Visi Keindonesiaan NU



Visi Keindonesiaan NU
           
Tanggal 31 Januari menjadi tanggal istimewa bagi warga nahdliyin, karena jam’iyah Nahdhatul Ulama’ (NU) merayakan hari jadinya. Tahun ini NU genap berusia 89 tahun. Usia yang matang bagi sebuah ormas untuk berkiprah dalam dinamika Indonesia yang mengalami pasang surut. Boleh disebut, NU adalah aswaja yang berdialektika dengan budaya (tradisi) khas Indonesia yang telah  berkembang sejak pra-Islam.  
Ditahbiskan sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, -bahkan ada yang mengatakan di dunia-, tidak lantas menjadikan NU jumawa dan besar kepala. NU tetap memegang kukuh sikap ketradisionalannya, -sebuah stigma yang begitu lekat dengan ormas ini sejak mula didirikan. Jika tradisionalisme menjadi antitesis modernisme, dengan serta merta kita akan ”terjebak” pada dikotomi NU-Muhammadiyah.
Almuhafazatu ’ala al qadim al shalih wa al ahzu bi jadidi al aslah (merawat tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik) adalah kaidah masyhur NU yang menjadi pijakan warga nahdliyin dalam bersikap. Istilah yang oleh Gus Dur diejawantahkan dalam terma Islam Kosmopolitan itu adalah sikap arif dalam menjaga Indonesia dari kepunahan.
Dari latar belakang sejarah, menunjukkan bahwa NU hadir sebagai penjaga tradisi. Munculnya gerakan lain yang mengusung ideologi wahabi, coba di-counter oleh NU karena bertolak dari akar kesejarahan Indonesia. Walisongo ketika masuk ke Jawa, lebih diterima masyarakat saat berdakwah dengan metode kultural, bukan metode sufistik-fiqh al a Arab yang secara kultur berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia.
Itulah yang dijaga NU; nilai keindonesiaan yang tetap dipegang teguh  meski ada gerakan untuk mengislamkan Indonesia sesuai versi Arab, atau bahkan mengomuniskan Indonesia seperti yang dicoba oleh PKI. Sampai saat ini NU masih berhasil menjaga Indonesia tidak berubah menjadi negara teokrasi maupun sekuler an sich.
NU adalah ormas maupun parpol (ketika menjadi partai NU) yang tak pernah memberontak dan berusaha mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam sekalipun. Hal ini dilakukan untuk menghindari perpecahan masyarakat Indonesia yang plural dan kemungkinan menimbulkan mafsadah (kerusakan) jika Indonesia menjadi negara Islam.
Bagi NU, hukum Islam tak perlu masuk dalam sistem legal formal hukum di Indonesia. Hukum (syariat) Islam cukup menjadi spirit sosial yang mampu menyelesaikan problem sosial. Bukankah warga nahdliyin mayoritas adalah warga pesantren yang teguh memegang tradisi fiqh? Dan kyai (ulama) NU sering menjadi rujukan umat dalam menyelesaikan poblematika masyarakat? Pada titik inilah sebetulnya bagi NU, hukum Islam lebih lantang berbicara tanpa harus tampak gagah karena menjadi undang-undang negara.
Kembali ke Khittah 1926 yang ditegaskan dalam muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur 1984, menjadi jargon yang terus diteriakkan hingga saat ini. Terlebih menjelang momen pemilu dan pilkada, di mana banyak warga nahdliyin yang ”laris” dipinang beberapa parpol. Suara NU memang menggoda bagi pihak lain untuk mengajaknya bertarung dalam politik praktis kekuasaan.
Sejak awal berdiri, NU tidak anti dengan politik. Gus Mus (Musthofa Bisri) menyebut ada tiga kategori politik di tubuh NU, yakni politik kerakyatan, kebangsaan dan kekuasaan. Meski harus jujur diakui, akhir-akhir ini NU lebih kelihatan di ranah politik yang ketiga, politik kekuasaan. NU menjadi kendaraan politik sebagian oknum, baik dari NU sendiri atau di luar NU yang menggandeng ”gerbong” NU.
Di zaman global dan banyak campur tangan asing di Indonesia, politik untuk mencapai kekuasaan perlu untuk merubah kebijakan yang pro-rakyat. Jika NU hanya mengurusi politik kerakyatan dan kebangsaan, NU akan tertinggal satu langkah dari ormas lain yang melebarkan sayap ke politik, meski tidak secara formal.
Memang tak bisa dihapuskan dari memori kolektif warga NU bagaimana Orde Baru menutup akses politik warga nahdliyin untuk jabatan publik yang strategis. Kendati sejak revolusi kemerdekaan sampai pemberontakan PKI, NU terlibat aktif bersama pemerintah menjaga Indonesia dari tragedi dan friksi politik tersebut. Jasa NU ”seperti peribahasa air susu dibalas air tuba”. Langkah Orde Baru tersebut tidak menyurutkan komitmen NU untuk menjaga keutuhan NKRI. 
Menuju politik kekuasan bukan lantas untuk kepentingan NU sendiri. Tapi melanjutkan kontinuitas para founding fathers NU yang gigih menjaga Indonesia dari kepunahan. Khittah NU agar NU tidak terjun ke politik praksis lebih dikarenakan agar NU tetap satu, tidak terkotak-kotak parpol apa pun. Hal itu sebetulnya bisa disiasati dengan membagi wilayah kader NU. Kader NU saat ini memiliki potensi hampir merata di segala bidang. Harus bisa dibagi kader NU yang berjuang di wilayah politik struktural dan kultural.

Peran Anak Muda NU

Sebagai sebuah ormas, NU sudah memiliki jenjang pengkaderan yang rapi dan organisatif. Dari pelajar hingga mahasiswa, terdapat hierarki organisasi yang secara struktural di bawah NU. IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat dan Ansor adalah jenjang pengkaderan yang ada di lingkungan NU. Selain itu ada PMII yang secara struktural melakukan interdependensi dengan NU, tapi secara kultural tak bisa lepas dari NU. Diharapkan dari berbagai jenjang persiapan ini akan memunculkan kader NU yang militan dan potensial.
Pemuda memiliki peran strategis dalam eksistensi NU di masyarakat. Lewat aksi sosial, pendidikan dan intelektualitasnya, mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat yang plural. Menjadi percuma jika NU hanya terus bergerak di pinggiran, sementara kawasan  kota (yang menjadi lahan subur gerakan wahabi) tidak tergarap maksimal. Pergerakan NU di pinggiran adalah kesalahan fatal. Secara antropologis, masyarakat kota umumnya adalah masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota. Jadi mereka sebetulnya adalah orang desa yang berkultur NU.
Banyak sekali potensi anak muda NU di kota. Selama ini telah banyak warga NU yang sadar dengan pentingnya pendidikan tinggi, terutama dari kalangan pesantren yang melanjutkan pendidikannya ke kota. Mereka adalah mayoritas santri yang telah lama  mengenyam pendidikan di pesantren dengan cukup matang sehingga pengetahuan agamanya tidak perlu diragukan lagi. Ini menjadi modal besar untuk eksistensi NU di kota.
Di tengah arus percaturan politik global, serta gerakan Islam yang mencoba melakukan purifikasi Islam (arabisasi Islam), menjadi momentum yang tepat bagi NU untuk meneguhkan kembali visi keindonesiaannya. Selamat harlah NU ke-86. Semoga tetap satu Indonesia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil