Antara Sarung, Google Map, dan Sate Tegal

Antara Sarung, Google Map, dan Sate Tegal
Oleh Junaidi Abdul Munif

18-20 Desember kemarin, bersama rombongan kawan-kawan dari Jepara, Magelang, dan Semarang, kami diundang dalam acara Forum Silaturahmi Nasional (Forsilatnas) V Persaudaraan Profesional Muslim (PPM) Aswaja di Pondok Pesantren Salafiyah, Bode Lor, Cirebon, Jawa Barat. Rencana awalnya, kami akan berangkat dengan kereta api. Salah seorang kawan sudah booking tiket untuk tujuh orang. Namun, rencana ini urung karena kawan dari Magelang mendapat pinjaman mobil.
        
Jam 12 malam saya menunggu di gang yang berjarak sekitar 200 m dari rumah kontrakan. Saya adalah penumpang terakhir. Tiga orang, dua dari Jepara dan satu dari Magelang, janjian ketemu di parkiran RS Tlogorejo, Semarang, dekat Simpang Lima. Mereka kemudian menjemput tiga orang lagi di kampus UIN Walisongo Semarang, di daerah Ngaliyan.

Karena acaranya para blogger dan pegiat website, malam itu sepanjang perjalanan obrolan tidak jauh-jauh dari seputar dunia internet. Kebetulan ada dua orang yang ahli di bidang utak-utik internet, atau sering disebut Webmaster.

Hujan yang hampir merata di Semarang sejak Selasa, rupanya juga terjadi di daerah lain. Kami berhenti di Kendal, menjemput seorang kawan lagi. Namun ditunggu selama satu jam, kawan tersebut tidak muncul juga. Kawan dari Magelang, yang janjian dengan kawan dari Kendal itu, terbengong-bengong ketika membaca balasan sms.
            
‘Saya sedang mengajar?’ tanya dia ketika membaca balasan sms dari kawan Kendal.
‘Ngajar apa?’ balas Kawan Magelang melalui sms.
 ‘Saya sedang menyetir’

Kawan dari Magelang sontak kaget. Kawan dari Kendal ini ngajak bercanda malam-malam. Kami tertawa bersama, kok ada yang ngajar jam satu dini hari. Ngajar apa itu? Pikir kami. Tapi setelah dibahas, rupanya jawaban sms kawan Kendal itu adalah pesan otomatis dari handphone. Sang pemilik hp sepertinya ketiduran. Kami menunggu selama satu jam. Dan yang ditunggu tidak datang. Perjalanan ke Cirebon pun berlanjut.

Setelah lelah ngobrol, enam penumpang tertidur, termasuk saya. Kami bangun jam 4.30, untuk shalat subuh di sebuah masjid di Pemalang. Tegal adalah kota selanjutnya yang harus kami lewati. Ah, macet satu jam di Tegal karena ada perbaikan jalan. Di Brebes perjalanan lancar. Sekitar jam enam pagi, kami mulai memasuki Cirebon. Pagi itu, Jumat 18 Desember, Cirebon gerimis.

Karena buta jalan, Google Map dari smartphone menjadi solusi. Hal pertama yang kami cari adalah makanan khas Cirebon untuk sarapan. Ketemulah Nasi Jamblang. Google Map jadi tempat bertanya di mana lokasi menjual Nasi Jamblang. Ketemu! Tapi ketika dituju, warung tutup. Kami mencari lagi tempat warung Nasi Jamblang. Ketemu lagi! Kami merasa heran, menu yang disajikan sangat banyak sekali. Berbeda dengan model warung makan di Semarang, misalnya.

Karena di tempat asing, kami tidak berani mengambil lauk-pauk banyak-banyak. Biasalah, di Indonesia, sangat mudah ditemui pedagang nakal yang ingin dapat keuntungan banyak dari orang asing. Identitas kami sebagai orang asing jelas terlihat dari nomor plat mobil Semarang. Saat dihitung, habis 107 ribu rupiah. Terbilang murah untuk tarif makan tujuh orang. Syukurlah, penjualnya bukan termasuk pedagang nakal. Hehe.

