DUA SISI MATA UANG
Dua Sisi Mata Uang
Membicarakan dunia kampus dan organisasi sebetulnya adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Kampus yang sepi organisasi atau tanpa aktivis ibarat kampus yang hanya besar di negeri sendiri, seperti katak dalam tempurung.
Gengsi kampus beberapa tahun lalu juga ditandai dengan banyak aktivis. Mereka tampil dengan jas almamater, turun ke jalan, meneriakkan yel-yel khas mahasiswa, dikejar-kejar aparat adalah hal yang biasa dilakoni oleh para aktivis. Semua kadang memberi kenikmatan dan pengalaman tersendiri bagi mahasiswa.
Sejarah aktivisme kampus di Indonesia bisa dilacak ketika para mahasiswa STOVIA membentuk organisasi Boedi Oetomo pada 1908. Organisasi ini dianggap sebagai embrio kebangkitan nasional. Sejak berdirinya Boedi Oetomo, perjuangan kemerdekaan Indonesia mengalami perubahan yang signifikan, tidak melulu melalui jalur perang senjata, namun juga perang wacana nasionalisme, diplomasi, dan pembentukan organisasi-organisasi.
Hal inilah yang oleh Beneditc Anderson disebut sebagai revolusi pemuda. Para pemuda mengambil peran yang aktif dan signifikan dalam mengerakkan semangat masyarakat untuk mendapatkan kemerdekaan. Peran pemuda lebih banyak dimainkan oleh mahasiswa karena mereka memiliki intelektualitas dan kemampuan diplomatis di banding pemuda umumnya.
Krisis
Namun kini, mahasiswa yang terlibat di organisasi kemahasiswaan mengalami krisis yang cukup akut. Minat mahasiwa untuk aktif di organisasi menurun drastis. Yang ada sekumpulan mahasiswa yang kuliah, jalan-jalan, pulang. Menjadi mahasiswa aktivis seolah adalah mahasiswa “sial” karena tak mampu mengikuti arus hedonisme-konsumerisme yang kini menggurita di kehidupan kampus kita hari ini.
Menjadi mahasiswa sekaligus aktivis-organisatoris memang dilematis. Di satu sisi, tuntutan orang tua agar anaknya rajin kuliah, lulus tepat waktu dan tak neko-neko, berbenturan dengan gairah muda yang muncul dalam jiwa. Gairah memberontak dan tidak nyaman pada kondisi yang adem ayem saja namun menyimpan masalah yang berat.
Menjadi mahasiswa yang aktif di organisasi juga mesti siap dengan konsekuensi jarang masuk kuliah, sering ada acara di luar, dan lulus telat. Ini saya temui di beberapa kampus. Mereka selalu berapologi bahwa ilmu tak hanya didapatkan di bangku kuliah dan buku. Ilmu bisa didapat saat terjun di masyarakat dan belajar memahami masalah-masalah sosial.
Banyak Pilihan
Banyak pilihan untuk masuk di organisasi mahasiswa. Organisasi intra kampus (BEM, Senat, HMJ, UKM) berlimpah, mengakomodir kepentingan mahasiswa. Sementara organisasi ekstra kampus tak kurang jumlahnya. Tinggal suka yang bagaimana. Mau aktif di intra dan ekstra juga tak masalah.
Dengan banyaknya prototipe organisasi mahasiswa tersebut, sebetulnya bisa dibedakan mahasiswa yang aktivis atau organisatoris. Aktivis mengandung citra mahasiswa yang sering demo, terlibat dalam intrik politik kampus maupun luar kampus. Mereka ini jumlahnya lebih sedikit.
Sementara mahasiswa yang organisatoris adalah mahasiswa yang aktif di organisasi tanpa pretensi demontrasi dan politik. Mereka kebanyakan aktif di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang memang konsentrasi di pengembangan bakat mahasiswa. Secara nyinyir, ada yang bilang bahwa menjadi mahasiswa organisatoris adalah latihan menjadi EO (Event Organizer) yang berlatih membuat acara dan mencari sponsor.
Sangat rugi jika hanya menjadi mahasiwa yang hanya “sekadar mahasiswa”, yang kuliah, bikin tugas, jalan-jalan, lantas pulang ke kos. Mahasiswa telanjur distereotipkan sebagai agent social of change (agen perubahan sosial) yang tampil di garda depan dalam perubahan masyarakat. Caranya, ya lewat organisasi. Jadi, salahkah kalau mahasiswa yang tidak aktif di organisasi bisa disebut sebagai mahasiswa yang mengingkari kodratnya?
