Piala Dunia, Pilpres, Puasa
Piala Dunia 2014 yang dihelat di Brazil mulai 12 Juni kemarin, berbarengan dengan momentum menjelang pilpres di Indonesia pada 9 Juli. Hari-hari ini, pembicaraan kita seolah-olah hanya dua; Piala Dunia dan pilpres. Dua momentum tersebut dilatari dengan “background” bulan Ramadan.
Sepak bola merupakan olahraga paling populer di dunia. Indonesia merupakan negara dengan penonton sepak bola yang antusias. Turnamen sepak bola dan liga Eropa memeroleh penonton yang banyak di Indonesia, menjadi obrolan warung kopi dan dunia maya. Hampir dipastikan, tidak ada sekelompok laki-laki yang tidak akan membicarakan sepak bola.
Seberapa jauh Piala Dunia memengaruhi wacana pilpres? Umberto Eco dalam Tamasya dalam Hiperrealitas (2008) menuliskan risalah yang menggelitik bagaimana pandangan masyarakat tentang piala dunia. Sebagai orang yang tak menyukai olahraga ini, filsuf Italia ini mengoyak kesadaran kita bagaimana sepakbola merupakan antitesis dari hiruk pikuk politik.
Apakah hal itu terbukti pada tahun ini? Warga negeri ini tampaknya memerlukan ikon untuk eksistensi diri (meskipun semu). Di tengah prestasi sepak bola kita yang masih jauh panggang dari api dunia internasional, masyarakat menitipkan harapan hadirnya kejayaan (glory) pada negara kontestan Piala Dunia. Kemenangan negara jagoan akan memberi kebahagiaan tersendiri.
Ruang eskapisme
Kalau politik berurusan dengan publik yang menjadi subjek sekaligus objek untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, maka sepak bola (dan Piala Dunia) adalah olahraga yang naik derajat karena publik yang trans-nasional mendapatkan prototipe apa artinya menjadi negara “adi-daya”.
Masyarakat Indonesia tampaknya cukup sadar bahwa sepak bola dan Piala Dunia, lebih dari apa pun, merupakan ruang eskapisme untuk melarikan diri dari kejenuhan politik. Intensitas berita politik kian banal, tidak lagi berkutat pada visi-misi aktor politik, tetapi bergeser pada tanda-tanda dan pendapat (statement) yang melekat pada diri politisi. Wacana tentang tanda dan statement inilah, kiranya yang membuat iklim politik semakin membuat gerah. Sepak bola lantas menjadi oase.
Dalam Piala Dunia, kontroversi dan cara-cara culas kerap dilakukan. Kita tentu ingat bagaimana Zidane menanduk bek Italia, Marco Materazzi dalam final PD di Jerman 2006. Zidane lantas diganjar kartu merah. Materazzi berhasil memantik amarah Zidane sehingga dia di dunia politik, black campaigne (kampanye hitam) dan kampanye negatif mendapatkan legitimasi “tradisi”, meski secara aturan main KPU, dapat di-kartu kuning (bahkan merah). Kita bingung, apakah intrik di sepak bola yang memengaruhi intrik politik, atau sebaliknya.
Begitulah, tampaknya, sepak bola dan politik kini menjadi dua keping mata uang yang tak dipisahkan. Kemenangan, bagi aliran sepakbola pragmatis, menjadi sesuatu yang utama. Maka, tiki taka a la Spanyol yang bermain cantik, sering dicibir karena cuma ber-indah-indah dalam sepak bola. Apa daya, permainan cantik itu total footbal Belanda dan kolektivitas Chili.
Kita tinggal menyaksikan, bagaimana pemain politik belajar dari teknik sepak bola, dan meraup “keuntungan” dari digelarnya Piala Dunia. Apakah televisi yang menyiarkan momentum sepak bola empat tahunan ini dapat menaikkan elektabilitas capres yang didukung. Atau, mengamini Eco, penyelenggaraan Piala Dunia paling banter adalah mengurangi diskusi politik dan lebih banyak circenses sosiologis.
“Agama bumi”
Sepak bola seperti ditakdirkan menjadi “agama bumi” yang dianut milyaran manusia di jagad ini. Ritus ibadahnya, yakni menonton siaran langsung, membaca berita bola di media massa, dan membeli jersey (kostum) tim kesayangan akan membuat “iman” sepak bola kian menebal.
Sebaliknya, pilpres pun menjadi “agama bumi” dalam politik. Ritus-ritus pilpres: kampanye, debat, bagi-bagi kaos, memasang spanduk, adalah “upacara politik” yang harus dilakukan untuk mendapatkan konstituen (umat). Mengikuti ritus-ritus tersebut, “iman politik” semakin kukuh untuk menyongsong 9 Juli dan membuncahkan asa posistif selama lima tahun ke depan.
Sementara puasa, yang merupakan titah dari ”agama langit” mendedahkan makna yang vertikal maupun horisontal. Puasa adalah medium untuk menahan diri dari potensi negatif yang bersemayam dalam diri, dan bawah sadar manusia. Piala Dunia dan pilpres adalah ruang untuk mendapatkan kejayaan, yang hanya akan bernilai duniawi kalau tidak memasukkan relasi transendensi sebagai muatannya.
Puasa mengingatkan, bahwa urusan piala dunia dan pilpres sebetulnya hanyalah “catatan kaki” dari narasi besar manusia sebagai khalifah di muka bumi. Apa pun “jabatan” kemanusiaannya, selama dia memberikan manfaat bagi orang lain dan alam, jabatan khalifah layak disematkan kepada manusia itu. Jangan sampai karena jagoan kalah di piala dunia dan pemilu presiden, membuat kita mengotori kemuliaan bulan puasa.
Komentar