Acara baru akan dimulai jam 19:00 malam, kami sempatkan dulu untuk berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Kami bertanya pada tukang parkit di mana lokasi makam Sunan Gunung Jati, tapi dia tidak tahu. Lagi-lagi Google Map jadi solusi. Sekitar jam 07:30 pagi kami sampai di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Pagi itu banyak tentara di sekitar makam. Rupanya akan ada upacara yang melibatkan tentara, pedagang, dan siswa di sekitar makam.

Setelah mandi dan mengganti celana dengan sarung, kami mulai masuk ke arena utama makam. Sudah banyak pengemis dan penjaga kotak amal di depan pintu makam. Wajah-wajahnya seperti memaksa, sambil menggedor-gedor baskom wadah uang ataupun kotak amal. 

Celaka! Saya tak memiliki uang kecil, ribuan atau lima ribuan. Saya ingin segera masuk, namun langkah saya dihadang. 

"Boleh minta kembalian?” tanya saya.

"Berapa?" balik tanya salah seorang penjaga kotak.

Saya keluarkan 50.000 rupiah. Salah seorang kawannya mengeluarkan uang pecahan dua ribuan, 30.000 ribu. Jadilah saya beramal 20.000, padahal saya niatnya mau ngasih 5.000.

Celaka kedua kali! Penjaga kotak amal berikutnya, karena melihat saya habis “menukar” uang, meminta saya beramal. Awalnya saya ingin memberi 2.000. tapi mereka meminta 10.000. Dengan terpaksa saya berikan lima pecahan dua ribuan. Eh, lha kok ada lagi penjaga kotak amal. Mereka meminta 10.000. Saya kasih. Dan pengemis-pengemis menodongkan tangan dan wadah ke saya. Saya bergegas masuk, tidak beramal untuk para pengemis.

Sekitar jam 9:00 pagi kami selesai ziarah, dan melanjutkan perjalanan ke pesantren yang jadi lokasi acara. Kami kembali meminta panduan Mbah Google Map. Sekitar jam 09:30 kami sampai di pondok. Kami adalah rombongan pertama yang sampai. Ruang transit adalah kelas TK, rupanya tempat belum siap. Kami istirahat di tempat seadanya. Saat kami tidur, beberapa santri mengambil barang milik anak-anak. Jam 12:00 kami dibangunkan untuk shalat Jumat.

Sekitar jam 15:00, para peserta mulai berdatangan. Dari Cianjur, Jakarta, Solo, Yogyakarta, dan kota-kota lain. Obrolan masih seputar internet, wirausaha berbasis online, dan isu-isu keagamaan yang ramai di internet. Ciri khas yang tidak bisa lepas dari pesantren selain sarung dan peci (tentu saja) adalah budaya ngopi dan merokok. Ini seolah jadi “brand” pesantren NU. Memang banyak santri yang tidak merokok. Tapi percayalah, santri yang merokok jauh lebih banyak. Kecuali santri putri alias santriwati tentu saja. He he he.

Pukul 19:30, agenda pertama adalah sowan (berkunjung) ke pengasuh pesantren, sampai jam 22:00. Banyak yang disampaikan oleh Pak Kyai, termasuk pengalamannya dengan politisi dan para pengusaha Jakarta. Meski setiap hari ngajar ngaji, Pak Kyai juga paham soal internet. Habis itu kami istirahat.

Sabtu pagi jam 08:00 acara dimulai. Meski di pesantren dan peserta memakai sarung, menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah wajib. Mungkin terlihat janggal, orang bersarung dan berpeci, menyanyikan lagu kebangsaan kita dengan tak kalah semangatnya dibandingkan para tentara. Yah, namanya juga santri nasionalis yang cinta negeri. He he.

Hari itu acaranya adalah sharing ada pegiat website Aswaja, terkait dengan tantangan dan isu-isu antar-mazhab Islam di dunia maya. Muncul rasa bangga, santri-santri NU yang dikenal jadul, hanya fasih bicara kitab kuning, kali ini membahas tentang kondisi keislaman kontemporer. Tidak lupa mereka menenteng gadget canggih. Narasumber ada yang membahas strategi dapat penghasilan dengan Google Adsense, Youtube, dan banyak lagi.

