buku-buku di rak ini tebal-tebal, bercorak pemikiran kritis keagamaan. Menunjukkan bahwa buku-buku ini lahir dari proses pergulatan pemikiran yang panjang. Hasil kerja intelektual yang mungkin melelahkan. Gejala dunia perbukuan keislaman memang menggeliat beberapa tahun terakhir, terlebih saat bulan Ramadan tiba. Orang-orang seperti bergairah untuk kembali mempelajari Islam. M

DEMOKRASI TANPA DEMOS

Demokrasi tanpa ‘Demos’ Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Apa yang kita dapatkan dari proses demokrasi hari ini? Setelah terkurung dalam demokrasi semu (psuedo democracy) selama rezim Orde Baru, kita mengalami euforia demokrasi yang mengharu biru negeri. Kata "demokrasi" menjadi sakti untuk melawan segala bentuk kesewenang-wenangan dan status quo warisan Orde Baru. Apa yang dianggap tak sesuai dengan prinsip demokrasi akan dilawan. Demokrasi adalah subsistem dari politik. Sedangkan politik, mengacu pada Aristoteles, adalah asosiasi atau komunitas manusia untuk mewujudkan kebaikan utama (highest good) (Adian, 2010). Proses demokrasi adalah cara untuk mencapai kebaikan utama tersebut. Perkembangan demokrasi kita, yang awalnya demokrasi keterwakilan lewat legislatif, kini telah menjadi demokrasi langsung. Mereka yang duduk di legislatif maupun eksekutif benar-benar dipilih oleh rakyat. Tidak ada lagi memilih kucing dalam

DUA SISI MATA UANG

Dua Sisi Mata Uang Membicarakan dunia kampus dan organisasi sebetulnya adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Kampus yang sepi organisasi atau tanpa aktivis ibarat kampus yang hanya besar di negeri sendiri, seperti katak dalam tempurung. Gengsi kampus beberapa tahun lalu juga ditandai dengan banyak aktivis. Mereka tampil dengan jas almamater, turun ke jalan, meneriakkan yel-yel khas mahasiswa, dikejar-kejar aparat adalah hal yang biasa dilakoni oleh para aktivis. Semua kadang memberi kenikmatan dan pengalaman tersendiri bagi mahasiswa. Sejarah aktivisme kampus di Indonesia bisa dilacak ketika para mahasiswa STOVIA membentuk organisasi Boedi Oetomo pada 1908. Organisasi ini dianggap sebagai embrio kebangkitan nasional. Sejak berdirinya Boedi Oetomo, perjuangan kemerdekaan Indonesia mengalami perubahan yang signifikan, tidak melulu melalui jalur perang senjata, namun juga perang wacana nasionalisme, diplomasi, dan pembentukan or
Ironi Negeri Pemaaf Senin, 31 Januari 2011 - 11:12 wib Di sebuah negeri bernama Indonesia, harmonitas, kerukunan, gotong royong, saling membantu sesama tanpa pamrih, adalah modal sosial-kultural yang diwariskan nenek moyang selama berabad-abad. Kondisi kerukunan masyarakat menyiratkan sebuah pesan; bahwa kesalahan dan dosa adalah susuatu yang nyaris coba diabsenkan (ditiadakan) demi menjaga harmonitas tersebut. Dosa dianggap akan mencederai semangat kerukunan di masyarakat. Kendati begitu, kesalahan dan dosa adalah bagian integral dari sifat manusia. Sepanjang sejarah manusia pertama, salah dan dosa tak pernah luput mengiringi hidup manusia. Seiring perkembangan peradaban manusia, konflik antarindividu menjadi sangat kompleks. Perjuangan manusia untuk bertahan hidup, meningkatkan taraf hidup, menjadikan manusia, seperti kata Thomas Hobbes, adalah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lain). Atau Sartre mengatakan, “orang lain adalah neraka”. Dari dua tesis dua fi

ADAKAH BUDAYA KORUPSI

Kita sering mendengar istilah “budaya korupsi”. Artinya kurang lebih demikian; korupsi telah menjadi budaya di masyarakat. Wikipedia Indonesia mendefinisikan budaya sebagai “suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi”. Benarkah korupsi itu laik disebut sebagai cara hidup dan akan diwariskan dari generasi ke generasi? Apa dalih pembenarnya jika korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) disebut sebagai sebuah budaya? Menyebut korupsi sebagai budaya secara bahasa adalah sebuah kesalahan fatal. Jika percaya bahwa bahasa berpengaruh pada definisi, makna, pemahaman, dan pada akhirnya memunculkan tindakan suatu masyarakat, maka frase “budaya korupsi” adalah “dosa besar” yang membuat pembangunan infrastruktur negara tidak maksimal karena dananya dikorupsi. Dunia politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) kini menjadi njlimet karena gurita korupsi yang telah menjerat alat-alat negara tersebut. Kasu