SARJANA ABAL-ABAL

Gelar sarjana menjadi puncak kepuasan tertinggi bagi mahasiswa yang menempuh studi strata satu. Proses berliku selama empat tahun (minimal) kuliah dengan suka dukanya seolah dibayar lunas dengan wisuda. Orang tua merasa lega, karena tidak lagi bertanggung jawab kepada anaknya. Gelar sarjana juga ajang “penyapihan” anak dari orang tua dalam segi ekonomi. Anak mesti mandiri ketika gelar sarjana didapat.

Gelar hanyalah predikat yang menjadi tanda bahwa seseorang telah menempuh pendidikan tertentu dengan spesifikasi (jurusan) tertentu. Menyandang gelar yang diawali huruf “S” yang diikuti huruf di belakangnya menjadi prestise tersendiri bagi mahasiswa. Keluarga dan masyarakat juga ikut bangga dengan anggotanya yang menyandang gelar sarjana. Seremonia wisuda menjadi tanda bagaimana penganugerahan gelar sarjana mesti dirayakan dengan gegap gempita.

Bukan gelar itu yang diperdebatkan di sini, namun sejauh mana proses untuk mendapatkan gelar tersebut yang bagi mahasiswa berbeda-beda dalam menyikapinya. Mahasiswa dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda dalam kuliah akan menghasilkan seribu jawaban tentang “pilihan hidup” bagaimana dia akan meluluskan dirinya dari kehidupan kampus.

Iwan Fals, dalam salah satu lagunya, Teman Kawanku Punya Teman, mendeskripsikan bagaimana kehidupan kampus kita pada waktu itu (1980-an) telah terjadi fenomena membeli skripsi. Sebab gelar dan ijazah hanyalah lambang gengsi di ruang tamu. Gelar tidak lagi menyentuh substansi, bagaimana gelar itu terintegrasi dalam nalar moral, intelektual, dan laku social para sarjana.

Pada waktu itu, kuliah mungkin sudah biasa dilakukan oleh masyarakat perkotaan. Hanya mengejar prestise demi status sosial. Di samping menjadi kualifikasi untuk mendapatkan pekerjaan, yang berimplikasi pada “status” ekonomi para sarjana. Para sarjana akan memegang posisi yang lebih bermartabat di banding mereka yang tidak bergelar sarjana.


Silang Sengkarut


Jika lagu Iwan Fals yang ditulis pada dekade 1980-an dan masih terjadi sampai hari ini, betapa kita hanya mengalami stganasi (jalan di tempat). Dengan pertanyaan yang sarkastis: “sarjana begini banyakkah di negeri ini, tiada bedanya dengan roti,” kampus menjadi pabrik sarjana yang berlimpah laiknya roti. Kita tahu, roti hanyalah pengganjal perut sesaat yang minim gizi. Lantas jika sarjana disamakan denagn roti, sungguh ironis!

Sarjana abal-abal, instan, yang tak tahu bagaimana rasanya bergelut dengan ilmu, buku, suntuk dalam ruang diskusi. Fenomena potret mahasiswa yang wajar ketika dilihat dari perspektif bagiamana kultur sosial-konsumtif kita hari ini. Universitas membuka peluang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk kuliah, sementara masyarakat juga tak kalah getol dan bernafsu untuk memasukkan anaknya ke jenjang kuliah. Entah karena alasan prestise, pragmatis, atau idealis. Semuanya menjadi polifoni yang memiliki hak untuk didengarkan.

Instanisasi meraih gelar sarjana dengan menulis skripsi asal-asalan bisa jadi berawal dari kapitalisasi pendidikan kita. Pendidikan yang mahal, memaksa mahasiswa tidak hanya konsentrasi pada kuliah, buku, tugas, penelitian dan kegiatan akademik lainnya. Mahalnya biaya pendidikan memaksa mahasiswa juga mesti mencari uang agar tak melulu menggantungkan subsidi orang tua. Mahasiswa mesti memutar dan memeras keringat agar bisa survive dalam kehidupan kaum urban.

Di sisi lain hedonisme mahasiswa, gaya hidup yang agak mewah, shopping, pacaran, dan lain sebagainya juga membutuhkan biaya yang tak sedikit. Akibatnya adalah mahasiswa melupakan kebutuhan primer (akademik) dan terlena untuk memenuhi kebutuhan sekunder, bahkan tersier tersebut. Mahasiswa melupakan tugas utama kuliah yang mesti bergelut dengan buku, diktat dan seperangkat akademik-intelektual lainnya. Mereka lebih senang ikut arus kapitalis hedonis dari pada larut dalam arus idealis-intelektualis.


Bukan Isapan Jempol


Dengan kondisi sosial-kultural kita seperti itu, kampus menjadi karnaval bagi kapitalisme-hedonisme. Mahasiswa yang memegang idealisme seperti teralienasi ke ruang-ruang sunyi. Bagi mahasiswa yang nanggung, tidak menjadi mahasiswa idealis, namun juga tak ikut arus mahasiswa hedonis, kampus menjadi sebuah penjara yang mesti dihindari.

Maka isu “sarjana begini banyakkah di negeri ini tiada bedanya dengan roti” bukan isapan jempol semata. Model plagiasi karya tulis, sampai membeli skripsi banyak dilakukan oleh mahasiswa yang ingin cepat lulus. Apalagi ancaman bahwa setelah lulus masih dihadapkan pada problem mendapatkan pekerjaan yang belum tentu sejalur dengan jurusan yang ditempuh menjadi alasan lain kenapa mahasiswa tak mau bersusah payah menulis skripsi.

Pendidikan kita mesti diubah agar semata-semata tidak bertumpu pada hasil, melainkan proses. Proses kuliah, menulis skripsi adalah “wajib mugholadoh” yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa.

Karena itu menjadi mahasiswa mesti diimbangi dengan aktivitas di luar kampus. Anis Baswedan (rektor Universitas Paramadina) dalam sebuah acara di televisi mengatakan, nilai itu penting, karena dari situlah pintu masuk pertama ketika ingin memasuki dunia kerja misalnya. Namun, ketika sudah diterima dan menjalani tes atau wawancara, apa yang di dapat mahasiswa di luar kampus menjadi lebih penting.

Mahasiswa yang bergelut dengan problem masyarakat secara langusng adalah intelektual organik yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai intelektual bermoral, yang tak hanya gagah di menara gading (teoritis). Mereka bukanlah mahasiswa abal-abal yang mendapat gelar sarjana dengan cara yang curang, instan dan tak bermoral.

Dimuat Kompas Jateng, 1 September 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil