coretan tentang bom marriot 2

Anomali Tragedi di Televisi
Oleh Junaidi Abdul Munif


Peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriott dan Ritz Charlton (Jumat, 17 Juli 2009) menyita perhatian masyarakat kita. Televisi hadir dengan informasi yang terus di-update demi memuaskan dahaga masyarakat yang ingin cepat tahu dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi.

Televisi, dengan breaking news misalnya, langsung menayangkan langsung dari lokasi ledakan. Gambar-gambar yang mengerikan dari efek ledakan itu, korban meninggal dan luka-luka membuat perasaan pemirsa miris dan mengutuk pelaku pengeboman yang tak manusiawi itu.

Agar lebih berbobot, dihadirkan para pakar untuk menganalisa peristiwa tersebut dari berbagai sudut pandang. Masyarakat pun diajak untuk melihat peristiwa itu tidak secara taken for granted, mak bedunduk terjadi. Tapi terkait dengan terorisme global yang mempunyai misi “menghancurkan” Amerika dan sekutunya.

Dengan menghadirkan berita tersebut, televisi telah menjalankan fungsinya sebagai media informasi yang bertanggung jawab memberitakan peristiwa penting kepada masyarakat. Itu adalah tangung jawab pers kepada masyarakat dalam iklim kebebasan pers seperti saat ini.


Anomali


Televisi adalah media yang tidak bebas nilai. Yang berada di belakang televisi tersebut, misalnya adalah kapitalisme yang berwujud pada slot iklan dan acara-acara yang mendapatkan profit melimpah. Kesusksesan acara diukur dengan rating.

Sayangnya, tak semua televisi sepanjang hari itu menampilkan berita pengeboman tersebut. Stasiun tv yang lain masih setia dengan “jalan hidup” yang telah “digariskan”. Yaitu sebagai media hiburan yang bertugas menghibur masyarakat. Ada nyanyian dan tawa dalam program acara di stasiun tv tersebut.

Simultanitas (keserentakan) antara tragedi dan hiburan inilah yang berebut ruang di benak penerima pesan, yakni pemirsa. Kuasa sepenuhnya ada di tangan pemirsa. Dengan mengganti channel menggunakan remot, pemirsa mudah saja menonton berita pengeboman dan menangis, sedetik kemudian bisa saja akan tertawa atau menyanyi seiring lantunan lagu dari penyanyi yang tampil di televisi.


Masyarakat yang Bebal


Efek dari berita yang terus berulang-ulang, pada akhirnya menghadirkan anomali. Tidak ada lagi efek suspense (kejutan) dari sebuah peristiwa yang berupa tragedi di televisi. Betapa tak ada lagi yang membuat kita surprise jika rekaman gambar tersebut berulang-ulang kita saksikan di televisi.

Sebuah tragedi memang boleh dan sah-sah saja terjadi. Namun ketika manusia telah menganggap tragedi itu adalah sebuah sunnatullah (hukum alam) dan bagian integral dari hidup, respon kita terhadap tragedi itu menjadi biasa. Karena sudah biasa, kita pun enggan belajar dari kesalahan itu. Maka tragedi itu pun terus saja terjadi di sekitar kita. Kita pun cepat melupakannya. Kita menjadi masyarakat yang bebal (ndableg).

Sebuah tragedi hampir semuanya melibatkan dimensi kemanusiaan di dalamnya. Media membahasakannya sebagai human error (kesalahan manusia) yang manusiawi dan dimaafkan. Akhirnya yang menjadi penghibur lara adalah, meskipun kita adalah bangsa yang sering tertimpa musibah, hiburan harus jalan terus. Kita pun masih berhak menghibur diri di tengah bangsa yang diliputi tragedi.

Maka acara-acara hiburan masih saja terus bergulir untuk membuat kita terhibur, dan mungkin melupakan kita betapa dahsyatnya efek pengeboman itu. Kita mungkin tak akan lupa bahwa pernah terjadi sekian puluh tragedi di negeri ini. Tapi kita juga gampang melupakan sebuah tragedi. Televisi telah menghadirkan anomali yang membuat kita tak belajar dari tragedi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil