Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja
Puzzle Cerita dan Cinta A
la Sinetron
Oleh Junaidi Abdul Munif
Data Buku
Judul : Akik dan Penghimpun Senja
Penulis : Afifah Afra
Cetakan : April, 2015
Tebal : vii + 322 halaman
Penerbit
: Indiva Media Kreasi, Solo
ISBN : 9786021614631
Harga : Rp 55.000,00
Booming batu akik akan membuat pikiran
pembaca dengan mudah mengasosiasikan judul novel ini dengan fenomena yang
menjangkiti seluruh lapisan masyarakat tersebut. Tapi jika membaca lebih jauh,
akik hanya sebuah “kisah tempelan”. Batu-batu mulia, sebagai bahan utama
pembuatan batu akik, lahir dari proses alam yang menakjubkan, berlangsung dalam
waktu ratusan, bahkan ribuan tahun. Alih-alih mendapatkan kisah berlatar akik,
pembaca akan disuguhi cerita dunia remaja yang tidak lepas dari petualangan,
persahabatan, dunia kampus, keluarga, dan cinta!
Novel
ini dibuka dengan percakapan Fahira dan Anton. Entah, dalam ekspedisi yang ke
berapa, mereka bersama. Selanjutnya, kisah melompat ke tempat lain, tentang Rinanti,
yang sama sekali tidak hubungannya dengan cerita di bab pembuka. Maka, tidak
mudah menemukan tokoh utama novel ini. Anton dan Fahira memang menyita porsi
cerita lebih banyak.
Sementara
pertemuan singkat antara Rinanti, -wanita penjual kelapa muda, dengan Anton di
Pantai Klayar, memunculkan kesan tersendiri bagi keduanya. Setelah itu, Rinanti
dan Anton tidak bertemu lagi. Mereka berdua selanjutnya terlibat “pertemuan”
tidak langsung, dengan perantara Gunadi Hantayudha, suami Rinanti. Gara sapu
tangan milik Anton yang bertuliskan AYM, yang dimiliki Rinanti dan Gunadi.
Novel
yang berkisah petualangan Anton, Fahira, Nania, Azhar, dan Jaka dalam
menelurusi Luweng Jaran, gua di Pacitan, menghadirkan nuansa petualangan yang
cukup menegangkan. Judul dalam bab diberi nama-nama batu akik yang bisa jadi
sangat asing dengan pembaca awam. Banyak istilah geologi dan biologi yang
bertebaran di sekujur novel. Afifah Afra nampaknya piawai mengolah itu ke dalam
narasi yang menarik. Deskripsinya tentang dinding-dinding gua begitu hidup.
Membuat pembaca merasakan sensasi petualangan dalam cerita.
Banyak
narator
Novel
ini menggunakan teknik dengan banyak narator. Fahira, Rinanti, Anton, Gunadi,
dan Kalong (Kelelawar) saling bergantian menceritakan dirinya. Dengan teknik
ini, pembaca akan mudah memahami pikiran tokoh-tokohnya dalam mempersepsi tokoh
lain. Pikiran Fahira tentang Anton, Anton tentang Rinanti, Anton tentang
Fahira, Rinanti tentang Gunadi, dan Gunadi tentang kehidupan sendiri,
menerbitkan kesan batin-batin manusia yang rapuh, tertekan, dan bermasalah
dengan masa lalu. Narator kelelawar menghadirkan semacam mata rekam kebijakan,
dari kaca mata seekor binatang.
Pergantian
narator itu seperti puzzle yang tampaknya terpisah, namun dengan teknik
tersebut, puzzle itu menemukan titik temu. Pembaca seperti menonton film
dengan adegan-adegan antar-tokoh yang tidak ada hubungannya. Dengan bantuan narator yang berganti-ganti
itulah, pembaca bisa merasakan apa yang berkecamuk di dada Gunadi saat bunuh
diri, dan apa yang dilakukan oleh Rinanti sebelum melihat seseorang menceburkan
diri ke laut. Rinanti tidak tahu bahwa yang melompat itu adalah suaminya
(halaman 319).
Teknik
juga ini dipakai untuk menjawab pertanyaan masa lalu tokoh. Misalnya, mengapa
Anton Yosef Maringka dianggap sebagai mahasiswa bodoh, bengal, dan cuek,
ternyata disebabkan oleh masa lalunya: broken home, kehilangan penjaga
kebun keluarga, oma tercinta, dan teman wanita semasa SMA (Anya Helga
Tambayong) yang meninggal saat arung jeram (halaman 80).
Persepsi
Rinanti tentang pernikahannya dengan Gunadi, cukup jeli menggambarkan perasaan
wanita yang menikah karena dijodohkan. Kabar bahwa dia memiliki darah biru,
serta kesediaannya untuk tunduk patuh pada suami, sebagaimana lazimnya adat
bangsawan Jawa, membuatnya memilih mempertahankan pernikahannya kendati ia
tidak diperhatikan oleh suaminya, serta selama tujuh tahun belum dikaruniai
buah hati. Dari narator-narator itu, pembaca menjadi tahu perasaan para tokoh,
yang kemudian diekspresikan dalam perbuatan mereka.
Kritik
komodifikasi
Nuansa
kritik komodifikasi atas nama pariwisata cukup kental di novel ini. Pandangan Gunadi
bahwa ketika sebuah tempat yang dianggap wingit, angker, telah dijamah bebas
oleh manusia, akan dapat menghilangkan kesaktiannya, merupakan “suara penulis”
untuk mengajak kita mencintai alam. Ini sejatinya paralel dengan prinsip
seorang penjelajah seperti Anton yang pantang mengambil sesuatu dari tempat
yang dijelajahi.
Batu
akik, bagi Gunadi selalu menyimpan aura mistis. Sebagai dukun dia mampu mengisi
batu-batu akik itu dengan kekuatan magis, sehingga memiliki tuah tertentu. Sementara bagi Anton dan Fahira, batu akik
adalah hasil dari evolusi alam, yang tidak mempunyai kekuatan magis apa pun.
Keindahannya sudah merupakan bukti kekuasaan Tuhan.
Tapi
dalam hidup ini, apa pun tampaknya memang laku dijual, bergantung pada
pengemasannya. Pak Prawira Kusuma yang bermental dagang menangkap celah ini
dengan membuka toko barang antik. Memang pusaka-pusaka Gunadi diyakini banyak
orang memiliki kekuatan gaib. Kendati Pak Prawira melihat bahwa ada nilai
historis dari benda-benda keramat milik Gunadi.
Ada
kesalahan kecil yang cukup mengganggu, meski tidak mengubah peta cerita. Yaitu
keterangan bahwa senja yang telah dinikmati Rinanti sudah berjumlah 4822,
tetapi tertulis “lima ribu delapan ratus dua puluh dua” (5822) yang ada di
halaman 304. Tentang judul bab yang menggunakan nama-nama batu akik,
memunculkan pertanyaan bagi pembaca. Adakah hubungan antara judul bab dengan
cerita di bab itu? Dalam dunia per-akik-an, setiap batu (konon) mempunyai
karakter dan fungsi tertentu. Mungkin fungsi dan karakter batu dalam judul bab
tersebut yang menurut Afifah Afra sesuai dengan “karakter” dan “fungsi”
cerita.
Anton
dan Fahira yang awalnya saling tidak suka, kemudian saling jatuh cinta,
merupakan kisah cinta a la sinetron di televisi-televisi kita. Sebuah
cerita yang tepat untuk menyasar pembaca remaja. Namun, begitu mudahnya Anton
dan Fahira saling jatuh cinta gegara keduanya terjebak dalam gua, menjadi proses
jatuh cinta yang “picisan”. Sebetulnya ini bisa lebih dieksplorasi lebih tajam
untuk menghadirikan kisah cinta yang berkelas, mengingat Fahira adalah wanita
cerdas, pun demikian dengan Anton.
Komentar