Era Jurnalisme Masyarakat
Citizen
journalism (jurnalisme masyarakat) menjadi wacana menarik beberapa tahun
terakhir. Jurnalisme masyarakat menjadi genre tersendiri dalam dunia pers
Indonesia yang mulai luntur keberpihakan kepada masyarakat akibat korporasi
pers yang berselingkuh dengan kekuasaan.
Sehebat apa pun wartawan
paling profesional dan mampu bergerak secepat kilat, mereka tetaplah memiliki
kekurangan. Karena itu bisa jadi terdapat momen unik yang luput dari perhatian
wartawan. Bisa karena tak ada informasi atau bersamaan dengan meliput di tempat
lain. Masyarakat bisa ”membantu” wartawan untuk meliput momen unik tersebut.
Di sinilah masyarakat awam
(publik) bisa menjadi ”wartawan” untuk dirinya sendiri atau orang (media massa)
lain. Jurnalisme masyarakat bisa menjadi jurnalisme tandingan (counter journalism)
bagi media masa profesional. Namun, bisa juga menjadi pendukung untuk
jurnalisme profesional. Kini banyak media elektronik dan cetak yang mengundang
masyarakat untuk berpartisipasi mengirimkan hasil liputan mereka.
Shayne Bowman dan Chris Willis mendefinisikan citizen
journalism sebagai ‘…the act of citizens playing an active role in the
process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and
information”. Masyarakat
melakukan kerja jurnalistik seperti jurnalis profesional. Bukan hanya mencari
berita tanpa analisa.
Perkembangan
jurnalisme masyarakat memang tak bisa lepas dari perkembangan teknologi yang
semakin menggila. Teknologi komunikasi dalam bentuk kamera digital, hape berkamera,
facebook, blog, menjadi media efektif untuk menyalurkan hasrat menjadi jurnalis.
Media ini dekat dengan masyarakat. Hape bahkan hampir dibawa setiap saat
sehingga memungkinkan masyarakat untuk bisa menjadi jurnalis seketika itu juga.
Kamera digital dan hape layaknya
sebuah foto bagi wartawan. Dengan dua benda itu mereka bisa hunting (memburu)
berita. Facebook dan blog
menjadi ”koran” bagi pehobi jurnalisme masyarakat ini. Mereka bisa meng-upload
hasil buruan jurnalisme mereka ke situs jejaring sosial.
J.D. Lasica, Online
Journalism Review (2003), mengategorikan media citizen journalism
ke dalam 6 tipe, yaitu audience participation, situs web berita atau informasi independen, situs
berita partisipatoris murni, situs media kolaboratif, bentuk lain dari media ‘tipis’
(mailinglist, newsletter e-mail), situs penyiaran pribadi.
Dalam hukum jurnalisme
masyarakat, semua orang bisa dengan mudah menjadi jurnalis. Tak perlu perlu memiliki
pengetahun khusus tentang teknik fotografi, menulis berita, dan paham kode etik
jurnalistik. Jurnalisme masyarakat pun berjalan tanpa sensor dan perbaikan (editing)
yang mumpuni.
Berbeda dengan jurnalisme profesional
yang wartawannya harus patuh pada kode etik jurnalistik, bisa menulis berita dengan
baik dan benar, serta memahami teknik fotografi. Karena sifatnya yang
profesional, maka pengelola media profesional juga mesti hati-hati. Banyak
kasus tuntutan pihak tertentu pada sebuah media profesional adalah risiko
ketika mereka meloloskan sebuah hasil jurnalistik yang ”meresahkan” pihak-pihak
tertentu.
Jika
berpendapat bahwa jurnalisme masyarakat berkembang seiring perkembangan
teknologi komunikasi mutakhir, adalah salah besar. Teknologi adalah salah satu variabel
yang membuat jurnalisme masyarakat menjadi semakin bergairah. Variabel lainnya
adalah gejala demokrasi yang menuntut keterbukaan serta kepedulian masyarakat
akan pentingnya kontrol terhadap pemerintah.
Jauh sebelum teknologi komunikasi
marak, surat pembaca sebetulnya juga bentuk jurnalisme masyarakat. Surat pembaca
bisa menjadi media keluhan, laporan, dan saran terhadap kelayakan pelayanan
publik. Di berbagai media massa yang cukup besar, surat pembaca terbukti memiliki
taring untuk menyentil pengambil kebijakan.
Perkumpulan
epistoholik (penulis surat pembaca) menjadi bukti bahwa organisasi ini memiliki
banyak pengikut. Kerap dijumpai nama-nama yang sering menulis surat pembaca,
tidak hanya di satu media. Mereka bisa dikatakan adalah orang-orang tulus untuk
bersuara lantang mengkritik kebijakan pemerintah. Mereka juga rela keluar uang
untuk mengirim surat pembaca, karena surat pembaca tidak mendapat honor. Hanya
kepuasan batin untuk bersuara yang mendorong mereka terus setia menulis surat
pembaca.
Karena
surat pembaca adalah bentuk jurnalisme masyarakat yang dimuat di ruang media
massa profesional, membuat otoritas redaksi ikut berpengaruh. Redaksi berhak
meloloskan surat pembaca itu dimuat atau tidak. Meski seleksi untuk dimuat
relatif kecil dibanding artikel lain.
Ini
yang membuat kebebasan masyarakat untuk berpendapat secara tidak langsung
”dibatasi”. Beberapa tahun lalu di Jakarta ada penulis surat pembaca yang
dituntut sebuah perusahaan karena dituduh melakukan fitnah. Keterlindungan
jurnalisme masyarakat lewat surat pembaca masih belum terjamin. Meski ada
aturan tentang hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mengklarifikasi
materi surat pembaca tersebut.
Undang-undang
pers telah begitu terperinci mengatur pers agar baik di mata masyarakat dan
pemerintah. Pers sebagai pilar keempat demokrasi (the fouth estate) memang selayaknya menjadi kontrol pemerintah
dalam menjalankan kebijakan yang pro-rakyat. Mereka adalah anjing penjaga yang
akan menggonggong jika rakyat dirugikan. Namun pasal-pasal pers tersebut
dianggap hanya akan melemahkan pers seperti halnya di zaman Orde Baru.
Pada
titik inilah jurnalisme masyarakat akan semakin tumbuh jika nanti terbukti pers
melempem di hadapan kekuasaan. Apalagi dalam industri pers sendiri semakin
sarat dengan kepentingan karena banyaknya pemilik media sekaligus juga politisi
yang akan memanfaatkan medianya untuk mencapai tujuan-tujuan politis.
Karena sifatnya yang privat
dan independen tersebut, jurnalisme masyarakat berjalan dengan liar. Mereka bisa
tembak sana-sini. Risikonya jika kebetulan bersentuhan dengan ruang publik dan
pihak lain, bisa jadi fatal akibatnya. Risiko inilah yang mesti dihadapi para
pehobi jurnalisme masyarakat.
Meski pada sisi lain,
menampilkan tulisan dan foto di blog atau facebook bisa melengang
seenaknya karena bisa menggunakan identitas palsu. Banyak masyarakat yang suka
menggunakan identitas palsu saat mengisi akun di jejaring sosial. Tujuannya
bisa jadi adalah agar dia bisa bersuara lantang tanpa terlacak identitas
sebenarnya.
Kasus Prita Mulyasari dengan
rumah sakit berlabel internasional adalah contoh ketika yang privat tersebut
menjalar ke publik maya. Curahan hati Prita ketika merasa ditelantarkan oleh
rumah sakit tersebut memang dikirimkan kepada teman-temannya saja. Dalih rumah
sakit untuk menuntut adalah mesin pencari di internet akan segera menampilkan
surat Prita tersebut.
Pers dan demokrasi adalah dua
hal yang mesti berjalan linier. Demokrasi tanpa pers yang tangguh adalah
demokrasi semu yang justru bisa melanggengkan otoritarianisme. Masyarakat
sebagai subjek demokrasi mestinya tumbuh untuk menjadi ”pers” baru yang
independen tanpa intervensi dan kepentingan apa pun selain kepentingan
masyarakat.
Komentar