Kita dan Agama Warisan


 
            Kita harus mengakui, bahwa kebanyakan agama yang kita anut merupakan warisan dari orangtua, bukan karena kesadaran yang muncul karena proses pencarian untuk memilih agama. Bagaimana seandainya kita dilahirkan oleh orangtua yang tak beragama? Kemungkinan kita juga tidak akan menganut suatu agama pun. Kecuali, lingkungan sosial, -terlepas dari peran orang tua-, telah membuat kita tertarik untuk memeluk suatu agama tertentu.
Lingkungan terdekat; keluarga dan masyarakat ikut mendukung pewarisan agama ini. Kita, yang ketika dewasa kemungkinan besar juga akan mewariskan agama kepada anak-anak kita, berada dalam lingkaran pengetahuan keberagamaan yang bergerak “lambat”. Agama dipahami secara kognitif (syariat), dan belum sampai kepada afektif (religiositas) dan psikomotorik (sikap tolerantif).
Situasi demikian adalah risiko generasi kemudian, yang lahir ketika agama samawi (agama yang berada serumpun Abrahamic religion) maupun agama yang diakui oleh negara sudah final. Tidak ada ruang bagi munculnya agama baru lagi. Apalagi agama yang dibuat oleh manusia, tak akan diakui sebagai agama, akan dianggap sebagai aliran kepercayaan. Masih beruntung jika aliran ini tidak dianggap sesat dan menyesatkan.
           
Penguatan Religiositas

            Namun, salahkah moda keberagamaan kita yang diturunkan secara turun-temurun itu? Tak ada yang salah dari sikap seperti ini. Hanya, ketika agama dianggap sebagai barang warisan, pemeluknya kehilangan semangat untuk mengetahui kebenaran agama lain. Dia menganggap agama yang dianutnya sebagai kebenaran mutlak, padahal dia sendiri tak mengetahui kebenaran, atau memahami ajaran  yang terkandung dalam agama lain. Kritik bagi agama dianggap sebagai penistaan.
            Ketertutupan bagi terbentuknya agama baru, memungkinkan yang dilakukan oleh manusia adalah menguatkan keyakinan terhadap agamanya. Institusi agama, lengkap dengan aparatus penjaga-penguatnya, berdiri sebagai penyokong penguatan agama ini. Namun, manusia rupanya adalah makhluk yang berkembang pemikirannya, tidak mau terkungkung oleh doktrin agama yang ada. Ilmu pengetahuan dan filsafat mengejar kebenaran agama dengan menegasi batas-batas pembeda agama yang ada.
            Agama lantas dianggap sebagai solusi yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Pada titik ini, ketika gagal ditemukan konklusi bahwa agama dapat meyelesaikan masalah riil manusia, agama rentan ditinggalkan oleh pemeluknya. Filsafat dekonstruksi Jacques Derrida memungkinkan terbentuknya modus baru keberagamaan dengan menyingkap selubung agama, lalu menahbiskan kondisi “agama tanpa agama”,  keberagamaan yang (mungkin) tidak lagi menjadikan bungkus agama sebagai yang utama (Al Fayyadl; 2004). Modus ini merupakan otokritik bagi agama yang sering tampil eksklusif dan arogan terhadap penganut agama lain.
            Agama, bagi pencari kebenaran sejati, tidak berhenti secara dogmatik-doktrinal. Jalan kebenaran agama itu dicari dengan menempuh pelbagai risiko. Karen Arsmstrong sampai pada keberagamaan yang agnostik, yang tidak menganut suatu agama pun, namun ia mengakui adanya Tuhan. Pencarian Armstrong yang panjang itu berhasil menemukan esensi semua kebenaran agama.

Dimensi Esoterik

            Agama apa pun, selalu memiliki dua dimensi dalam penguatan keyakinan. Pertama, adalah dimensi ekstorik, sesuatu yang dapat diamati dari luar. Dalam Islam, ritual ibadah yang kasat mata adalah bentuk agama eksoterik. Dalam agama lain pun demikian, tata cara ibadah adalah identitas dan ciri khas yang membedakannya dengan agama lain. Dimensi eksoterik agama menguat dalam pemunculan simbol-simbol keberagamaan.
            Yang kedua, dimensi esoterik, yang tak bisa diamati orang lain. Ia bisa jadi bersifat personal, yang kadangkala tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Penguatan dimensi esoterik adalah jalan kebenaran yang mesti ditempuh umat beragama, agar yang dianutnya adalah kebenaran yang mengendap sampai ke batin. Pencapaian esoterik dari agama, adalah sekaligus jalan penghargaan bagi agama lain. Kebenaran agama bukanlah kebenaran yang hanya dimiliki oleh agama tertentu, melainkan juga dimiliki oleh agama lain.
            Agama esoterik yang dikejar melalui tasawuf/filsafat inilah yang membuat Islam di Indonesia tegak dan menyejarah. Wali Songo sebagai penyebar Islam di Nusantara tidak menafikan keberadaan agama lokal maupun kepercayaan yang telah kuat di masyarakat (Sunyoto, 2012). Keberagamaan yang menghargai adanya kebanaran lain, keberagamaan yang tidak menaklukkan agama lain, justru mencari kesamaan, mengasimilasi, dan akulturasi yang membuat agama diterima oleh masyarakat secara luas, tanpa ada yang merasa agamanya terkalahkan.
            Di tengah menguatnya klaim kebenaran (truth claim) agama bagi golongan tertentu, pemahaman terhadap agama lain mesti dilakukan dalam upaya harmonisasi kerukunan antar-umat beragama di Indonesia. Kebhinekaan sebagai kekayaan kultural, adalah potensi yang membuat negara Indonesia kuat. Sistem pewarisan agama tidak serta merta menutup mata kita untuk mau bersusah payah mendapatkan kebenaran agama lain.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil