Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Memahami "Sang Lain" Lewat Media

Perkembangan masyarakat dan kebudayaan sekarang tak bisa dilepaskan dari media. Media menjadi “agen kebudayaan” tersendiri untuk memahami fenomena masyarakat. Cultural studies menjadi genre teoretis untuk menguak bagaimana media itu beroperasi untuk membentuk, menghegemoni, dan menciptakan opini di masyarakat. Melepaskan media dari konteks sosial, politik, ekonomi adalah pekerjaan yang tolol untuk saat ini. Dunia yang beranjak dari modernisme ke pascamodernisme menjadikan semua disiplin ilmu dan teori berjalin kelindan seperti tidak mengenal batasan. Terjadi simultanitas (keserentakan) menempatkan media dengan beragam tujuan. Film yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai hiburan, kini bisa bertransformasi menjadi alat propaganda politik. Lagu rap yang sebelumnya dikenal sebagai lagu orang kulit hitam sebenarnya adalah media pencarian identitas, eksistensialisme, dan rasa muak dari Afro-Amerika yang dianaktirikan di AS, yang mengaku sebagai negara paling demokratis dan menjunjun

SARJANA ABAL-ABAL

Gelar sarjana menjadi puncak kepuasan tertinggi bagi mahasiswa yang menempuh studi strata satu. Proses berliku selama empat tahun (minimal) kuliah dengan suka dukanya seolah dibayar lunas dengan wisuda. Orang tua merasa lega, karena tidak lagi bertanggung jawab kepada anaknya. Gelar sarjana juga ajang “penyapihan” anak dari orang tua dalam segi ekonomi. Anak mesti mandiri ketika gelar sarjana didapat. Gelar hanyalah predikat yang menjadi tanda bahwa seseorang telah menempuh pendidikan tertentu dengan spesifikasi (jurusan) tertentu. Menyandang gelar yang diawali huruf “S” yang diikuti huruf di belakangnya menjadi prestise tersendiri bagi mahasiswa. Keluarga dan masyarakat juga ikut bangga dengan anggotanya yang menyandang gelar sarjana. Seremonia wisuda menjadi tanda bagaimana penganugerahan gelar sarjana mesti dirayakan dengan gegap gempita. Bukan gelar itu yang diperdebatkan di sini, namun sejauh mana proses untuk mendapatkan gelar tersebut yang bagi mahasiswa berbeda-beda dala
Progresifitas Islam Mengikuti Zaman Oleh Junaidi Abdul Munif Islam sebagai agama, baik secara teologis maupun sosial-budaya memang tak pernah habis untuk dikaji. Banyak ilmuwan yang mencurahkan pemikirannya untuk mendalami Islam dari berbagai perspektif. Massifikasi kajian Islam memunculkan konsekuensi bahwa Islam akhirnya dikaji dengan berbagai disiplin ilmu, sesuatu yang mungkin tak terpikirkan oleh “founding fathers” Islam sekalipun, yakni generasi nabi dan sahabat. Perdebatan klasik selalu mengemuka, apakah Islam mesti dikaji dengan ilmu-ilmu yang lahir dari rahim Islam, seperti nahwu, shorof, usul fiqh, tafsir, tajwid. manthiq dan sebagainya atau boleh dikaji dengan disiplin ilmu lain, yang notebene lahir dari rahim Barat, Yunani dan Kristen, yang beberapa abad lamanya menjadi “musuh” Islam? Dikotomi Islam-Barat oleh sebagian kalangan telah memunculkan stigma dan ”vonis” yang satu lebih unggul dari yang lain. Seperti apa yang dikatakan oleh Samuel P Huntington tentang The C

