Politik di Ambang Dilema
Perdebatan antara Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung (republika.co.id) tentang demokrasi, yang berangkat dari demokrasi substansial (JK) dan demokrasi prosedural dengan perbaikan sistem kepartaian (Akbar Tandjung) menjadi “titik nadir” tentang makna dan tujuan demokrasi. Demokrasi yang menjadi sub-sistem dari politik menjadi perdebatan serius. Yang diharapkan dari demokrasi dan politik sesungguhnya apa?
Proses politik dan pemerintahan yang terjadi seringkali berjalan pada proses anomali. Tujuan bersama untuk memajukan Indonesia melalui potensi masyarakatnya terdistorsi oleh tujuan-tujuan pragmatis jangka pendek. Pelbagai kasus korupsi yang menjerat anggota legislatif, eksekutif, maupun yudikatif menjadi penanda rusaknya tata kelola pemerintahan, terutama menyangkut keuangan (sumber daya ekonomi).
Ramalan Ronggowarsito dalam serat Kalathida, bahwa kita memasuki zaman Kalabendhu, nek ora edan ora keduman (kalau tidak gila tidak dapat bagian) menjadi narasi sehari-hari yang dihadirkan televisi dan media massa. Zaman ini ditandai sikap keragu-raguan yang akut. Pemerintah dianggap ragu membuat kebijakan yang prorakyat, padahal pemerintah memiliki kacamata sendiri dalam merumuskan kebijakan itu. Sementara rakyat ragu akan hidupnya, terutama menyangkut masa depan hidupnya, akibat munculnya suara-suara oposan yang menyerang kebijakan pemerintah.
Imbas di masyarakat kemudian adalah tindakan-tindakan yang mengarah anarkisme, hilangnya trust (kepercayaan), baik secara vertikal maupun horisontal. Anarkisme dianggap sebagai pilihan pragmatis untuk menyelesaikan masalah. Anarkisme ideologi dan idealisme mewujud dalam bentuk nihilnya nilai-nilai Pancasila dan uang menjadi “tuhan” untuk menentukan dan menyelesaikan keputusan, privat ataupun publik.
Kaum Sangkala
Politik disesaki kaum Sangkala, sosok yang muncul dengan beringas untuk menindas rakyat. Perjuangan mereka tidak berada di atas rakyat, namun hanya perjuangan sektoral (partai dan kelompoknya). Demi meneguhkan kekuasaan Sangkala ini, pencitraan adalah cara merebut simpati. Sehingga akses kepada pemerintah yang dibangun seperti istana pasir, yang gampang runtuh.
Sosok politisi muda diharapkan akan menjadi ksatria yang akan mengganti para Sangkala dengan model kepemimpinan kolektif-kolegial. Namun, sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Justru politisi muda ikut arus menjadi calon Sangkala. Tandanya adalah politisi muda yang dituduh terlibat korupsi. Kaum muda yang sejak mahasiswa menampakkan idealismenya dengan visi-visi yang progresif kini justru mandul. Kuat dugaan, mandulnya mahasiswa dipengaruhi oleh senior-senior mereka dulu yang kini duduk di kekuasaan, baik eksekutif atau legislatif.
Dalam konteks strategi melenyapkan Sangkala, pilihan sering dijatuhkan pada agama atau hukum untuk menghilangkan segala kesengkarutan politik. Sistem politik secara makro menjadi sorotan. Bagi kalangan pengagum syariat Islam, hukum mesti diganti dari hukum manusia ke hukum Tuhan. Sementara kalangan yang lebih plural berharap kebudayaan dan penegakan hukum menjadi solusi.
Agama cukup menjadi spirit nilai bagi mereka yang percaya bahwa baik-buruk ditentukan Tuhan lewat hukum di agama. Sementara bagi yang percaya bahwa baik buruk ditentukan oleh intuisi (hati nurani manusia) dan norma (konsensus) sosial (mengiktui etika Kantian), tetap masih bisa bertindak baik buruk, karena kalau mau dikejar lebih jauh, nilai-nilai agama dan moral lebih banyak berjalan sejajar.
Jika penegakan hukum Tuhan dilaksanakan, itu potensial mengingkari kebudayaan yang tumbuh selama berabad di Indonesia (Nusantara). Hukum tanpa kebudayaan akan menihilkan peran konteks sosial dan dinamisasi masyarakat yang berjalan menciptakan peradaban.
Tanpa kebudayaan
Politik berjalan tanpa kebudayaan, sebagai sebuah tata nilai untuk mengatur kehidupan. Harrison dan Huntington (2000) telah menyitir betapa kebudayaan memiliki peran yang sangat vital. Dalam kebudayaan, yang terbentuk bukan hanya nilai, namun juga etos untuk bangkit dari keterpurukan. Sayangnya para tokoh yang dianggap sebagai budayawan, yang ditampakkan kepada publik adalah sisi kebebasannya yang sering dimaknai negatif. Hal ini dikarenakan karena media cenderung menempatkan seniman paralel dengan budayawan, atau kesenian adalah sama dengan kebudayaan.
Relasi tanda (kebudayaan) dan petanda (seniman) kemudian menjadi kabur. Representasi (nilai) kebudayaan yang coba dihadirkan para seniman, telah tertutupi. Gejala ini adalah khas zaman posmodernisme, bahwa representasi sebagai strategi untuk menghadirkan yang lain (the others), tumpul karena yang diterima dan ditangkap sebagai pesan (tanda) adalah apa yang ditampakkan (Piliang, 2003). Pun dengan politik, kabur adanya. Tidak jelas siapa sesungguhnya politisi atau yang hanya sebagai makelar politik.
Politisi yang lahir dari situasi zaman edan seperti itu, akan menghadirkan sosok-sosok Sangkala yang membalut dirinya dengan citra kemegahan namun rapuh karena tinggal menunggu kehancurannya saja. Petanda-petanda yang dihadirkan uang dan pencitraan, sangat sementara. Dia tak bisa menciptakan hegemoni yang sejati. Hegemoni bagi Antonio Gramsci, memerlukan modal kepemimpinan intelektual dan moral. Tanpa itu, kekuasaan seperti arena tumbal-menumbalkan. Ada yang mesti dikorbankan demi legitimasi kekuasaan yang sementara.
Politisi yang sekarang duduk di kekuasaan, merupakan hasil pendidikan a la Orde Baru yang imperatif-otoriter. Sumber kebenaran adalah kepentingan penguasa yang menyaru dalam tubuh Pancasila. Sistem ini menjadi legitimasi politik dan mitos dalam kerangka pikir dan aksi. Kendati pendidikan dan kebudayaan dipersatukan, yang terjadi justru kebudayaan dimaterialkan dan memiliki nilai-nilai ekonomis.
Komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat untuk bahu-membahu mengangkat keterpurukan bangsa menjadi opsi paling realistis sekaligus utopis. Langkah pemerintah untuk mengembalikan kebudayaan ke rahim pendidikan (Kemendikbud) adalah langkah formal dan struktural, yang jika tak diimbangi strategi kultural, tetap melahirkan manusia-manusia yang paham teori kebudayaan namun tak berpraktik berbudaya secara benar. Politik tanpa kebudayaan menghadirkan dilema, antara mengejar tujuan mulia politik atau sekadar memenuhi prosedur-prosedur demokrasi.
Komentar