Di sela acara, ada promosi dari salah satu provider telekomunikasi yang akan menjalin kerja sama dengan kawan-kawan. Saya dapat souvenir dua paket. Lumayan sebagai kenang-kenangan dan oleh-oleh. Kawan saya dari Jepara malah dapat empat paket. He he.

Acara berlanjut malam hari, setelah makan malam. Yang dibahas adalah kesimpulan acara tadi siang dan kesepakatan-kesepakatan apa yang telah dicapai. Selesai jam 23:00 WIB, dengan pembacaan shalawat dan doa. Peserta lain banyak yang masih menginap. Setelah ramah-tamah, kami pulang. Salah seorang narasumber asal Pati menumpang mobil kami.

Perut sudah terasa lapar, karena kami makan malam pada pukul 19:00 tadi. Melihat waktu yang cukup panjang, kami berencana makan di Tegal, menjajal menu Sate Tegal yang katanya gurih dan tidak nylilit (meninggalkan sisa daging di sela gigi) itu.Sekali lagi, Google Map jadi solusi. Ketemulah beberapa menu yang berhasil dilacak. Sekitar jam 01:30 pagi, kami memasuki kabupaten Tegal. Mobil langsung diarahkan menuju jalan di mana terdapat warung sate.

Tujuan pertama ini gagal, karena warung ada di kanan jalan. Untuk menuju ke sana mobil harus putar balik. Padahal saat itu jalanan sedang macet. Rencana kedua dilanjutkan. Dari Google Map muncul beberapa warung sate di Slawi, Kabupaten Tegal. Warung ke satu, ke dua, ke tiga, ke empat, semuanya tutup. Jam sudah menunjukkan pukul 02:30 pagi.

Akhirnya, cara konvensional ditempuh, yaitu bertanya langsung kepada orang yang kami temui. Bertanyalah kami pada tukang becak di alun-alun Slawi.

“Pak, warung sate yang masih buka ada nggak?” tanya kawan dari Magelang.

“Ada mas yang masih buka, sekitar empat kilo dari sini,” jawab tukang becak.

Mobil menuju ke tempat yang dimaksud. Tapi rasanya kami sudah melaju sekitar 10 km, namun warung sate tidak ketemu. Beberapa kawan sudah mengeluh lapar, dan meminta kami makan di warung biasa saja. Sang sopir tidak putus asa. Dia terus mencari, dan, alhamdulillah, ketemu warung Sate Tegal. Kami memesan 8 porsi sate kambing dan 5 mangkok gulai. Rupanya beberapa kawan sudah kenyang dengan sate, dan enggan menyentuh gulai. Habis sekitar 400.000, tapi sebanding dengan lezatnya sate dan gulai.

Jam 04:00 pagi kami selesai makan, dan melanjutkan perjalanan ke Semarang. Sang Sopir memilih jalur alternatif ke Pemalang untuk menghindari macet di Tegal. Dan jam 05:00, kami mampir shalat subuh di masjid di alun-alun Pemalang. Pukul 05:30 kami tancap gas lagi.

Antara lelah dan kenyang, berkali-kali saya tidur, bangun, tidur lagi, bangun. Sopir terus memantau kondisi jalanan dengan Google Map, mencari jalanan yang tidak macet. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, Minggu jam 08:00 pagi kami sampai di Semarang.

Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari acara itu. Pertama, sebagai santri, saya kini semakin bangga, bahwa santri seperti kami kini banyak yang melek teknologi, terutama internet. Tapi masih memiliki adab dan takzim dengan kiai, serta masih menjaga humor a la pesantren. Dua hal yang aga sulit ditemukan di komunitas lain. Kedua, Google Map memang banyak membantu, tapi jangan pernah melupakan orang untuk bertanya. Tidak ada artinya teknologi tanpa manusia yang mengendalikannya. Ketiga, ada dua tipe orang yang kebingungan dalam soal makan. Yang pertama adalah orang yang bingung bisa makan atau tidak, karena sedang tidak memiliki uang. Kedua, orang yang bingung makan apa karena kebetulan sedang banyak uang.

Malam itu, kami kebetulan sedang cukup punya banyak uang, dengan cara iuran 8 orang. Dan kami bingung memilih makanan, lebih karena kami fokus mencari Sate Tegal. Menu yang belum saya coba.
      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil