Hukuman Berat bagi Koruptor
Tertangkapnya
M Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat di Kolombia, membawa
secercah harapan; nyanyian Nazaruddin selama ini yang santer terdengar bisa
dibuktikan. Pembuktian “nyanyian” Nazaruddin adalah menuntaskan hasrat
keingintahuan masyarakat. Jika semua itu benar, betapa gurita korupsi telah
menjadi momok yang membahayakan negeri ini.
Bunga Hatta pernah mengatakan di tahun
1970-an, korupsi telah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi telah memasuki alam
bawah sadar masyarakat. Kasus korupsi di Pertamina pada waktu itu menjadi isu
heboh yang menjadi wacana nasional. Secara harfiah, korupsi adalah
penyelewengan jabatan untuk kepentingan diri sendiri (Pius Abdillah P: 2004).
Budiarto
Shambazy, dalam sebuah kolom di harian Kompas menyebutkan bahwa mentalitas
korupsi ternyata sudah dibentuk dengan sistemik. Modusnya adalah pemberian bantuan
kepada negara-negara berkembang. Pemberi bantuan ini sadar bahwa di negara
berkembang, korupsi lebih mudah terjadi. Mereka akan mengorupsi apa pun, termasuk
dana bantuan. Ketika tiba saat mereka mengembalikan bantuan tersebut, aset
negara terpaksa dijual untuk melunasi hutang-hutang tersebut.
Kebijakan untuk menaikkan gaji
pejabat dan renumerasi di lingkungan Depkeu tidak berhasil melenyapkan korupsi
di birokrasi keuangan negara. Di pemerintahan Gus Dur, dia sempat menaikkan
gaji PNS. Tapi kenyataannya korupsi semakin banyak terungkap. Gaji besar tidak
menjamin seseorang merasa cukup. Di Jawa, ada peribahasa yang artinya, di dunia
ini tidak ada cukupnya. Bahkan dunia pun kalau bisa mau diberi teras (diemperi).
Artinya sebanyak apa pun gaji yang diberikan, serasa tak pernah cukup untuk
memenuhi segala keinginan pribadi.
Ketegasan hukum memang diperlukan
untuk memutus mata rantai korupsi. Selama ini proses pengadilan para koruptor
seolah sengaja diulur-ulur, sehingga memungkinkan adanya transaksi gelap untuk
memelintir hukum. Maka tak jarang kita kita mendengar hukuman seorang koruptor
yang bernilai milyaran rupiah, sama dengan hukuman kepada rakyat kecil yang mencuri
ayam.
Belajar dari China
Kita bisa belajar dari China yang
berhasil menekan angka koruptif di negeri tersebut. Caranya adalah memberikan hukuman
yang seberat-beratnya kepada koruptor. Hukuman kadang tidak masuk akal, bisa
mencapai ratusan tahun. Hukuman tersebut bahkan bisa saja dijalani saat para
koruptor itu telah tiada.
Ini bisa kita contoh mengingat di Indonesia
model pengurangan hukuman dengan mudah diberikan. Permohonan grasi, mendapat
potongan masa tahanan di hari besar nasional atau keagamaan serta karena kelakuan
baik, adalah potensi-potensi untuk membeli masa tahanan. Misalnya, jika putusan
pengadilan adalah 6 tahun, yang dijalani bisa setengahnya karena seringnya
mendapat pemotongan masa tahanan.
Perlakukan hukum seperti ini yang sering
mengiris kesadaran masyarakat yang merindukan keadilan. Karena korupsi adalah
kejahatan yang berdampak panjang dan menghambat proses pembangunan
infrastruktur penunjang kemajuan sebuah peradaban masyarakat dan bangsa.
Komentar