Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan
Dalam setiap pesta pernikahan,
khususnya di desa, masih sering terdengar suara musik berdentum keras, bahkan
sampai terdengar di desa tetangga. Mereka yang menyelenggarakan pesta
pernikahan memang “harus” menyewa seperangkat alat pemutar musik dan sound system untuk menjadi alat hiburan bagi
tamu undangan.
Ini merupakan tradisi yang dilakukan
dengan tujuan untuk memberitahu warga luar desa bahwa ada warga yang sedang mengadakan
hajatan mantu. Sebagai “undangan massal” untuk mengundang tamu, kendati
undangan dengan lisan atau ulem telah
dilakukan jauh hari sebelumnya.
Dahulu ketika peralatan sound system
belum secanggih sekarang dan masih menggunakan pengeras suara (speaker corong), harus dipasang dengan
tiang yang tinggi agar suaranya terdengar sampai jauh. Kini hal itu tak perlu
dilakukan karena penyedia sewa sound
system telah memiliki alat-alat yang lengkap, penyewa tinggal terima beres
saja.
Suara musik menjadi penanda
kultural, bersama janur kuning di pintu masuk jalan desa dan sesaji yang
diletakkan di tempat-tempat yang dianggap keramat. Tanda-tanda kultural ini
menjadi identitas yang tiak mudah direduksi karena alasan seilmiah apa pun
sebetulnya.
Namun entah kenapa, kebanyakan yang
diputar adalah musik dangdut yang meriah. Sepanjang pagi sampai malam, musik
diputar seperti menjadi suara latar (back
sound) dari acara tersebut. Seringkali terjadi suara musik begitu keras karena
menggunakan sound system dengan
kekuatan besar.
Yang mungkin tak disadari adalah suara musik ini sering mengganggu komunikasi
warga yang datang ke acara hajatan tersebut. Mereka harus bersuara dengan keras
agar lawan bicaranya mendengar apa yang dikatakan. Padahal dalam acara seperti
itu sungguh membutuhkan stamina yang cukup serta kerepotan yang sangat terasa
untuk mensukseskan acara hajatan tersebut.
Fungsi speaker yang paling penting terjadi saat habis isyak, ketika acara
tahlil dan doa. Atau saat resepsi pernikahan yang memang menjadi acara inti. Selebihnya
musik itu mengalun tanpa apresiasi dari para warga yang datang.
Rekonstruksi
Munginkah tradisi ini bisa dihilangkan
atau direduksi tanpa menihilkan substansi dari alasan kenapa harus menyewa sound system dengan kekuatan yang besar?
Sebagai sebuah tradisi yang telah berangsur secara turun-temurun, memang tak
bisa seketika dihilangkan begitu saja.
Akan ada pertentangan sosial jika tradisi “leluhur” ini tiba-tiba hilang.
Orang punya hajat mungkin terasa tidak terasa geregetnya lagi. Selain itu ada
nilai ekonomis yang tereduksi jika tradisi ini dihilangkan karena penyedia jasa
sound system tidak ada yang menyewa
lagi.
Konsekuensi yang akan terjadi adalah sanksi sosial berupa cibiran masyarakat
karena dianggap pelit, tidak serius menyelenggarakan pesta hajatan karena enggan
menyewa jasa sound system. Bagi
masyarakat desa, memenuhi tradisi lebih penting daripada menanggung malu karena
tak bisa ngumumi kancane (seperti
tetangganya).
Maka penting untuk merekonstruksi
tradisi yang dilakukan dalam penyelenggaraan hajatan pernikahan. Ada berbagai
alasan yang bisa diajukan. Pertama, banyak warga desa yang telah memiliki
perangkat audio visual di rumah mereka sehingga mendengar musik secara “berjamaah”
bukan menjadi hal yang mewah.
Kedua, bahwa musik ini mengganggu
nyata terjadi. Lebih baik jika misalnya musik yang diputar tidak terlalu keras
sehingga komunikasi warga di acara bisa berlangsung dengan nyaman. Karena pesta
pernikahan bagi warga desa bisa menjadi media untuk saling bertemu dan sambung
rasa.
Ketiga, anggaran untuk menyewa sound system bisa dialokasikan untuk
kebutuhan lain yang lebih bermanfaat. Karena begitu banyak hal yang tak
maksimal dilakukan oleh orang desa karena kurangnya anggaran. Prinsip efektif
dan efisiensi bisa dilakukan.
Pesta pernikahan menyimpan dimensi
yang sakral dan simbol kultural situasi guyup rukun yang menjadi elan
komunalitas masyarakat desa. Alangkah indah jika sakralitas dan guyup rukun itu
bisa terjaga tanpa menghilangkan tradisi yang telah dilakukan secara turun
temurun.
Komentar