Pendidikan dan Tragedi Imajinasi
Bangsa ini lekat dengan tragedi yang melatari sejarah eksistensi Nusantara-NKRI. Tragedi keris Empu Gandring, Perang Bubat, Perang Jawa, Pembantaian Raymond Westerling, Pembunuhan massal 1965, Tanjung Priok, DOM Aceh, Timor-Timur, Kerusuhan Mei 1998, dan beberapa tragedi lain masih menyisakan misteri yang belum selesasi dikuak.
Upaya yang terus dilakukan para pegiat HAM dalam mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan dan menguak kabut hitam berbagai tragedi itu seolah menemui jalan buntu. Pemerintah seperti menutup telinga untuk mendengar suara anak bangsa yang dibabat kebebasan hak-haknya.
Tragedi-tragedi tersebut seperti datang-lenyap-datang-lenyap. Begitu seterusnya. Satu tragedi berganti tragedi lain tanpa pernah selesai terkuak. Tragedi seperti tumpukan peristiwa yang menutup peristiwa sebelumnya. Bangsa ini mengidap apa yang disebut sebagai banalitas tragedi. Pitaloka (2010) menjelaskan bagaimana kejahatan akan dianggap sebagai kelaziman (banalitas) ketika terjadi pembiaran struktural oleh (aparatus) negara. Kita melihat bagaimana tuntutan korban tragedi tersebut tak pernah dihiraukan oleh pemerintah yang hanya memberi angin surga, tanpa ada itikad untuk menyelesaikannya.
Pelbagai tragedi yang melahirkan banalitas tragedi itu membuat masyarakat mengidap penyakit lupa. Kita seperti menolak tesis Milan Kundera bahwa perjuangan manusia paling berat adalah perjuangan melawan lupa. Lupa telah terintegrasi dalam ingatan komunal masyarakat kita.
Agaknya, pelupaan itu dibentuk secara sistemik, dan kemudian mendarah daging pada jiwa kita. Kita tak lagi mampu berpikir tentang tragedi yang bersifat nasional, karena setiap kita, mengalami tragedi individu. Krisis ekonomi 1997, krisis kepemimpinan, lalu menjadi krisis identitas adalah lahan subur bagi lupa yang sistemik itu.
Namun di sini, lupa yang menjadi lupa kolektif tersebut, mengikuti logika banalitas kejahatan (banality of evil) oleh Hannah Arendt (Rieke Diah Pitaloka, 2010) sesungguhnya bermula dari negara yang mengonstruksi lupa kolektif tersebut. Negara dengan pelbagai kepentingan pemerintah senantiasa berupaya untuk “merawat” segala lupa itu, karena segala ingatan yang tumbuh selalu berpotensi mendongkel legitimasi dan eksistensi pemerintah yang sah. Inilah pangkal tolak pelupaan sistemik itu. Pelupaan menjadi narasi kebudayaan kita.
Hidup kita sejatinya dipenuhi oleh imajinasi. Bukankah NKRI dengan segala rupa kebhinekannya, juga merupakan hasil imajinasi the founding father’s NKRI? Imajinasi Gajah Mada memunculkan kejayaan Majapahit dengan wilayah seluas Indonesia sekarang, ditambah Tumasik (Singapura) dan beberapa pulau yang kini bagian negara Filipina.
Sebagai bangsa pun kita adalah hidup dalam selasar imagined communities (komunitas-komunitas terbayang) sebagaimana mencuat dari pemikiran Ben Anderson. Komunalisme –sebagai pondasi nasionalisme- yang kita bangun selama berabad disusun dari abstraksi-abstraksi identitas kita yang sama, dibentuk oleh satu tujuan yang masih tertanam di imajinasi.
Imajinasi kita sebagai bangsa telah dikebiri sejak mengeyam bangku sekolah. Pelajaran mengarang yang dulu diajarkan di sekolah, kini semakin menjadi seupil narasi pelajaran Bahasa Indonesia yang penuh sesak dengan aturan-aturan teknis kebahasaan. Mengarang sebagai taman imajinasi digersangkan oleh sistem pendidikan yang tersandera nilai-nilai akademik.
Albert Einstein menganggap bahwa imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan. Semua penemuan spektakuler manusia bermula dari imajinasi mereka terhadap tantangan yang diberikan oleh zaman. Imajinasi dengan demikian, bersanding erat dengan rasionalisme cogito ergo sum Cartesian.
Maka demikian, sesuatu yang mengkhawatirkan telah terjadi; kita mengalami tragedi banalitas imajinasi. Ruang-ruang sosial, ekonomi, politik, budaya, agama dijerat epigonisme dan repetisisme. Semua yang tampak adalah peniruan, pengekoran, dan pengulangan dari semua yang telah ada. Ruang-ruang kemanusian kita menjadi seragam. Imajinasi terkubur dalam-dalam, menjadi bayi yang dirogol dari pikiran kita.
Komentar