PARADOKS CALEG ARTIS PEREMPUAN
Paradoks Caleg Artis Perempuan
Oleh Junaidi Abdul Munif
Pemilu legislatif 2009 memberi warna baru tentang pertarungan para caleg perempuan. Kuota 30 persen memberi ruang yang cukup bagi perempuan untuk unjuk gigi demi berkiprah di senayan dan memperjuangkan nasib rakyat.
Namun sejauh ini, caleg perempuan seolah hanya menjadi pelengkap demokrasi. Bahkan lebih ironis, masih berjalan pada tataran demokrasi prosedural seperti dikatakan Mochtar Pabottinggi. Bukan demokrasi subtansial. Karena ada kawajiban untuk kuota 30 persen, maka banyak partai yang harus agresif menyeleksi perempuan sebagai caleg.
Kewajiban inilah yang membuat pragmatisme muncul di kalangan politisi (parpol). Asal populer dan layak jual, akan dipasang sebagai caleg di dapil tertentu. Waktu yang sempit tak cukup bagi parpol untuk meningkatkan kualifikasi politis bagi artis yang didaftarkan menjadi caleg. Hal ini tampak saat beberapa caleg perempuan yang tiba-tiba muncul tak cukup “cerdas’ untuk mengutarakan visi-misi, program dan pengetahuan politik mereka.
Fenomena artis yang menjadi caleg tampaknya masih menyisakan dilema bagi sistem demokrasi di Indonesia. Meski penghitungan suara belum selesai, sudah mulai tampak tidak banyak caleg dari kalangan artis perempuan yang bisa meraup suara siginifikan untuk memenuhi BPP.
Stereotipe primordial tentang masih berlakunya idelogi patriarki bisa menjadi alibi untuk menegaskan bahwa perempuan tak layak tampil di depan. Namun, hal lain yang patut digarisbawahi adalah loncatan dari seorang artis (entertainer) menjadi politisi menyisakan ruang paradoksal eksistensi perempuan dalam kancah politik. Betapa entertainment (hiburan) yang ringan dan lembut tidak (selalu) berbanding lurus dengan politik yang liat dan banal.
Agen Pos-Industrial
Perempuan sebagai artis tampaknya masih mengusung stereotipe tentang nilai fisik dan konsumerisme. Perempuan yang jadi artis adalah komoditas potensial bagi simpul-simpul kapitalisme global dengan pasar sebagai target yang didasarkan imaji citra (Baudlillard: 1983).
Daniel Bell (1973) menyebut post-industrial untuk mendefinisikan sistem kapitalisme industri yang tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan mesin-mesin produksi yang mampu melipatkan hasil produksi. Tapi juga perpaduan yang mesra dengan dunia komunikasi, citra, dan tubuh perempuan yang menjadi nilai penting dari sebuah komoditas industri. Pada titik ini artis perempuan pun menjadi agen pos-industrial tersebut.
Selama ini, mungkin hanya Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, dan Marissa Haque yang sudah lama dikenal juga sebagai politisi. Rieke, Nurul, dan Marissa sudah mulai agak mengurangi aktivitas keartisan mereka. Sementara yang lainnya, masih kental dengan keartisannya.
Para petinggi partai, mungkin masih percaya bahwa televisi sebagai agen kebudayaan yang paling efektif untuk mempromosikan artis secara signifikan. Perilaku dunia industri televisi yang selama ini tampak hanya menjadikan perempuan dengan seperangkat nilainya sebagai pemuasan nafsu kapitalisme.
Namun, pemilih (konstituen) tampaknya sudah mulai cerdas. Bahwa televisi sebagai corong informasi keartisan, tetaplah tidak berlalan paralel dengan kepercayaan mereka terhadap politisi perempuan yang muncul dari kalangan artis. Negara yang semrawut ini tak sudi dipimpin oleh perempun yang mengandalkan popularitas dan pesona ragawi yang dihadirkan televisi.
Minimnya suara beberapa caleg perempuan dari kalangan artis adalah harga yang harus ditanggung karena ulah media sendiri yang telanjur mengeksploitasi perempuan dari segi fisik. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi sistem demokrasi selanjutnya untuk tidak latah menerjemahkan prinsip egalitarianisme dengan sistem kuota 30 persen perempuan.
Ini bukan akhir dari sebuah perjalanan demokrasi yang memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi anggota lagislatif. Kesuksesan seorang caleg perempun harus diikuti dengan perubahan perilaku industri media untuk tidak lagi mengeksploitasi perempuan dari segi fisiknya.
