Wajah dan Tragedi Narcissus




            Wajah sebagai bagian dari fisik seseorang tidak hadir dalam sifatnya yang natural dan taken for granted. Mulanya wajah tercipta sebagai bagian penting dari tubuh manusia. Tanpa wajah kesempurnaan dan fungsionalisasi fisik tak akan tercapai. Manusia melihat dengan mata, berbicara dengan mulut, bernafas dengan hidung, mendengar dengan telinga, yang semuanya diletakkan Tuhan di wajah manusia. Tanpa wajah manusia tak akan hidup.
Manusia yang lahir ke dunia terus membawa wajah-wajah yang berbeda, meski dalam kondisi terlahir kembar sekalipun. Wajah menjadi penanda identitas seseorang, yang menunjukkan dari suku dan bangsa, bahkan dari keluarga mana dia berasal. Wajah orang Jawa dan Ambon, wajah orang Eropa dan Afrika menunjukkan identitas kesukuan yang berbeda.
            Kendati begitu, kawin campur memaksa wajah untuk “berkomunikasi”, laiknya dua warna yang menyatu sehingga membentuk warna baru. Pun dengan wajah hasil dari perkawinan campur beda bangsa-suku, telah membentuk wajah baru berlabel wajah indo (wajah campuran).  
Dalam kultur Jawa, wajah hadir dengan simbol dan paribasan (peribahasa) untuk menandai wajah-wajah yang “sempurna”. Alis nanggal sepisan (bentuk alis serupa bulan sabit), untu miji timun (bentuk gigi kecil-kecil yang rapi), irung bangir (bentuk hidung yang tidak mancung dan tidak pesek), bangke’an nawon kemit (pinggang yang ramping seperti lebah/tawon kemit) adalah penanda kecantikan seorang perempuan Jawa.
Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna (Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat) menghadirkan perempuan sebagai katuranggan, yakni mitos yang menempatkan perempuan seperti turangga (kapal/kuda sebagai tunggangan/bersifat seperti kuda) yang ciri-ciri fisiknya menunjukkan tanda tingkat kenikmatan seksual saat perempuan tersebut disetubuhi (Otto Sukatno CR) .            
           
Wajah kapital

Kisah Narcissus menandai asal mula wajah sebagai tragedi. Narcissus jatuh cinta dengan wajahnya sendiri, tergila-gila, tak bisa berpaling, dan akhirnya berambisi untuk memiliki wajahnya sendiri. Orang lain tak boleh memiliki wajah itu. Wajah menjadi bagian ego eksistensial manusia. 
            Kehadiran wajah menentukan bagaimana manusia melakukan proses eksistensi, pengakuan dari yang lain. Wajah telah bergeser dari teritorial muka (mata, hidung, pipi, dagu, kening) dan meluas menjadi seluruh anggota tubuh yang bisa dilihat orang lain adalah wajah. Wajah (fisik) yang “tak sempurna” diberi label invalid dan eufemisme “berkebutuhan khusus” untuk mendefinisikan bentuk fisik yang “menyimpang”.
Dunia pekerjaan membutuhkan wajah yang cantik dan tampan, meski dibahasakan secara implisit; berpenampilan menarik. Iklan lowongan pekerjaan mensyaratkan bentuk fisik yang menarik, terutama untuk jenis pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat (klien). Itulah kenapa SPG (sales promotion girl) atau pegawai perempuan di bank misalnya adalah wanita-wanita cantik dan seksi.
            Kompetisi di dunia hiburan mensyaratkan wajah-wajah cantik dan ganteng untuk tampil dalam etalase televisi (pemeran utama) yang terus diberi peluang untuk tampil di depan. Michael Jackson melakukan operasi plastik demi merombak total warna kulit dan wajahnya demi sebuah eksistensi sepenuhnya di dunia baru yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Transformasi dari “Jacko yang negro” menjadi “Jacko yang putih bersih” adalah korban dari logika ekonomi yang meluas dalam dunia kehidupan selebriti.
            Penyanyi tak hanya harus bermodal suara yang bagus, tapi juga berkulit putih. Itulah kenapa iklan pemutih kulit hadir dengan himbauan yang garang; membagi secara biner cantik dan tidak cantik berdasarkan bentuk-bentuk bagian fisiknya. Ketidakberterimaan akan hadirnya wajah yang non putih adalah propaganda untuk mendefinisikan wajah dalam identitas yang diinginkan kapitalisme.
Wajah dalam kapitalisme justru berusaha mengeliminasi wajah sebagai penanda identitas bangsa-suku tiap manusia. Wajah dalam logika kapitalisme adalah wajah yang diseragamkan (kulit putih, tubuh ramping nan seksi, dada besar, rambut sesuai iklan shampo). Hegemoni wajah menjadi komoditas untuk mendulang nilai kapital (uang) dalam dunia ekonomi. 

Wajah politik

            Teknologi menghadirkan wajah sebagai agen pencitraan. Kontestasi politik dipenuhi wajah dalam media, televisi, koran, baliho, spanduk, poster yang penuh manipulasi. Pemilu 2004 dan 2009 di Indonesia sebagai awal mula model demokrasi di mana rakyat langsung memilih politisi jagoannya, menandai era political libidoshopy (Piliang:2005). Kontestasi pemilu yang dipenuhi wajah-wajah manipulatif dan baik.   
            Wajah politik tak ubahnya wajah ekonomi, di mana wajah politik menjadi wajah kapitalistik. Wajah dalam poster membutuhkan sebuah polesan dengan alat make up bernama “teknologi photoshop” yang mampu merekayasa wajah seseorang menjadi lebih menarik. Seberapa menarik wajah yang hadir menjadi ukuran untuk mendapat “pembeli”. Wajah kian jauh dari substansi manusia.  
             Emanuel Levinas menyebut wajah sebagai epifani, yaitu kondisi manifestasi tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu. Wajah bagi Levinas adalah prasyarat penting untuk hadirnya “yang etis” (the etichal), yakni pertemuan dengan wajah orang lain dan menuntut tanggung jawab terhadap oeang lain. Wajah juga merupakan cara “yang lain” dalam menampakkan dirinya yang melampaui kemampuan saya (Levinas) untuk menilai, memahami dan mentematisasinya (Tjaya; 2011).   
            Pertemuan antara wajah para politisi dan wajah rakyat barangkali adalah faktor yang mampu memberi garansi kesalingpahaman, yang dalam filsafat politik Habermasian bisa disebut sebagai bentuk tindakan komunikatif dalam ruang publik politis. Wajah politisi justru lebih sering hadir lewat bantuan teknologi fotografi dan media massa. Wajah politisi menjadi tak terpahami oleh rakyatnya.
Wajah senantiasa hadir membawa pesan. Wajah berbicara kepada kita, menunjukkan identitas dan substansi wajah yang coba dimanipulasi dengan berbagai cara, menjadi narsisisme. Kutukan pada wajah Narcissus juga menahbiskan tragedi wajah yang menimpa kita saat ini.      

Esai ini peranh dimuat di Seputar Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil