coretan naskah lomba esai (meski tak menang)
Ekonomi Kreatif, Ekonomi Kepemudaan
Oleh Junaidi Abdul Munif
Potret pemuda hari ini adalah gambaran tentang perilaku yang mengarah ke hedonisme-konsumerisme. Mereka dikepung dengan berbagai produk yang mementingkan citra remaja yang gaul, smart, funky, ceria, dan instan. Ideologi gaulisme ini kalau dirunut jauh ke dalam, pada akhirnya hanyalah salah satu strategi untuk memasarkan sebuah produk.
Televisi dengan sangat baik menggambarkan bagaimana remaja hidup sebagai entitas yang tumbuh dan bergaul secara global. Karena itu produk-produk yang menjadikan mereka sebagai target pasar adalah gaya hidup (life style) yang berkiblat ke barat.
Proses identifikasi menjadi manusia global inilah yang perlahan mengikis rasa nasionalisme akan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jaket dan atribut yang melekat, bukan dilabeli dengan bendera merah putih, namun bendera Amerika Serikat, Inggris, atau negara yang diasosiasikan sebagai kiblat modernitas.
Gerakan konsmumerime secara massif ini telah mengepung semua kalangan pemuda, tak hanya mereka yang hidup di kota-kota besar, namun juga pemuda kampung. Pada titik ini, televisi menjadi cultural broker (makelar budaya) yang mengusung budaya-budaya luar negeri ke benak pemuda kampung. Mungkin tak secara langsung, karena mereka sebetulnya berkiblat ke artis-artis, idola, yang ujung-ujungnya, sesungguhnya, berkiblat ke barat juga. Pemuda kampung mengalami imitasi budaya luar negeri secara tidak langsung.
Kalau sudah diketahui bahwa muara dari penanaman ideologi gaulisme adalah sebentuk kapitalisme model baru atau pemasaran produk gaya baru, tak salah jika pemuda mengambil itu sebagai model untuk merebut potensi ekonomis dari proses identifikasi tersebut.
Keterampilan Sejak Dini
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang sangat eksis di negeri ini. Sangat sedikit lembaga pendidikan non sekolah yang mampu eksis melebihi eksistensi sekolah. Namun, kurikulum yang diterapkan di tiap tingkatan pendidikan tak mengajarkan keterampilan sejak usia dini. Di sekolah anak didik menjadi keranjang yang bebas dimasuki bermacam-macam ilmu secara serempak. Ironisnya, anak didik malah menjadi keranjang sampah, karena ternyata banyak ilmu yang sebetulnya tak diperlukan tapi tetap dilesakkan.
Pengambangan ilmu yang tak jelas ini, menjadi masalah serius ketika anak didik tersebut telah memasuki dunia produktif (kerja). Kurikulum sekolah ternyata tak menyiapkan anak didik untuk mengenal dunia kerja. Hanya SMK yang mencoba mengenalkan dunia kerja, itu pun masih terlihat setengah-setengah.
Konsentrasi ilmu yang akan digunakan sebagai keterampilan (bekal) untuk kerja, ”baru” dimulai sejak kuliah. Dalam waktu empat tahun, untuk menempuh gelar sarjana, tentu sulit menyiapkan mahasiswa yang siap kerja.
Inilah ironi dunia pendidikan kita. Ketika kampus sebagai penggodokan intelektual, hanya melahirkan pengangguran-pengangguran yang menjadi beban negara. ”Penyiasatan” dengan mata kuliah kewiraswastaan pun dijalankan hanya ”setengah-setengah”, semata-mata untuk menampakkan kepedulian kampus yang peduli akan nasib mahasiswanya, agar setelah lulus tak mendapat gelar ”pengangguran terdidik dan intelektual”.
Kerja Mulai kecil
Potret tokoh-tokoh besar dunia adalah mereka yang berjuang sejak kecil. Dunia kerja telah diakrabinya sejak mereka berusia di bawah sepuluh tahun, sehingga saat mereka besar dan tumbuh dewasa, tinggal memanen hasil apa yang telah diperjuangkan dari kecil.
