MOS, Perploncoan, dan Bakat Siswa



            Hari pertama masuk sekolah telah berlangsung pada Senin, 15 Juli lalu. Hiruk pikuk di jalan dan sekolah pun kembali terasa setelah libur kenaikan kelas. Di jalan, kita melihat pelajar yang berpenampilan aneh; kaos kaki yang beda warna, topi dari kardus, pita rambut warna-warni yang dipakai pelajar putri, dan lain sebagainya. Rupanya, mereka adalah siswa baru yang sedang menjalani MOS (masa orientasi siswa), yang di perguruan tinggi dikenal dengan OSPEK (orientasi studi pengenalan kampus).
MOS menjadi agenda “wajib” bagi sekolah-sekolah dalam menyambut siswa baru. Ini merupakan ajang “pemanasan” bagi siswa baru sebelum berkutat dengan pelajaran sekolah. Seolah menjadi budaya pendidikan kita yang terus dipelihara, MOS memang seperti buah simalakama; ditakuti tapi juga dirindukan. Ditakuti karena bayangan siswa senior (kakak kelas) yang sok galak, arogan, dan suka membentak. Sementara bagi anak-anak seusia sekolah, MOS bisa menjadi ajang untuk ngeksis yang kadang dilalui dengan pengalaman seru yang akan terus dikenang.
Agenda ini dilaksanakan pada saat siswa baru resmi tercatat sebagai siswa sekolah. Dengan demikian, sifatnya sebetulnya adalah edukatif. Sesuai dengan jati diri anak ABG (anak baru gede), MOS menonjolkan kreativisme tanpa kehilangan spirit anak muda yang ceria. Dalam artian, MOS menjadi legitimasi bagi remaja fase awal dan pertengahan, untuk mengidentifikasi diri dan menarik perhatian lingkungan (Zulkifli, 1992).  Sehingga dia bisa bilang: ini lho gue!
            Pada tahun ini, hari masuk sekolah bertepatan dengan bulan Ramadhan, sehingga gojlokan yang bersifat fisik semestinya dihindari. Selama ini stigma buruk MOS sebagai ajang perploncoan siswa baru yang tak jarang mengarah pada bulliying, cukup lekat di masyarakat. Beberapa waktu lalu, tawuran pelajar antar sekolah di Jakarta juga tak lepas dari kultur peer group (geng-gengan) siswa. Tentu saja sangat dimaklumi jika orang tua merasa khawatir anaknya menjadi korban kekerasan fisik dan mental yang dilakukan oleh kakak kelas anaknya.

Bukan indoktrinasi

            Dasar diadakannya MOS adalah Permendiknas No. 38 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan serta Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 220/C/MN/2008 tentang Kegiatan MOS. Tujuan MOS sebetulnya adalah untuk mengenalkan siswa pada sekolah, baik fasilitas, guru, maupun prestasi akademiknya. Siswa dirangsang untuk tahu, bangga, dan pada akhirnya mencintai sekolahnya. Mencintai sekolah menjadi kata kunci untuk menghasilkan anak didik yang riang gembira menjalani sekolah, dan berusaha menjadi bagian dari kebanggaan sekolah.
Pada saat pemerintah Orde Baru masih berkuasa, Penataran P4 menjadi agenda wajib bagi siswa baru. Siswa baru ditatar dengan nilai-nilai Pancasila yang text book, sehingga hanya jadi media indoktrinasi dari aparatus negara. Siswa dijejali dengan konsep yang rigid mengenai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pola indoktrinasi tersebut mengerdilkan mental dan kreativitas siswa yang masih bisa berkembang seiring asupan pengetahuan dan pengalaman yang dilaluinya.
            Sejak itu MOS menjadi ajang perploncoan dari senior ke yunior, sehingga tak jarang menimbulkan pressure (tekanan) fisik dan mental pada siswa baru. Pola ini saya kira berawal dari pemahaman disiplin a la militer sebagai bagian status quo Orde Baru. Hukuman (punishment) lebih bersifat fisikal, seperti lari, push up, sit up, atau yang paling ekstrem, adanya bentuk pemukulan. Beberapa sekolah dan PT  militer maupun semi-militer masih mengadopsi model hukuman fisik. Sekolah bukan semi-militer, tentu sangat lucu apabila menggunakan pola serupa untuk “mendisiplinkan” adik kelas.
Adanya tugas-tugas dari panitia (senior) yang aneh-aneh menunjukkan bahwa kreativitas disalurkan pada hal yang kurang tepat. MOS sejatinya masih mencari bentuknya yang ideal-edukatif. Tugas dalam MOS yang terdengar aneh ini, merupakan imbas pergeseran orientasi dari MOS itu sendiri. MOS yang secara sistem-kultur, tak bisa kita tolak merupakan kelanjutan dari penataran. Namun, untuk lepas dari indoktrinasi terselubung, MOS masih gagap. Inilah yang menyulut kontroversi, sehingga bermuara pada usulan agar MOS ditiadakan. 
Kebiasaan negatif inilah yang membuat Komunitas Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi) di Yogyakarta memprotes pelaksanaan MOS di sebuah SMA negeri di Yogyakarta. Selain kakak kelas yang membentak-bentak siswa baru saat pembekalan MOS, juga lantaran salah satu tugas MOS adalah siswa baru disuruh mengumpulkan kardus bekas produk makanan suplemen tertentu (Koran Tempo, 16/7). MOS telah ditunggangi kepentingan ekonomis dalam bentuk sponshorship.
            Ada dua bentuk kegiatan yang lazim dilakukan dalam MOS, yakni indoor (dalam ruang) yang diisi dengan paparan materi dan outdoor (luar ruang) yang kadang mirip dengan kegiatan pramuka. Nah, kegiatan MOS yang dianggap aneh ini sebagai refreshing, jeda dari materi yang disampaikan secara klasikal di dalam ruangan yang bagi remaja sekolah dianggap sangat membosankan.

