Agama (Sebagai) Komoditas
Agama hadir sebagai jalan menuju kebahagiaan.
Doktrin, dogma maupun ajaran agama seperti memberi garansi tentang kebahagiaan
hidup. Bahagia adalah konsepsi yang abstrak, tak dapat diraba kecuali gejala
yang tampak dari orang yang dianggap bahagia.
Surga menjadi puncak kebahagiaan manusia kenapa mereka memilih untuk
memeluk sebuah agama. Religiusitas menjadi sikap yang tampak, sementara
spritualitas layaknya kebahagiaan yang abstrak itu. Maka dalam hadits, Nabi
menyindir manusia yang seolah beramal akhirat padahal ia sedang beramal dunia,
dan sebaliknya, ada manusia yang kelihatannya beramal dunia, padahal ia sesungguhnya
beramal akhirat.
Segala upaya dilakukan manusia agar hidupnya kelak berakhir di surga yang
kekal. Fitrah manusia sebagai makhluk beragama yang menyembah dzat yang agung dan
transendental (Tuhan), meyakini bahwa hidup tak hanya di dunia yang kini
dijalani, melainkan juga ada alam kehidupan berikutnya yang lebih kekal.
Pelbagai cara dilakukan untuk mencapai kebahagiaan yang dijanjikan itu.
Tokoh-tokoh agama menjadi wakil nabi untuk menyebarkan nubuat kenabian. Agama
hadir dalam pelbagai aksi, baik secara politik, ekonomi, budaya, militer,
bahkan jihad (holy war) untuk mencapai kebahagiaan itu.
Kendati meyakini bahwa kehidupan berikutnya menjadi tujuan utama orang beragama,
mereka tak lantas meninggalkan kehidupan ini. Agama memiliki dua pesan kehidupan,
yakni material dan immaterial. Immaterialitas adalah kehidupan beragama yang memunculkan
apa yang disebut sebagai asketisme. Materialisme dalam beragama akan memunculkan
borjuasi beragama, sebuah golongan masyrakat beragama yang kaya secara materi.
Keduanya diharapkan berjalan secara sinergis, antara material dan immaterial,
antara profan dan profetik. Kehidupan material urgent untuk eksistensi manusia
di alam materi (dunia). Kehidupan immaterial penting sebagai wasilah (sarana) untuk mencapai
spiritualitas itu.
Maraknya gerakan yang disebut sebagai NII tak lepas dari modus operandi
untuk membawa agama sebagai ajang materialisme, mengeruk harta dari umatnya.
Dosa bisa ditebus dengan uang sekian rupiah. Percampuran antara yang profan dan
profetik tak terhindarkan. Ini bukan fenomena yang baru. Pada abad ke- 17
Gereja di Eropa pernah menjual surat pengakuan dosa kepada masyarakat. Tak
jelas apakah uang hasil “penjualan jaminan surga” ini dipakai untuk
kemaslahatan umat atau tidak.
Komoditas
Modernitas yang berjalan ala filsafat
Cartesian (cogito ergo sum) tidak lantas
menyingkirkan peran agama di kehidupan manusia. Tesis Peter L Berger tentang
kebangkitan agama di zaman modernitas begitu marak di akhir-akhir ini. Meski
agama kini hadir dalam wujud yang lebih umum, tidak mesti mengambil stempel
agama-agama yang sudah dulu mapan. Manusia modern mengalami krisis
spiritualitas, dan beragam cara dilakukan agar hasrat spiritualitas itu
terpenuhi.
Sufisme berlangsung secara mewah di hotel-hoel berkelas, kehidupan beragama
menjadi riuh dengan pengejaran sisi spiritualitas umat manusia. Moda pelatihan sholat
khusyuk atau fadhilah sedekah hadir untuk memanjakan umat yang mengalami dahaga
spiritualitas. Anehnya, untuk mengikuti pelatihan ini dibutuhkan uang untuk
membayar.
Di sini kemudian agama menemukan bentuknya yang paling degil. Agama menjadi
ajang komoditas bagi sebagian kelompok untuk mendapatkan keuntungan materi.
Sasaran utama tentu saja adalah mereka yang mengalami krisis spiritualitas atau
mereka yang ingin instan mendapat “nilai lebih” dari agama.
Pada kasus NII, bahwa gerakan NII sebetulnya
jauh dari cita-cita untuk mendirikan negara Islam. Mungkin pada zaman
Kartosuwiryo, isu ini masih kental. Tapi kini kuat dugaan bahwa gerakan NII berlatar
ekonomi, yakni Jaringan NII KW 9 terlilit hutang Rp 50 milyar dan Rp 200 milyar
hilang di Bank Century. Cuci otak dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan uang
demi melunasi utang itu (Sholahuddin,
Suara Merdeka, 20/4/11).
Dalam era posmodernisme, kapitalisme
seperti sedang mempertontonkan watak komoditasnya. Agama juga tak luput dari
komodifikasi ini, entah dengan cara-cara yang santun maupun anarkis. Posmodernisme
menghadirkan post-spiritualitas, yakni kondisi bercampurnya nilai-nilai
spriritual dengan nilai-nilai materialisme (Piliang; 2005; 217).
Lantas di mana sejatinya sikap
keberagamaan yang masih jernih dan steril dari nilai-nilai profan itu? Tak
mudah menjawabnya, karena zaman ini hadits Nabi yang disitir di awal tulisan
ini sedang menemukan momentum untuk tumbuh dan berkembang biak secara
massif.
Komentar