Pengirim
Junaidi Abdul Munif
Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang
Dimuat di okezone.com, 31 Januari 2011
Membicarakan dunia kampus dan organisasi sebetulnya adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Kampus yang sepi organisasi atau tanpa aktivis ibarat kampus yang hanya besar di negeri sendiri, seperti katak dalam tempurung.
Gengsi kampus beberapa tahun lalu juga ditandai dengan banyak aktivis. Mereka tampil dengan jas almamater, turun ke jalan, meneriakkan yel-yel khas mahasiswa, dikejar-kejar aparat adalah hal yang biasa dilakoni oleh para aktivis. Semua kadang memberi kenikmatan dan pengalaman tersendiri bagi mahasiswa.
Sejarah aktivisme kampus di Indonesia bisa dilacak ketika para mahasiswa STOVIA membentuk organisasi Boedi Oetomo pada 1908. Organisasi ini dianggap sebagai embrio kebangkitan nasional. Sejak berdirinya Boedi Oetomo, perjuangan kemerdekaan Indonesia mengalami perubahan yang signifikan, tidak melulu melalui jalur perang senjata, namun juga perang wacana nasionalisme, diplomasi, dan pembentukan organisasi-organisasi.
Hal inilah yang oleh Beneditc Anderson disebut sebagai revolusi pemuda. Para pemuda mengambil peran yang aktif dan signifikan dalam mengerakkan semangat masyarakat untuk mendapatkan kemerdekaan. Peran pemuda lebih banyak dimainkan oleh mahasiswa karena mereka memiliki intelektualitas dan kemampuan diplomatis di banding pemuda umumnya.
Krisis
Namun kini, mahasiswa yang terlibat di organisasi kemahasiswaan mengalami krisis yang cukup akut. Minat mahasiwa untuk aktif di organisasi menurun drastis. Yang ada sekumpulan mahasiswa yang kuliah, jalan-jalan, pulang. Menjadi mahasiswa aktivis seolah adalah mahasiswa “sial” karena tak mampu mengikuti arus hedonisme-konsumerisme yang kini menggurita di kehidupan kampus kita hari ini.
Menjadi mahasiswa sekaligus aktivis-organisatoris memang dilematis. Di satu sisi, tuntutan orang tua agar anaknya rajin kuliah, lulus tepat waktu dan tak neko-neko, berbenturan dengan gairah muda yang muncul dalam jiwa. Gairah memberontak dan tidak nyaman pada kondisi yang adem ayem saja namun menyimpan masalah yang berat.
Menjadi mahasiswa yang aktif di organisasi juga mesti siap dengan konsekuensi jarang masuk kuliah, sering ada acara di luar, dan lulus telat. Ini saya temui di beberapa kampus. Mereka selalu berapologi bahwa ilmu tak hanya didapatkan di bangku kuliah dan buku. Ilmu bisa didapat saat terjun di masyarakat dan belajar memahami masalah-masalah sosial.
Banyak Pilihan
Banyak pilihan untuk masuk di organisasi mahasiswa. Organisasi intra kampus (BEM, Senat, HMJ, UKM) berlimpah, mengakomodir kepentingan mahasiswa. Sementara organisasi ekstra kampus tak kurang jumlahnya. Tinggal suka yang bagaimana. Mau aktif di intra dan ekstra juga tak masalah.
Dengan banyaknya prototipe organisasi mahasiswa tersebut, sebetulnya bisa dibedakan mahasiswa yang aktivis atau organisatoris. Aktivis mengandung citra mahasiswa yang sering demo, terlibat dalam intrik politik kampus maupun luar kampus. Mereka ini jumlahnya lebih sedikit.
Sementara mahasiswa yang organisatoris adalah mahasiswa yang aktif di organisasi tanpa pretensi demontrasi dan politik. Mereka kebanyakan aktif di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang memang konsentrasi di pengembangan bakat mahasiswa. Secara nyinyir, ada yang bilang bahwa menjadi mahasiswa organisatoris adalah latihan menjadi EO (Event Organizer) yang berlatih membuat acara dan mencari sponsor.
Sangat rugi jika hanya menjadi mahasiwa yang hanya “sekadar mahasiswa”, yang kuliah, bikin tugas, jalan-jalan, lantas pulang ke kos. Mahasiswa telanjur distereotipkan sebagai agent social of change (agen perubahan sosial) yang tampil di garda depan dalam perubahan masyarakat. Caranya, ya lewat organisasi. Jadi, salahkah kalau mahasiswa yang tidak aktif di organisasi bisa disebut sebagai mahasiswa yang mengingkari kodratnya?
Pengirim
Junaidi Abdul Munif
Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang
Dimuat di okezone.com, 31 Januari 2011
Komentar