Keberanian dan tanggung jawab

            Menjadikan MOS sebagai agenda wajib dalam menyambut siswa baru tidak boleh melepaskan sifat remaja yang sedang mengalami tumbuh kembang. Mereka cenderung aktraktif, kalau menemukan momentum yang tepat. Yakni momentum ketika gejolak muda mereka tersalurkan untuk semakin meneguhkan eksistensinya. Kita mesti mengakui, bahwa saluran untuk unjuk diri bagi remaja terbilang minim. Ketika yang ada justru saluran negatif, misalnya pada tawuran dan geng motor, ini menjadi cambuk bagi sekolah untuk berbenah, kendati problematika seperti ini faktornya tidak tungga. Tetapi setidaknya, dengan potensi alokasi waktu yang lumayan banyak, sekolah termasuk menjadi penanggung jawab utama.
MOS ibarat tes mental bagi siswa, sejauh mana siswa baru ini bersikap dan merespon ketika dia hidup di lingkungan, teman, dan suasana baru yang lebih heterogen. Siswa baru mesti beradaptasi dengan lingkungan baru ini, meski banyak siswa yang dari sekolah sebelumnya kebetulan sama, mereka cenderung untuk berkumpul. Dengan segala dinamika yang ada selama MOS, nanti bisa dilihat, ada siswa yang pintar, berani, kritis, atau malah gokil, seringkali sudah terdekteksi saat diadakan MOS. Walau siswa yang tampak malu-malu jumlahnya lebih banyak.
Menyelenggarakan MOS dapat difungsikan sebagai pendidikan tanggung jawab, terutama bagi pengurus OSIS yang menjadi penyelenggara acara. Mengembangkan diri di bidang leadership (kepemimpinan) dan manajemen acara, semacam event organizer. Dengan begitu, anak didik akan terlatih mengolah kreativitas diri untuk menyelenggarakan kegiatan yang bagus dan bermutu. Anak didik tidak hanya berkutat dengan pelajaran sekolah klasikal.
Selain itu, siswa juga berlatih manajemen konflik. Dengan melibatkan banyak siswa sebagai panitia, potensi konflik itu pasti ada. Konflik akan menjadi stimulan untuk membentuk kedewasaan siswa, yang akan dihadapinya ketika siswa terjun di dunia kerja ataupun masyarakat. Bukankah salah satu khittah pendidikan adalah membuat anak didik dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, termasuk menyelesaikan konflik dengan hasil win-win solution?    

Mengenali bakat siswa

            Pendidikan memberi diktum yang tegas bagi penyelenggaraannya, yakni untuk mengubah posisi anak didik yang awalnya tidak bisa menjadi bisa. Selain itu, pada aspek yang dasariah, pendidikan adalah kawah candradimuka untuk menggali bakat-bakat unik siswa. Bakat atau keterampilan (skill) ini yang menjadikan setiap siswa itu unik dan berbeda dengan siswa lainnya. Sekolah patut berada pada garis depan bagi siswa untuk berani tampil menampakkan potensinya. Oleh karena itu sekolah harus menjadi habitat yang membiarkan bakat-bakat muda itu tumbuh dan berkembang dengan baik.    
Selama ini, guru mengalami kesulitan di dalam mengenali bakat siswa. Sesuai dengan namanya, yang mengacu pada “orientasi”, di saat inilah guru dapat berperan sebagai fasilitator dan pengamat yang memungkinkannya untuk dekat dengan siswa. Dengan begitu, MOS merupakan kegiatan yang bersifat integratif, untuk memetakan potensi, bakat, dan minat siswa. Tidak hanya berhenti sebagai kegiatan “pemanasan”  yang absen dari nilai edukasi.   
Dalam konteks pembelajaran aktif, MOS bisa dilaksanakan sebagai bagian metode untuk mengenali bakat siswa. Cara ini bisa dilakukan di akhir acara, dengan lomba olahraga, sains, dan seni. Dengan model begini, tidak ada yang sia-sia dari penyelenggaraan MOS. Melatih anak-anak rajin berkompetisi adalah melatih anak-anak untuk bersungguh-sungguh belajar mengejar prestasi. Kompetisi mengajarkan bahwa kalah dan menang itu soal biasa. Masih banyak kesempatan lain yang menunggu. Ini yang sangat penting ditanamkan sebagai mentalitas kompetitif dalam benak anak didik.
            Jadi, MOS sangat bernilai positif apabila dilakukan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari integrasi kurikulum sekolah. Memprotes penyelenggaraan MOS adalah sah, sebagai bentuk partisipasi masyarakat terhadap penyimpangan penyelenggaraan pendidikan. Namun alangkah lebih baik jika MOS ini difungsikan sebagaimana mestinya, sebagai jalan pemetaan orientasi siswa ke depan. Sebuah upaya sekolah dalam rangka membuka jalan cita-cita anak didiknya.
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil