Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2015

Kita dan Agama Warisan

              Kita harus mengakui, bahwa kebanyakan agama yang kita anut merupakan warisan dari orangtua, bukan karena kesadaran yang muncul karena proses pencarian untuk memilih agama. Bagaimana seandainya kita dilahirkan oleh orangtua yang tak beragama? Kemungkinan kita juga tidak akan menganut suatu agama pun. Kecuali, lingkungan sosial, -terlepas dari peran orang tua-, telah membuat kita tertarik untuk memeluk suatu agama tertentu. Lingkungan terdekat; keluarga dan masyarakat ikut mendukung pewarisan agama ini. Kita, yang ketika dewasa kemungkinan besar juga akan mewariskan agama kepada anak-anak kita, berada dalam lingkaran pengetahuan keberagamaan yang bergerak “lambat”. Agama dipahami secara kognitif (syariat), dan belum sampai kepada afektif (religiositas) dan psikomotorik (sikap tolerantif). Situasi demikian adalah risiko generasi kemudian, yang lahir ketika agama samawi (agama yang berada serumpun Abrahamic religion ) maupun agama yang diakui oleh negara sudah fina

MOS, Perploncoan, dan Bakat Siswa

            Hari pertama masuk sekolah telah berlangsung pada Senin, 15 Juli lalu. Hiruk pikuk di jalan dan sekolah pun kembali terasa setelah libur kenaikan kelas. Di jalan, kita melihat pelajar yang berpenampilan aneh; kaos kaki yang beda warna, topi dari kardus, pita rambut warna-warni yang dipakai pelajar putri, dan lain sebagainya. Rupanya, mereka adalah siswa baru yang sedang menjalani MOS (masa orientasi siswa), yang di perguruan tinggi dikenal dengan OSPEK (orientasi studi pengenalan kampus). MOS menjadi agenda “wajib” bagi sekolah-sekolah dalam menyambut siswa baru. Ini merupakan ajang “pemanasan” bagi siswa baru sebelum berkutat dengan pelajaran sekolah. Seolah menjadi budaya pendidikan kita yang terus dipelihara, MOS memang seperti buah simalakama; ditakuti tapi juga dirindukan. Ditakuti karena bayangan siswa senior (kakak kelas) yang sok galak, arogan, dan suka membentak. Sementara bagi anak-anak seusia sekolah, MOS bisa menjadi ajang untuk ngeksis yang kadang dilalu

Gardu Facebook

Oleh Junaidi Abdul Munif             Gardu menjadi penanda fisikal-kultural di sebuah masyarakat yang menganut prinsip gotong royong. Awalnya gardu hadir memang sebagai pos jaga; menjaga ketertiban dan keamanaan desa. Para warga digilir untuk piket jaga, dengan kenthongan berfungsi sebagai sirene peringatan dengan kode ketukan yang menandakan bahaya yang sedang mengancam.             Sejarah gardu menyimpan sejarah yang panjang sejak masa kolonial hingga reformasi. Dalam bahasa kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) gardu menjadi “anjing penjaga” akan hadirnya liyan , the others yang diduga mengancam stabilitas kampung. Orde Baru pun setali tiga uang. Menjadikan gardu sebagai alat kontrol masyarakat akan hadirnya instabilitas dari luar.             Setelah itu gardu mati suri seiring melemahnya otoritas Orde Baru yang memuncak pada turunnya Soeharto pada 1998. Reformasi dan tragedi Banyuwangi pada 1999 yang mengorbankan para kyai-kyai dengan isu dukun santet t

Seks yang Malu-malu Mau

Persoalan seks di negeri ini hadir secara ambigu. Sigmund Freud mendedahkan seks, -bersama kekerasan-, sebagai hasrat purba manusia yang tersembunyi (id). Kepurbaan ini yang coba dilacak Michel Foucoult dalam bukunya Ingin Tahu Sejarah Seksualitas?.             Di negeri ini seks bertumbuh kembang dalam psikologi anak baru gede (ABG) secara sembunyi. Dampak seks yang dikurung, selama masa Victoria di Inggris, nyata hadir di Indonesia. Seks, karena alasan moral dan agama, diringkus untuk pendisiplinan moral masyarakat.             Tapi rupanya kita mesti membayar mahal, ketika seks yang lucah dan amoral itu mengendap di pikiran seperti pencuri yang mengendap-endap dalam rumah. Pendidikan seks yang digaungkan sebagai counter culture bagi seks yang membabi buta, datang terlambat, terutama juga akibat globalisasi yang lari begitu kencang menabrak bangsa ini.             Setidaknya, seks muncul dalam guyonan secara parodik, dari ruang publik akademik sampai ruang publik agama

Era Jurnalisme Masyarakat

            Citizen journalism (jurnalisme masyarakat) menjadi wacana menarik beberapa tahun terakhir. Jurnalisme masyarakat menjadi genre tersendiri dalam dunia pers Indonesia yang mulai luntur keberpihakan kepada masyarakat akibat korporasi pers yang berselingkuh dengan kekuasaan.   Sehebat apa pun wartawan paling profesional dan mampu bergerak secepat kilat, mereka tetaplah memiliki kekurangan. Karena itu bisa jadi terdapat momen unik yang luput dari perhatian wartawan. Bisa karena tak ada informasi atau bersamaan dengan meliput di tempat lain. Masyarakat bisa ”membantu” wartawan untuk meliput momen unik tersebut. Di sinilah masyarakat awam (publik) bisa menjadi ”wartawan” untuk dirinya sendiri atau orang (media massa) lain. Jurnalisme masyarakat bisa menjadi jurnalisme tandingan (counter journalism) bagi media masa profesional. Namun, bisa juga menjadi pendukung untuk jurnalisme profesional. Kini banyak media elektronik dan cetak yang mengundang masyarakat untuk berpartisi