"SLENCA" DAN HILANGNYA NURANI KITA

“Slenca” dan Hilangnya Nurani Kita Oleh Junaidi Abdul Munif Mas kang mas namine sinten Sakniki dintene Sabtu Mas kangmas kesah teng pundi Sapi kulo pun manak pitu Lagu campur sari berjudul Slenca di atas, mungkin tepat untuk menggambarkan situasi zaman, terutama kondisi kita hari ini, ketika aparatur negara tidak bekerja selayaknya abdi yang melayani raja; yakni rakyat yang menjadi pemilik sah republik ini dalam sistem demokrasi yang kita anut. Slenca, kata untuk menggambarkan ketidaknyambungan komunikasi antara komunikan dan komunikator. Ditanya A menjawab B, juga C, D dan seterusnya. Setiap pertanyaan seperti muspra (lenyap) tanpa bekas. Memang kupingnya yang tuli atau hatinya yang bebal sehingga tidak lagi memahami runtutan logika. Pantun zaman sekarang mengatakan “jaka sembung naik ojek, nggak nyambung jek”. Ketika slenca hadir dalam panggung sosial masyarakat menengah ke bawah, kita tangkap itu sebagai guyonan; bahwa masih ada orang yang tulalit, telmi (telat mikir)

TUMBAL DAN EUFEMISME POLITIK

Tumbal dan Eufemisme Politik Oleh Junaidi Abdul Munif SRI MULYANI Indrawati (SMI) tidak lagi menjadi menteri keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Ia pergi untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (Managing Director Wolrd Bank). Kepergian SMI telah mendapat restu dari Presiden, dan beliau sangat berharap SMI di posisi barunya akan memperkuat hubungan Bank Dunia dengan negara-negara berkembang. Setelah mengalami penundaan, hiruk-pikuk kasus bailout Bank Century yang merugikan negara 6,7 triliun dan menyedot energi para personel di Senayan (Pansus Century) dan masyarakat yang mengikuti perkembangan di media massa, drama ini sempat dilupakan karena ramainya kasus mafia pajak dengan aktor utama Gayus Tambunan dan Susno Duadji. Pengunduran diri SMI kiranya adalah awal terbukanya tabir jawaban dari kasus Bank Century. Ketika isu Bank Century ramai digulirkan, publik (lewat berita di media massa) digiring untuk meyakini bahwa pihak yang paling bertanggung jawab dalam pro

JURU BICARA KEBUDAYAAN

Juru Bicara Kebudayaan Oleh Junaidi Abdul Munif Seni adalah bagian kebudayaan. Sayang, kebudayaan kini tereduksi menjadi frasa dengan makna material. Kesenian lebih dianggap sebagai sebuah karya materi yang bertolak dari spirit kebudayaan, yang sejatinya adalah faktor penting membangun jati diri dan karakter masyarakat. Reduksi makna kebudayaan yang menciut menjadi kesenian-material adalah sebentuk politik represif di masa Orde Baru untuk membendung gerakan masyarakat yang merongrong kekuasaan yang sah. Di masa keemasan Soekarno, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) adalah contoh "ormas" kesenian yang coba menghadirkan kesenian ke ruang publik. Kesenian pada masa itu adalah alat perjuangan dan kontrol sosial politik pada kekuasaan. Ketika Orde Lama digantikan Orde Baru, Lekra sebagai sayap politik PKI yang dianggap pro-Soekarno ikut-ikutan dilarang. Sejak itulah, kesenian dipelintirkan sebagai produk material yang menegasinya sebagai alat perjuangan politik. Seni dibons

MENCARI AKAR PATRIAKISME

Mencari Akar Patriarkisme * Oleh Junaidi Abdul Munif DARI mana patriarkisme berasal? Banyak yang menuduh bahwa agama khususnya Islam sebagai lahan subur tumbuhnya patriarkisme. Padahal, dalam teks-teks Islam banyak ditemukan dalil yang sebetulnya menganjurkan kesetaraan gender dan mengeliminasi patriarki. Meski QS Annisa 34 menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, sehingga menyebabkan konsekuensi hukum yang berbeda di antara keduanya, dalil ini kurang kuat dijadikan pijakan untuk menuduh Islam sebagai agama patriarkis. Sebab, banyak ayat lain yang menjelaskan kesamaan antara laki-laki dan perempuan (Umar Shihab, Kontektualitas Al Quran, hal: 13). Contoh yang paling konkret adalah ayat Alquran (Al Hujarat 13) yang berbunyi inna akramakum indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah ketakwaan kalian). Secara gamblang dijelaskan bahwa yang paling mulia di sisi Allah tidak ditentukan oleh jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, tapi kadar ketak

WISATA PANTAI WISATA SAMPAH

Wisata Pantai, Wisata Sampah Pantai menjadi salah satu lokasi wisata yang selalu menarik minat pengunjung. Panti Kuta dan Sanur di Bali adalah dua contoh pantai yang legendaris dan menarik turis asing. Di Semarang, selain Pantai Marina kini muncul Pantai Maron yang menjadi perbincangan. Banyak teman merekomendasikan Maron untuk liburan akhir pekan. Beberapa waktu lalu penulis berkesempatan datang ke Maron. Membayangkan pantai, seperti tampak di kalender-kalender alam, film, atau cerpen yang melukiskan pantai dengan begitu indah. Warna biru laut, pasir, burung camar, senja, matahari terbenam, langit ungu, desir ombak, batu karang, semua itu membuat kita ingin ke pantai. Ketika penulis mengunjungi Pantai Maron, sungguh prihatin. Alih-alih menemui laut yang biru, pasir putih, justru yang ditemui tumpukan sampah di sekitar pantai. Di mana-mana yang tampak sampah terutama sampah plastik, ranting pohon, dan bangkai ikan. Pantai seolah merupakan tempat pembuangan akhir sampah. Ai

PENJINAKAN LEWAT KOALISI

Penjinakan Lewat Koalisi Oleh Junaidi Abdul Munif Pengusutan kasus Century telah sampai pada puncaknya, yakni pandangan akhir sembilan fraksi terhadap proses bailout senilai Rp 6,7 triliun kepada Bank Century. Segala keputusan bergantung sidang paripurna DPR. Lobi politik yang dilakukan rentan mengubah pandangan akhir fraksi. Pansus Century, yang dihadirkan kepada publik, adalah usaha untuk menguak kebenaran hukum dari proses talangan kepada Bank Century. Namun, kebenaran yang mana dan versi siapa? Jika menggunakan sudut pandang hukum dan kebijakan, betapa keduanya adalah medan tafsir yang saling menegasi. Kebenaran pada akhirnya menjadi relatif dan tergantung siapa dan kepentingan apa di balik kebenaran itu. Ketika nama Boediono dan Sri Mulyani disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus Century, Partai Demokrat sebagai pemimpin koalisi geram dan mengancam mitra koalisinya, yakni Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang jelas menyebut dua nama itu yang ki

IRONI HUKUM DAN "BOURGEOIS SOCIETY"

Manisih (40) dan Sri Suratmi (19) menghadapi tuntutan sebulan dan masa percobaan selama empat bulan karena mencuri buah randu sebanyak 14 kilogram seharga Rp 12.000 (Kompas, 27 Januari 2010). Dunia hukum kita memang selalu menghadirkan ironi. Beberapa waktu lalu, kita dibuat konyol terhadap Nenek Minah di Banyumas yang dituntut penjara karena mencuri buah kakao seharga Rp 2.100. Kita kemudian disuguhi penjara kelas lima yang dinikmati oleh Artalyta Suryani (Ayin) yang terjerat kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. Hukum dibuat untuk keadilan. Akan tetapi, senyatanya keadilan bisa dengan mudah digelapkan dengan rupiah. Minah, Manisih, Sri Suratmi adalah pihak-pihak yang dikalahkan hukum. Ia menjadi korban teks hukum. Mereka tak berdaya untuk memperjuangkan nasib di pengadilan yang telah dikuasai jaringan mafia peradilan. Etika dan moralitas menjadi pembenar untuk menolak penahanan Minah, Manisih, dan Sri Suratmi. Bagaimana mungkin jika mencuri kakao seharga Rp 2.100 dan