coretan tentang rumah sakit dan menunggu
Sakit yang Mahal
Oleh Junaidi Abdul Munif
Selama empat hari saya berada di rumah sakit, bukan karena saya sedang sakit. Tapi ikut menunggui saudara sepupu saya yang akan menjalani operasi. Adik sepupu saya, kelas 5 SD harus menjalani operasi tangan lantaran jatuh saat bermain lompat tali di sekolah. Dia sudah 11 hari di rumah sakit, tapi belum dioperasi karena dokter spesialis yang akan mengoperasinya masih sibuk dengan urusan lain yang lebih penting.
Yang kedua, kakak sepupu saya harus operasi usus. Usianya hampir 70 tahun. Setelah dirawat di rumah sakit kecil, akhirnya dia dirujuk di rumah sakit yang lebih besar dan ternama. Adik sepupu saya ditunggui oleh kedua orang tuanya. Kakak sepupu saya ditunggui secara bergiliran oleh anak-anaknya. Saya ikut menunggui dengan alasan kos saya dekat dengan rumah sakit tersebut, dan saya dianggap belum bekerja, karena itu punya banyak waktu.
Sakit adalah sesuatu yang tak bisa ditebak kapan datangnya. Kita hanya bisa berusaha menjaga kesehatan agar sakit itu tak datang. Karena, sungguh, ketika sakit itu datang, semuanya akan repot. Rencana yang telah disusun oleh si sakit bisa berantakan gara-gara sakit yang tak diundang itu.
Bukan hanya pasien, tapi penunggu juga ikut-ikutan repot dan meninggalkan acaranya, termasuk menunda pekerjaannya. Oom saya harus menunda kepergiannya ke Jakarta karena harus menungu anaknya. Anak-anak kakak sepupu saya lebih repot lagi. Lima anaknya, empat di antaranya sudah berkeluarga dan bekerja. Yang terakhir masih kuliah dan bekerja.
Mereka harus pintar mengatur jadwal menunggui ibu mereka. Anaknya yang pertama harus meninggalkan TK yang diajarnya. Yang kedua tak bisa rutin karena beberapa bulan lalu baru saja melahirkan. Yang ketiga harus meninggalkan pekerjaannya. Yang keempat pun begitu. Yang terakhir mesti “cuti” kuliah dan kerja.
Betapa repotnya. Dan rentan menimbulkan iri di antara anak-anaknya. Praktis kewajiban mencari nafkah untuk sementara harus berhenti demi menjaga ibunya agar segera sehat. Mereka juga ingin segera pulang dan kembali hidup normal: bekerja demi menafkahi keluarga.
Sungguh, sakit itu mahal. Membayar rumah sakit, pasti. Tapi biaya menunggu juga tak kalah besarnya. Karena berada di kota yang jauh dari tempat tinggal, semua harus beli. Mereka juga harus mengeluarkan ongkos transportasi. Makanan pun beli. Belum lain-lainnya yang diperlukan saat menunggu pasien yang sungguh-sungguh membosankan.
Sialnya, ada anak kecil, sang cucu, yang ikut menunggu di situ. Yang sering rewel dan minta jajan, lazimnya balita. Maka biaya bisa membengkak gara-gara pengeluaran yang tak ada hubungannya sama sekali secara langsung dengan kesembuhan pasien.
Anehnya, dengan alasan yang naïf, bahwa menunggu orang saakit bikin pusing tujuh keliling, menjadi justifikasi salah satu anak untuk membeli makan yang enak-enak agar pusingnya berkurang. Pengeluaran membengkak lagi.
Belum lagi pengunjung, yang sering membawa oleh-oleh yang sebetulnya tidak boleh diberikan kepada pasien. Tapi karena tradisi di sini saat menjenguk orang sakit harus membawa buah tangan, maka pengunjung pun membawa buah tangan. Karena di kota, oleh-olehpun mengikuti kebiasaan di kota: pir, apel, kelengkeng, anggur dan sebagainya. Padahal si sakit tak boleh makan bauh-buahan itu. Pada akhinya yang menikmati adalah penunggu pasien itu.
Sakit yang mahal, pikir saya. Saya pernah menunggu nenek saya di rumah sakit yang dekat dengan rumah. Tak begitu mahal, karena makanan untuk penunggu sering dikirim dari rumah. Mahalnya biaya untuk berobat, menungu dan menjenguk orang sakit, sering tak sebanding dengan kondisi rumah sakit dan pelayanan. Apalagi jika si sakit itu adalah pasien miskin yang sering dipingpong ke sana kemari. Mendapat kamar pun harus antri karena begitu banyak orang sakit di negeri ini.
Sehat ternyata lebih murah dari pada sakit. Kita yang terbiasa menerapkan pola hidup sehat, sedikit bisa mencegah agar si sakit itu tak datang. Karena jika ia datang, sungguh mahalnya. Sakit pun mahal bagi pasien, penunggu dan penjenguknya. Berdoalah agar senantiasa diberi kesehatan oleh Tuhan.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Selama empat hari saya berada di rumah sakit, bukan karena saya sedang sakit. Tapi ikut menunggui saudara sepupu saya yang akan menjalani operasi. Adik sepupu saya, kelas 5 SD harus menjalani operasi tangan lantaran jatuh saat bermain lompat tali di sekolah. Dia sudah 11 hari di rumah sakit, tapi belum dioperasi karena dokter spesialis yang akan mengoperasinya masih sibuk dengan urusan lain yang lebih penting.
Yang kedua, kakak sepupu saya harus operasi usus. Usianya hampir 70 tahun. Setelah dirawat di rumah sakit kecil, akhirnya dia dirujuk di rumah sakit yang lebih besar dan ternama. Adik sepupu saya ditunggui oleh kedua orang tuanya. Kakak sepupu saya ditunggui secara bergiliran oleh anak-anaknya. Saya ikut menunggui dengan alasan kos saya dekat dengan rumah sakit tersebut, dan saya dianggap belum bekerja, karena itu punya banyak waktu.
Sakit adalah sesuatu yang tak bisa ditebak kapan datangnya. Kita hanya bisa berusaha menjaga kesehatan agar sakit itu tak datang. Karena, sungguh, ketika sakit itu datang, semuanya akan repot. Rencana yang telah disusun oleh si sakit bisa berantakan gara-gara sakit yang tak diundang itu.
Bukan hanya pasien, tapi penunggu juga ikut-ikutan repot dan meninggalkan acaranya, termasuk menunda pekerjaannya. Oom saya harus menunda kepergiannya ke Jakarta karena harus menungu anaknya. Anak-anak kakak sepupu saya lebih repot lagi. Lima anaknya, empat di antaranya sudah berkeluarga dan bekerja. Yang terakhir masih kuliah dan bekerja.
Mereka harus pintar mengatur jadwal menunggui ibu mereka. Anaknya yang pertama harus meninggalkan TK yang diajarnya. Yang kedua tak bisa rutin karena beberapa bulan lalu baru saja melahirkan. Yang ketiga harus meninggalkan pekerjaannya. Yang keempat pun begitu. Yang terakhir mesti “cuti” kuliah dan kerja.
Betapa repotnya. Dan rentan menimbulkan iri di antara anak-anaknya. Praktis kewajiban mencari nafkah untuk sementara harus berhenti demi menjaga ibunya agar segera sehat. Mereka juga ingin segera pulang dan kembali hidup normal: bekerja demi menafkahi keluarga.
Sungguh, sakit itu mahal. Membayar rumah sakit, pasti. Tapi biaya menunggu juga tak kalah besarnya. Karena berada di kota yang jauh dari tempat tinggal, semua harus beli. Mereka juga harus mengeluarkan ongkos transportasi. Makanan pun beli. Belum lain-lainnya yang diperlukan saat menunggu pasien yang sungguh-sungguh membosankan.
Sialnya, ada anak kecil, sang cucu, yang ikut menunggu di situ. Yang sering rewel dan minta jajan, lazimnya balita. Maka biaya bisa membengkak gara-gara pengeluaran yang tak ada hubungannya sama sekali secara langsung dengan kesembuhan pasien.
Anehnya, dengan alasan yang naïf, bahwa menunggu orang saakit bikin pusing tujuh keliling, menjadi justifikasi salah satu anak untuk membeli makan yang enak-enak agar pusingnya berkurang. Pengeluaran membengkak lagi.
Belum lagi pengunjung, yang sering membawa oleh-oleh yang sebetulnya tidak boleh diberikan kepada pasien. Tapi karena tradisi di sini saat menjenguk orang sakit harus membawa buah tangan, maka pengunjung pun membawa buah tangan. Karena di kota, oleh-olehpun mengikuti kebiasaan di kota: pir, apel, kelengkeng, anggur dan sebagainya. Padahal si sakit tak boleh makan bauh-buahan itu. Pada akhinya yang menikmati adalah penunggu pasien itu.
Sakit yang mahal, pikir saya. Saya pernah menunggu nenek saya di rumah sakit yang dekat dengan rumah. Tak begitu mahal, karena makanan untuk penunggu sering dikirim dari rumah. Mahalnya biaya untuk berobat, menungu dan menjenguk orang sakit, sering tak sebanding dengan kondisi rumah sakit dan pelayanan. Apalagi jika si sakit itu adalah pasien miskin yang sering dipingpong ke sana kemari. Mendapat kamar pun harus antri karena begitu banyak orang sakit di negeri ini.
Sehat ternyata lebih murah dari pada sakit. Kita yang terbiasa menerapkan pola hidup sehat, sedikit bisa mencegah agar si sakit itu tak datang. Karena jika ia datang, sungguh mahalnya. Sakit pun mahal bagi pasien, penunggu dan penjenguknya. Berdoalah agar senantiasa diberi kesehatan oleh Tuhan.
Komentar