Anak-anak dengan kejernihan jiwanya, memiliki naluri pembelajar, keberanian mencoba, dan mengambil resiko yang bahkan ditakuti oleh orang dewasa sekalipun. Kurikulum pendidikan di sekolah pada akhirnya menjadi pemasungan sistemik dan menjauhkan mereka dari pemahaman kerja. Hal ini diperparah dengan paradigma di masyarakat bahwa dunia anak adalah dunia sekolah dan belajar, dan bekerja adalah dunia orang tua.
Kerja, mencari uang, seolah adalah hukum alam yang terkait dengan usia. Tanpa dibekali ”pengalaman” kerja pun, ketika sang anak sudah dewasa dan memiliki tanggung jawab ekonomis, secara naluriah anak itu akan bisa kerja dengan sendirinya.
Saya mendefinisikan sebagai pragmatisme kerja untuk menyebut pekerjaan yang hanya semata-mata bertumpu ada hasil akhir uang atau materi. Ketika kerja dianggap sebagai sebuah pragmatisme, pada saat itu juga telah menumpulkan ruang kreativitas yang semestinya menjadi ruh utama bagi tindakan kerja.
Ketidakreatifan dalam menyusun tindakan kerja ini sekarang memunculkan plagiarisasi, epigonisasi, dan membebek pada apa yang sudah dahulu sukses. Bahkan, yang lebih parah, bidang yang sebetulnya medan kreativitas, seperti seni, juga tak lepas dari budaya ekor mengekor ini.
Generasi muda adalah generasi yang kreatif, inovatif, penuh ide, visioner, dan menatap jauh ke depan. Sayangnya, sekolah memangkas potensi ini dengan menjadikan anak- didik sebagai ”keranjang sampah”.
Dalam dunia Islam, kita mengenal Nabi Muhammad SAW yang mengenal kerja sejak umur 8 tahun. Ia menjadi penggembala kambing, dan beberapa tahun kemudian menjadi entrepeneur dengan mengikuti pamannya berdagang ke Negeri Syam.
Thomas Alva Edison, di sela berjualan koran di kereta api, berhasil mengubah salah satu gerbong sebagai labotarorium. Kelak, kita mengenalnya sebagai penemu paling produktif sepanjang zaman, yang telah mematenkan lebih dari 1000 penemuannya.
Ini sangat berbeda dengan di Indonesia, anak tak dikenalkan dunia kerja sejak dini. Jika anak-anak yang dalam usia sekolah sudah bekerja, dianggap melanggar hak anak-anak untuk belajar dan bermain. Undang-undang perlindungan anak dengan jelas menyatakan hal ini, dan bisa dituduh mengeksploitasi anak di bawah umur.
Pemuda akan sangat rugi jika dunia kerja dak dikenal sejak kecil. Saat menjadi anak-anak adalah usia dengan potensi besar, otak masih segar, kreatif, dan mudah menangkap apa yang disampaikan kepadanya. Baik itu informasi maupun pengalaman-pengalaman hidupnya.
Dengan otak yang masih ”baru”, informasi dan pengalaman-pengalaman hidupnya akan menyulut api kreativitas pada diri mereka. Orang tua di sini laik berperan sebagai supervisor, pengawas, yang semakin memunculkan semangat kreativitas pada diri sang anak.
Pemuda Kreatif di tahun Ekonomi Kreatif
Menyaksikan pemuda bekerja, sebetulnya mudah dijumpai, terutama di lapisan masyarakat bawah. Mereka pada umumnya adalah anak-anak putus sekolah, bisa karena kurang mampu atau akibat kenakalan remaja yang membuat mereka dikeluarkan dari sekolah.
Namun, pekerjaan mereka sangat sedikit membutuhkan kreativitas. Pekerjaan mereka dalah pekerjan ”gaya” orang tua, pekerjan pragmatis: asal dapat uang. Mereka bekerja secara ”mekanis”, seperti robot, monoton. Mereka pun takut mencoba hal baru, karena kreativitas, semangat bekerja tak ditanamkan sejak kecil.
Tahun 2009 dicanangkan sebagai tahun ekonomi kreatif. Peran pemuda akan sangat menonjol jika berhasil dioptimalkan dengan baik. Generasi kreatif sangat klop dengan jargon ekonomi kreatif. Akan tetapi peluang ini nampaknya belum begitu digarap oleh pemuda. Hanya segelintir pemuda (mahasiswa) yang menggeluti bidang wirausaha, itu pun karena embel-embel penelitian kewirausahaan yang dikeluarkan oleh Dikti maupun Diknas, dengan cara mahasiswa mengajukan proposal penelitian, yang salah satunya adalah program kewirausahaan.
