Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2009

PARADOKS CALEG ARTIS PEREMPUAN

Paradoks Caleg Artis Perempuan Oleh Junaidi Abdul Munif Pemilu legislatif 2009 memberi warna baru tentang pertarungan para caleg perempuan. Kuota 30 persen memberi ruang yang cukup bagi perempuan untuk unjuk gigi demi berkiprah di senayan dan memperjuangkan nasib rakyat. Namun sejauh ini, caleg perempuan seolah hanya menjadi pelengkap demokrasi. Bahkan lebih ironis, masih berjalan pada tataran demokrasi prosedural seperti dikatakan Mochtar Pabottinggi. Bukan demokrasi subtansial. Karena ada kawajiban untuk kuota 30 persen, maka banyak partai yang harus agresif menyeleksi perempuan sebagai caleg. Kewajiban inilah yang membuat pragmatisme muncul di kalangan politisi (parpol). Asal populer dan layak jual, akan dipasang sebagai caleg di dapil tertentu. Waktu yang sempit tak cukup bagi parpol untuk meningkatkan kualifikasi politis bagi artis yang didaftarkan menjadi caleg. Hal ini tampak saat beberapa caleg perempuan yang tiba-tiba muncul tak cukup “cerdas’ untuk mengutarakan visi-misi,

SEREMONIA HARI

Seremonia Pagi Hari kicau burung membuka tabir hari, tanah yang terbangun dari mimpi, katamu di dahan yang merobek ufuk dan membuyarkan warna matahari sehingga pada sajadah itu masih membekas sujud kening bersaput wajah kelabu seorang hamba menghiba dalam linangan air mata Seremonia Siang Hari matahari bertahta di singgasana dalam garis tegak lurus dengan pusaran rambut semesta kerdil bayangan bersimpuh mencium kaki sendiri di tanah yang melukis sepi Seremonia Senja Hari tepat di tengah matahari sebuah layangan jatuh dihempas pasukan angin bersama ungu ia menari menyelingi lagu kanak-kanak benangnya menjerat waktu agar sejenak berhenti menikmati hari di tepi Seremonia Malam Hari matahari melipat tubuhnya sembunyikan warna terang di sudut sayap gulita suara malam menjelang kisah panjang kesetiaan dan waktu pun pulang menemu rembulan

SELAMAT HARI KARTINI

Emansiapasi Jawa ala Kartini Oleh Junaidi Abdul Munif Tanggal 21 April selalu dirayakan oleh Bangsa Indonesia dengan gegap gempita. Terutama kaum perempuan yang menganggap Kartini adalah pelepas belenggu eksistensi kaum wanita. Karena keberanaian Kartini, para wanita bisa menikmati posisi yang setara (meski belum sepenuhnya) dan sejajar dengan laki-laki. Kartini lewat surat-suratnya yang terkumpul dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang sejatinya tidak hanya memperjuangkan kaum wanita saja. Lebih dari itu, ia juga memperjuangkan emensipasi Jawa, bahkan Indonesia. Dalam surat-surat Kartini yang ditujukan kepada Menteri Jajahan Idenburg dan Gubernur Jenderal Roosenboom (1903) dalam buku Kartini dari Sisi Lain, Malacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa (Dri Arbaningsih, Penerbit Buku Kompas, 2009) mengungkap hal-hal yang selama ini menyempitkan perjuangan Kartini hanya sebatas emansipasi wanita saja. Wanita dan Jawa pada masa Kartini adalah entitas yang paralel. Wanita

SELEKSI ALAM PENULIS

Seleksi Alam Penulis Oleh Junaidi Abdul Munif Teori Darwin yang terkenal selain evolusi makhluk hidup adalah seleksi alam. Makhluk hidup yang kuat dan mampu beradaptasi terhadap lingkungannya, dialah yang akan terus bertahan hidup. Teori ini juga bisa diterapkan dalam dunia tulis-menulis. Sekarang seolah para (calon) penulis dimanjakan dengan membanjirnya koran, majalah, tabloid, dan jurnal yang menyediakan ruang bagi tulisan-tulisan yang segar dan bagus. Rubrikasi media massa pun memberi tempat seluas-luasnya sesuai kepakaran (kapabilitas) penulis. Ini merupakan tantangan bagi seseorang yang telah menancapkan tekad untuk menjadi penulis. Penancapan tekad ini jika tak diimbangi dengan adaptasi dan kemampuan untuk menangkap ide-ide segar, membuat seorang penulis akan gagal melewati seleksi alam. Kemampuan menangkap isu, orisinalitas ide dan selalu memberikan hal yang baru adalah tiga hal yang mutlak dimiliki oleh penulis. Jika tiga hal ini gagal dimiliki oleh penulis, niscaya ia s

RENDAHNYA MILITANSI KADER (KOMPAS, 1 MEI 2009)

Rendahnya Militansi Kader Oleh Junaidi Abdul Munif Pemilu 2009 menyisakan banyak masalah. Sistem kepartaian memberi kebebasan bagi masyarakat untuk membuat partai, sehingga menjadi (sangat) multi partai. Partai masih dianggap sebagai representasi ideologi dan arah perjuangan. Namun, nama-nama partai yang hampir sama dan ”aneh” mengaburkan ideologi sebuah partai. Partai bukan lagi menjadi sebuah identitas. Sekarang, bukan hal yang aneh mendapati seorang tokoh dengan gampangnya pindah dari suatu partai ke partai lain. Partai politik seharusnya mewujudkan garis perjuangan, ideologi yang konsisten dan dipegang teguh selama partai itu ada. Bangsa kita tampaknya masih terjangkit virus euforia reformasi 1998 yang membuka belenggu demokrasi orde baru. Demokrasi diterjemahkan dengan membuat kelompok partai sesuai dengan keinginan. Seolah, negara demokrasi yang baik adalah negara yang terbuka pada suara-suara apa pun. Dari tiga kali penyelenggaraan pemilu seusai reformasi1998, meski jumlah p