coretan tentang pengarusutamaan jender
Pengarusutamaan Gender di DPRD Jateng
Oleh Junaidi Abdul Munif
Calon legislatif yang bertarung di pileg April lalu telah terpilih seratus anggota legislatif yang akan duduk di Gedung Berlian periode 2009-2014. Hal yang mengembirakan bagi perempuan karena dari 100 wakil rakyat terpilih, 21 di antaranya adalah perempuan. Naik 6 persen dari dari periode sebelumnya yang hanya 15 orang. Di DPR RI juga terjadi peningkatan anggota legislatif perempuan yang signifikan, dari 63 menjadi 99 orang.
Komposisi tersebut hampir mendekati 30 persen dari total jumlah anggota dewan. Perempuan yang duduk di parlemen memiliki posisi strategis dan penting mengenai isu-isu gender. Mengingat di Jawa Tengah merupakan propinsi yang sering terjebak masalah isu-isu perempuan. Semisal traficking, cuti menstruasi dan cuti hamil bagi pekerja di pabrik garmen yang bertebaran di Jawa Tengah.
Isu-isu gender yang merugikan perempuan menjadi pekerjaan rumah anggota legislatif terpilih. Kasus KDRT, Undang-undang Buruh, prostitusi di bawah umur, sampai pendidikan menjadi masalah pelik yang menuntut untuk dituntaskan selama lima tahun mendatang.
Berangkat dari premis bahwa perempuan lebih tahu tentang dirinya sendiri, harapan besar patut disematkan ke pundak mereka. Agar nasib perempuan tidak lagi menjadi komoditas politik selama kampanye saja. Tapi dibuktikan dengan aksi nyata, lewat perda (peraturan daerah) dan regulasi yang ramah terhadap perempuan.
Bayang-bayang Patriarki
Namun, skeptisisme juga patut dimunculkan. Meskipun jumlah perempuan meningkat, kebanyakan mereka tidak duduk di posisi strategis. Misalnya ketua komisi yang membidangi bidang tertentu.
Posisi perempuan yang tidak sebagai leader ini tentu saja menyulitkan perempuan untuk bersuara lebih lantang memperjuangkan suara kaumnya. Meski keputusan dewan selalu berdasarkan musyawarah mufakat bersama.
Yang menggembirakan adalah cukup banyaknya perempuan akan membuat posisi tawar mereka lebih tinggi. Berkaitan dengan lobi dan voting dalam pengambilan keputusan, yang akan semakin kuat untuk menang.
Lobi-lobi politik ini penting mengingat ada dua partai besar, yaitu PKS dan PPP yang mendapatkan 10 dan 7 kursi, tapi tak satu pun yang perempuan. Padahal mereka adalah partai yang cukup berpengaruh dalam mewarnai kebijakan politik di Jawa Tengah.
Komunikasi politik harus terus digalakkan, terutama kepada partai yang tak terlalu menjadikan perempuan sebagai agenda utama selama kampanye. Bagi partai yang memang sejak awal mengangkat isu keperempuanan, harus terus dikawal agar konsisten mewujudkan tujuan selama kampanye.
Perempuan di parlemen bukanlah hanya pelengkap kuota 30 persen saja, tapi merupakan murni terpilih karena kemampuan, integritas dan loyalitas untuk berjuang demi rakyat, lebih khusus demi perempuan.
Ke depan, selayaknya ada pos khusus, misalnya komisi tertentu yang diketuai oleh perempuan. Perempuan tidak hanya menjadi bayang-bayang anggota legislatif laki-laki. Bukankah sudah ada contohnya, misal Wagub Jateng, Rustriningsih dan Ida Budhiati (Ketua KPUD) yang mendobrak rimba-rimba patriarki birokrasi di Jateng.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Calon legislatif yang bertarung di pileg April lalu telah terpilih seratus anggota legislatif yang akan duduk di Gedung Berlian periode 2009-2014. Hal yang mengembirakan bagi perempuan karena dari 100 wakil rakyat terpilih, 21 di antaranya adalah perempuan. Naik 6 persen dari dari periode sebelumnya yang hanya 15 orang. Di DPR RI juga terjadi peningkatan anggota legislatif perempuan yang signifikan, dari 63 menjadi 99 orang.
Komposisi tersebut hampir mendekati 30 persen dari total jumlah anggota dewan. Perempuan yang duduk di parlemen memiliki posisi strategis dan penting mengenai isu-isu gender. Mengingat di Jawa Tengah merupakan propinsi yang sering terjebak masalah isu-isu perempuan. Semisal traficking, cuti menstruasi dan cuti hamil bagi pekerja di pabrik garmen yang bertebaran di Jawa Tengah.
Isu-isu gender yang merugikan perempuan menjadi pekerjaan rumah anggota legislatif terpilih. Kasus KDRT, Undang-undang Buruh, prostitusi di bawah umur, sampai pendidikan menjadi masalah pelik yang menuntut untuk dituntaskan selama lima tahun mendatang.
Berangkat dari premis bahwa perempuan lebih tahu tentang dirinya sendiri, harapan besar patut disematkan ke pundak mereka. Agar nasib perempuan tidak lagi menjadi komoditas politik selama kampanye saja. Tapi dibuktikan dengan aksi nyata, lewat perda (peraturan daerah) dan regulasi yang ramah terhadap perempuan.
Bayang-bayang Patriarki
Namun, skeptisisme juga patut dimunculkan. Meskipun jumlah perempuan meningkat, kebanyakan mereka tidak duduk di posisi strategis. Misalnya ketua komisi yang membidangi bidang tertentu.
Posisi perempuan yang tidak sebagai leader ini tentu saja menyulitkan perempuan untuk bersuara lebih lantang memperjuangkan suara kaumnya. Meski keputusan dewan selalu berdasarkan musyawarah mufakat bersama.
Yang menggembirakan adalah cukup banyaknya perempuan akan membuat posisi tawar mereka lebih tinggi. Berkaitan dengan lobi dan voting dalam pengambilan keputusan, yang akan semakin kuat untuk menang.
Lobi-lobi politik ini penting mengingat ada dua partai besar, yaitu PKS dan PPP yang mendapatkan 10 dan 7 kursi, tapi tak satu pun yang perempuan. Padahal mereka adalah partai yang cukup berpengaruh dalam mewarnai kebijakan politik di Jawa Tengah.
Komunikasi politik harus terus digalakkan, terutama kepada partai yang tak terlalu menjadikan perempuan sebagai agenda utama selama kampanye. Bagi partai yang memang sejak awal mengangkat isu keperempuanan, harus terus dikawal agar konsisten mewujudkan tujuan selama kampanye.
Perempuan di parlemen bukanlah hanya pelengkap kuota 30 persen saja, tapi merupakan murni terpilih karena kemampuan, integritas dan loyalitas untuk berjuang demi rakyat, lebih khusus demi perempuan.
Ke depan, selayaknya ada pos khusus, misalnya komisi tertentu yang diketuai oleh perempuan. Perempuan tidak hanya menjadi bayang-bayang anggota legislatif laki-laki. Bukankah sudah ada contohnya, misal Wagub Jateng, Rustriningsih dan Ida Budhiati (Ketua KPUD) yang mendobrak rimba-rimba patriarki birokrasi di Jateng.
Komentar