CORAT CORET

Setiap Kita Adalah Cerdas
Oleh Junaidi Abdul Munif


Dulu, anak yang (dianggap) cerdas adalah anak yang pintar matematika, fisika, dan bercita-cita menjadi dokter. Kalau nilai matematikamu 10, IQ-mu tinggi, kau adalah anak cerdas. Tak peduli nilai bahasamu 5, emosionalmu jeblok, itu bukan masalah.

Maka anak yang cerdas adalah mereka yang bercita-cita menjadi dokter, insinyur (dulu), akuntan dan ”pekerjaan eksak” lainnya. Di SMA, jurusan IPA selalu menjadi favorit. Jurusan IPS, apalagi Bahasa, adalah jurusan kelas dua, tempat anak-anak buangan.

Ujian Nasional pun, memberikan tempat yang pasti untuk Matematika, IPA, tapi nggak untuk menggambar, apresiasi sastra, pendidikan agama, dan lainnya. Ilmu eksakta masih menjadi panglima untuk mengukur kecerdasan seseorang.

Di Universitas, jurusan-jurusan humaniora (sosial, sastra, dll) adalah jurusan kelas dua dan jadi ”pelarian” karena nggak diterima di jurusan eksak. Jurusan humaniora menjadi jurusan gugur kewajiban, daripada nggak kuliah.

Apakah itu masih terjadi sampai hari ini? Tampaknya masih. Meski telah ditemukan keceedasan lain lagi, yaitu EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient).

Bahwa intelegensia (intelektualitas) nggak sepenuhnya menjamin kesuksesan seseorang. Meski dia pintar menghitung angka, kalau ia nggak cerdas emosional dan spiritual, akan gagal.

Kecerdasan emosional akan membuat bagaimana seseorang memahami orang lain, berempati, dan melakukukan sosialisasi dengan cantik. Kecerdasan spiritual akan membuat seseorang menyadari ada kekuatan Maha Besar di luar diri yang mampu merubah keadaan dari mustahil menjadi mungkin, atau sebaliknya.

Pendidikan pun mengalami keseragaman. Hanya berkutat pada masalah pelajaran-pelajaran yang menuntut otak, bukan rasa. Orang tua pun terseret untuk mendorong anaknya memasuki jalur-jalur eksak dalam meneruskan pendidikan anaknya. Semata-mata hanya ingin dibilang bahwa anaknya pintar.

Setiap anak pada dasarnya adalah sebuah unikum yang memiliki berbagai potensi-potensi besar yang ada sejak lahir. Banyak anak-anak yang terpenjara dengan ideologi kecerdasan angka ini. Ketika mereka nggak mampu memenuhi kecerdasan ini, mereka akan dicap sebagai anak bodoh, madesur (masa depan suram).

Albert Einstein dan Thomas Alva Edison adalah contoh bagaimana anak-anak yang punya potensi itu nggak terpahami oleh guru dan lingkungannya. Mereka dicap sebagai anak bodoh dan nggak punya masa depan.

Lembaga pendidikan, apalagi undang-undang pendidikan (UN) harus lebih apresiatif pada kecerdasan-kecerdasan lain, selain kecerdasan angka dan intelektualitas. Kecerdasan-kecerdasan harus berdiri sejajar. Anak-anak semuanya adalah cerdas. Kecerdasan mereka kadang tertutup oleh lingkungan dan paradigma masyarakat yang masih menganggap bahwa kecerdasan eksak adalah kecerdasan utama. Yakinlah, setiap kita adalah cerdas.


Suara Merdeka, 15 November 2009. halaman swara muda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil