coretan tentang hujan dan masa kecil
Tentang Hujan
Oleh Junaidi Abdul Munif
Negeri ini hanya mengenal dua musim: penghujan dan kemarau. Di SD aku diberi pelajaran IPA bahwa musim hujan jatuh antara bulan Oktober-Maret, dan musim kemarau jatuh pada bulan Maret-Oktober. Orang Jawa dengan kultur uthak-athik mathuk selalu mengartikan Desember sebagai wulan gedhene sumber, bulan di mana sumber air berlimpah. Dan Januari sebagai hujan sehari-hari.
Dalam sastra, hujan kadang hadir dengan wajah yang melankolis, puitis dan romantis. Hal itu tampak jelas misalnya dalam puisi Sapardi Djoko Damono, Sihir Hujan: Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan/ suaranya bisa dibeda-bedakan/ kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu dan jendela/ Meskipun sudah kau matikan lampu// Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan/ menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh/ waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan. Hujan begitu intim dengan alam dan manusia yang tersihir oleh pesonanya.
Hujan hadir secara lain, yang muncul sebagai pertanda sebuah tragedi. Cerpen Seno Gumira Ajidarma (SGA), Bunyi Hujan di Atas Genting menjadikan hujan sebagai ”saksi” masa-masa petrus (penembak misterius) di awal 1980-an. SGA menulis: Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas genting. Hujan menjadi saksi bagaimana orang-orang dibunuh karena dituduh sebagai bandit, kecu, atau gali, yang secara ekplisit digambarkan dengan mayat bertato.
Hujan juga membawa pesan-pesan religius. Ayat-ayat kitab suci sering menempatkan hujan sebagai rahmat dari Tuhan. Biji-bijian akan tumbuh karena hujan. Tanaman-tanaman akan berbuah jika selama hidupnya disirami hujan. Di kalangan pesantren, setiap momen atau upacara yang saat itu hujan turun, diyakini mendapat barokah.
Lebih dari itu, di masa kecilku, hujan adalah pertanda datangnya suka cita. Saat hujan turun, aku akan bertelanjang bulat, berlari-lari di halaman depan rumah, lalu mandi di bawah grojogan yang mengalir melalui talang rumah. Ibuku sering marah, karena sehabis hujan-hujanan itu aku biasanya masuk angin, demam. Tapi itu tak menghalangiku untuk terus bermain-main dengan hujan.
Menginjak SMP dan SMA, aku semakin takut pada hujan. Jika pagi hari hujan, menjadi alasan bagiku untuk tak berangkat sekolah. Payung dan mantel hujan memang ada, tapi itu kuanggap hanya akan merepotkan saja. Aku menyerah pada hujan. Meski, pada suatu malam, dalam sebuah perjalanan yang hujan, aku nekat menerjangnya. Sekadar kilas balik ke masa kecil, bahwa aku biasa bergaul dengan hujan. Hasilnya sungguh merepotkan. Di tengah perjalanan motorku mogok, dan aku menuntunnya di tengah hujan. Aku semakin tak ingin bertemu hujan di perjalanan.
Sekarang datangnya musim hujan adalah pertanda sebuah ketakutan dan rasa was-was. Jika ada mendung di utara, orang desa akan bilang itu adalah masa ngerpitu, suatu keadaan di mana hujan datang terus menerus selama seminggu. Lalu mereka akan gelisah membayangkan sawah dan ladang. Jika terlalu berlebihan, hujan lebih banyak madharatnya, karena hanya akan merusak tanaman.
Bukan hanya di desa, manusia-manusia yang hidup di kota lebih ketakutan lagi jika musim hujan tiba. Jakarta selalu banjir, Semarang bagian utara akan lebih sering kedatangan tamu bernama rob. Di Simpang Lima, Tugu Muda, hujan deras selama satu jam sudah cukup membuat warganya panik. Hujan akan melumpuhkan kota, dan itu berarti melumpuhkan pula lalu lintas ekonomi masyarakat perkotaan.
Kearifan pada alam yang mulai hilang, pada akhirnya memancing hujan untuk ”mengamuk”. Hujan akan ”mengerjai” manusia-manusia kota yang tak memberinya kesempatan untuk tunduk pada aturan alam. Bukankah air selalu patuh pada hukum gravitasi, di mana air akan selalu mencari tempat yang lebih rendah?
Ketika kota-kota rakus dengan ideologi pembangunanisme, mengaspal seluruh jalan, pavingisasi tanah, menghilangkan ruang terbuka hijau sebagai tempat resapan air, dan disempurnakan oleh tingkah manusia-manusia yang tak pandai mengelola got, saluran air sebagai tempat air mengalir, saat itulah hujan muncul dengan membawa bencana.
Sangat elok merenungi petuah Masaru Emoto dalam bukunya The True Power of Water, yang meyakini bahwa air juga memiliki perasaan, layaknya makhluk hidup. Air akan marah jika hak-haknya untuk patuh pada sunnatullah dikebiri oleh manusia. Ia bisa menjadi pemberontak yang merepotkan manusia. Betapa mengelola hujan pun butuh kearifan dan perhitungan geologi yang matang.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Negeri ini hanya mengenal dua musim: penghujan dan kemarau. Di SD aku diberi pelajaran IPA bahwa musim hujan jatuh antara bulan Oktober-Maret, dan musim kemarau jatuh pada bulan Maret-Oktober. Orang Jawa dengan kultur uthak-athik mathuk selalu mengartikan Desember sebagai wulan gedhene sumber, bulan di mana sumber air berlimpah. Dan Januari sebagai hujan sehari-hari.
Dalam sastra, hujan kadang hadir dengan wajah yang melankolis, puitis dan romantis. Hal itu tampak jelas misalnya dalam puisi Sapardi Djoko Damono, Sihir Hujan: Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan/ suaranya bisa dibeda-bedakan/ kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu dan jendela/ Meskipun sudah kau matikan lampu// Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan/ menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh/ waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan. Hujan begitu intim dengan alam dan manusia yang tersihir oleh pesonanya.
Hujan hadir secara lain, yang muncul sebagai pertanda sebuah tragedi. Cerpen Seno Gumira Ajidarma (SGA), Bunyi Hujan di Atas Genting menjadikan hujan sebagai ”saksi” masa-masa petrus (penembak misterius) di awal 1980-an. SGA menulis: Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas genting. Hujan menjadi saksi bagaimana orang-orang dibunuh karena dituduh sebagai bandit, kecu, atau gali, yang secara ekplisit digambarkan dengan mayat bertato.
Hujan juga membawa pesan-pesan religius. Ayat-ayat kitab suci sering menempatkan hujan sebagai rahmat dari Tuhan. Biji-bijian akan tumbuh karena hujan. Tanaman-tanaman akan berbuah jika selama hidupnya disirami hujan. Di kalangan pesantren, setiap momen atau upacara yang saat itu hujan turun, diyakini mendapat barokah.
Lebih dari itu, di masa kecilku, hujan adalah pertanda datangnya suka cita. Saat hujan turun, aku akan bertelanjang bulat, berlari-lari di halaman depan rumah, lalu mandi di bawah grojogan yang mengalir melalui talang rumah. Ibuku sering marah, karena sehabis hujan-hujanan itu aku biasanya masuk angin, demam. Tapi itu tak menghalangiku untuk terus bermain-main dengan hujan.
Menginjak SMP dan SMA, aku semakin takut pada hujan. Jika pagi hari hujan, menjadi alasan bagiku untuk tak berangkat sekolah. Payung dan mantel hujan memang ada, tapi itu kuanggap hanya akan merepotkan saja. Aku menyerah pada hujan. Meski, pada suatu malam, dalam sebuah perjalanan yang hujan, aku nekat menerjangnya. Sekadar kilas balik ke masa kecil, bahwa aku biasa bergaul dengan hujan. Hasilnya sungguh merepotkan. Di tengah perjalanan motorku mogok, dan aku menuntunnya di tengah hujan. Aku semakin tak ingin bertemu hujan di perjalanan.
Sekarang datangnya musim hujan adalah pertanda sebuah ketakutan dan rasa was-was. Jika ada mendung di utara, orang desa akan bilang itu adalah masa ngerpitu, suatu keadaan di mana hujan datang terus menerus selama seminggu. Lalu mereka akan gelisah membayangkan sawah dan ladang. Jika terlalu berlebihan, hujan lebih banyak madharatnya, karena hanya akan merusak tanaman.
Bukan hanya di desa, manusia-manusia yang hidup di kota lebih ketakutan lagi jika musim hujan tiba. Jakarta selalu banjir, Semarang bagian utara akan lebih sering kedatangan tamu bernama rob. Di Simpang Lima, Tugu Muda, hujan deras selama satu jam sudah cukup membuat warganya panik. Hujan akan melumpuhkan kota, dan itu berarti melumpuhkan pula lalu lintas ekonomi masyarakat perkotaan.
Kearifan pada alam yang mulai hilang, pada akhirnya memancing hujan untuk ”mengamuk”. Hujan akan ”mengerjai” manusia-manusia kota yang tak memberinya kesempatan untuk tunduk pada aturan alam. Bukankah air selalu patuh pada hukum gravitasi, di mana air akan selalu mencari tempat yang lebih rendah?
Ketika kota-kota rakus dengan ideologi pembangunanisme, mengaspal seluruh jalan, pavingisasi tanah, menghilangkan ruang terbuka hijau sebagai tempat resapan air, dan disempurnakan oleh tingkah manusia-manusia yang tak pandai mengelola got, saluran air sebagai tempat air mengalir, saat itulah hujan muncul dengan membawa bencana.
Sangat elok merenungi petuah Masaru Emoto dalam bukunya The True Power of Water, yang meyakini bahwa air juga memiliki perasaan, layaknya makhluk hidup. Air akan marah jika hak-haknya untuk patuh pada sunnatullah dikebiri oleh manusia. Ia bisa menjadi pemberontak yang merepotkan manusia. Betapa mengelola hujan pun butuh kearifan dan perhitungan geologi yang matang.
Komentar