PARADOKS CALEG ARTIS PEREMPUAN
Paradoks Caleg Artis Perempuan Oleh Junaidi Abdul Munif Pemilu legislatif 2009 memberi warna baru tentang pertarungan para caleg perempuan. Kuota 30 persen memberi ruang yang cukup bagi perempuan untuk unjuk gigi demi berkiprah di senayan dan memperjuangkan nasib rakyat. Namun sejauh ini, caleg perempuan seolah hanya menjadi pelengkap demokrasi. Bahkan lebih ironis, masih berjalan pada tataran demokrasi prosedural seperti dikatakan Mochtar Pabottinggi. Bukan demokrasi subtansial. Karena ada kawajiban untuk kuota 30 persen, maka banyak partai yang harus agresif menyeleksi perempuan sebagai caleg. Kewajiban inilah yang membuat pragmatisme muncul di kalangan politisi (parpol). Asal populer dan layak jual, akan dipasang sebagai caleg di dapil tertentu. Waktu yang sempit tak cukup bagi parpol untuk meningkatkan kualifikasi politis bagi artis yang didaftarkan menjadi caleg. Hal ini tampak saat beberapa caleg perempuan yang tiba-tiba muncul tak cukup “cerdas’ untuk mengutarakan visi-misi,