Jika kuota 30 persen perempuan masih ingin dipertahankan atau ditingkatkan, mulai sekarang parpol harus bergerilya mencari dan mendidik kader-kader perempuannya untuk sejajar dengan politisi laki-laki. Agar pragmatisme asal populer dan cantik tidak menjadi pertimbangan utama bagi parpol menempatkan perempuan sebagai caleg.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Pemilu legislatif 2009 memberi warna baru tentang pertarungan para caleg perempuan. Kuota 30 persen memberi ruang yang cukup bagi perempuan untuk unjuk gigi demi berkiprah di senayan dan memperjuangkan nasib rakyat.
Namun sejauh ini, caleg perempuan seolah hanya menjadi pelengkap demokrasi. Bahkan lebih ironis, masih berjalan pada tataran demokrasi prosedural seperti dikatakan Mochtar Pabottinggi. Bukan demokrasi subtansial. Karena ada kawajiban untuk kuota 30 persen, maka banyak partai yang harus agresif menyeleksi perempuan sebagai caleg.
Kewajiban inilah yang membuat pragmatisme muncul di kalangan politisi (parpol). Asal populer dan layak jual, akan dipasang sebagai caleg di dapil tertentu. Waktu yang sempit tak cukup bagi parpol untuk meningkatkan kualifikasi politis bagi artis yang didaftarkan menjadi caleg. Hal ini tampak saat beberapa caleg perempuan yang tiba-tiba muncul tak cukup “cerdas’ untuk mengutarakan visi-misi, program dan pengetahuan politik mereka.
Fenomena artis yang menjadi caleg tampaknya masih menyisakan dilema bagi sistem demokrasi di Indonesia. Meski penghitungan suara belum selesai, sudah mulai tampak tidak banyak caleg dari kalangan artis perempuan yang bisa meraup suara siginifikan untuk memenuhi BPP.
Stereotipe primordial tentang masih berlakunya idelogi patriarki bisa menjadi alibi untuk menegaskan bahwa perempuan tak layak tampil di depan. Namun, hal lain yang patut digarisbawahi adalah loncatan dari seorang artis (entertainer) menjadi politisi menyisakan ruang paradoksal eksistensi perempuan dalam kancah politik. Betapa entertainment (hiburan) yang ringan dan lembut tidak (selalu) berbanding lurus dengan politik yang liat dan banal.
Agen Pos-Industrial
Perempuan sebagai artis tampaknya masih mengusung stereotipe tentang nilai fisik dan konsumerisme. Perempuan yang jadi artis adalah komoditas potensial bagi simpul-simpul kapitalisme global dengan pasar sebagai target yang didasarkan imaji citra (Baudlillard: 1983).
Daniel Bell (1973) menyebut post-industrial untuk mendefinisikan sistem kapitalisme industri yang tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan mesin-mesin produksi yang mampu melipatkan hasil produksi. Tapi juga perpaduan yang mesra dengan dunia komunikasi, citra, dan tubuh perempuan yang menjadi nilai penting dari sebuah komoditas industri. Pada titik ini artis perempuan pun menjadi agen pos-industrial tersebut.
Selama ini, mungkin hanya Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, dan Marissa Haque yang sudah lama dikenal juga sebagai politisi. Rieke, Nurul, dan Marissa sudah mulai agak mengurangi aktivitas keartisan mereka. Sementara yang lainnya, masih kental dengan keartisannya.
Para petinggi partai, mungkin masih percaya bahwa televisi sebagai agen kebudayaan yang paling efektif untuk mempromosikan artis secara signifikan. Perilaku dunia industri televisi yang selama ini tampak hanya menjadikan perempuan dengan seperangkat nilainya sebagai pemuasan nafsu kapitalisme.
Namun, pemilih (konstituen) tampaknya sudah mulai cerdas. Bahwa televisi sebagai corong informasi keartisan, tetaplah tidak berlalan paralel dengan kepercayaan mereka terhadap politisi perempuan yang muncul dari kalangan artis. Negara yang semrawut ini tak sudi dipimpin oleh perempun yang mengandalkan popularitas dan pesona ragawi yang dihadirkan televisi.
Minimnya suara beberapa caleg perempuan dari kalangan artis adalah harga yang harus ditanggung karena ulah media sendiri yang telanjur mengeksploitasi perempuan dari segi fisik. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi sistem demokrasi selanjutnya untuk tidak latah menerjemahkan prinsip egalitarianisme dengan sistem kuota 30 persen perempuan.
Ini bukan akhir dari sebuah perjalanan demokrasi yang memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi anggota lagislatif. Kesuksesan seorang caleg perempun harus diikuti dengan perubahan perilaku industri media untuk tidak lagi mengeksploitasi perempuan dari segi fisiknya.
Jika kuota 30 persen perempuan masih ingin dipertahankan atau ditingkatkan, mulai sekarang parpol harus bergerilya mencari dan mendidik kader-kader perempuannya untuk sejajar dengan politisi laki-laki. Agar pragmatisme asal populer dan cantik tidak menjadi pertimbangan utama bagi parpol menempatkan perempuan sebagai caleg.
Komentar