Barter Ekonomi-Budaya
Beberapa tahun belakangan, ancaman disintegrasi bangsa kembali muncul. Pasca lepasnya Timor-Timur menjadi negara mereka, beberapa daerah lain menuntut hal serupa. Tiba-tiba saja nasionalisme kembali digulirkan untuk menangkal perpecahan bangsa ini.
Namuan cukupkah kampanye nasionalisme tersebut membuat rakyat (khususnya pemuda) semakin cinta Indonesia dan menjadi nasionalis? Nasionalisme, sebagaimana didefinisikan oleh Benedict Anderson, adalah komunitas terbayang. Sebuah komunitas yang di dalamnya kesamaan agama, suku, budaya, geografi, menimbulkan ikatan persaudaraan yang kuat, meski sesama anggota komunitas itu tak saling mengenal.
Kalau dikejar lebih jauh, nasionalisme yang hanya bertumpu pada kesamaan suku, agama, budaya, geografi, adalah nasionalisme semu yang gagah di permukaan tapi rapuh di dalam. Tidak akan ada nasioalisme yang kuat jika komponen-komponen dalam sebuah komunitas tak saling mengenal.
Selama ini kampanye nasionalisme yang dilakukan masih sebatas permukaan saja. Pondasi nasionalisme belum tergali. Sebabnya, karena tak pahamnya bagaimana unsur-unsur yang ada dalam suku, budaya, agama, dan daerah dibentuk atau terbentuk. Nasionalisme hanya berhenti pada agama, suku, budaya, geografi dan lainnya. Bukan penggalian lebih dalam pada entitas-entitas tersebut.
Inilah yang membuat orang latah berteriak nasionalisme, tapi kering secara substansi. Salah satu unsur yang menjadi pondasi nasioalisme adalah potensi kebudayaan yang bisa bernilai ekonomis. Pemuda harus dikenalkan dengan kebudayaan bangsa, yang terdiri dari kebudayaan daerah, lantas mengolahnya sehingga bernilai ekonomis.
Setiap pemuda di daerahmasing-masing mengolah kebudayaan, memodifikasi budaya tersebut menjadi bernilai ekonomis. Kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau, bisa menjadikan pemuda sebagai produsen sekaligus konsumen bagi mereka sendiri. Sistem barter bisa dilakukan dengan masing-masing daerah menjadi ”importir-eksportir” hasil kebudayaan yang diekonomiskan.
Pemuda-pemuda yang kreatif, bisa menjadi tonggak bagi proses barter ekonomi-budaya ini. Organisasi Karang Taruna yang telah memiliki struktur kepengurusan dari Pusat hingga ke daerah, bisa menjadi alat efektif untuk melakukan barter ekonomi-budaya ini, tanpa menafikan organisasi kepemudaan lain yang telah memiliki kepengurusan dari pusat sampai daerah.
”Ekspor-impor” dalam konteks lokal ini bisa menjadi batu pijakan untuk meletakkan semangat kaum muda dalam berpikir jauh ke depan. Tak akan ada globalisasi secara mendunia jika dalam lingkup lokal belum ”mengglobal” terlebih dahulu.
Ada dua keuntungan yang didapat ketika para pemuda dengan kreativitasnya berhasil menjadikan Indonesia sebagai produsen sekaligus pasar. Selain ekonomi, nasionalisme juga bisa ditanamkan karena para pemuda akan mengenal kebudayaan dari daerah lain. Kebudayaan-kebudayaan yang beraneka macam ini yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme pada NKRI.
Hal ini pernah kami coba dalam pelaksanaan OSPEK di kampus. Para peserta kami wajibkan membawa kerajinan khas daerah atau makanan khas daerah beserta artikel mengenai produk khas daerah tersebut. Hasilnya sangat menggembirakan. Banyak potensi, baik kerajinan maupun makanan yang berbeda-beda. Itu baru sebagian besar daerah di Jawa Tengah. Bagaimana kalau Indonesia, tentu akan lebih beragam.
Potensi-potensi inilah yang luput dari perhatian kita. Jika diolah secara serius, ini akan menjadi lahan yang bernilai ekonomis. Hanya perlu satu tindakan: kreativitas. Asimilasi budaya, semisal memadukan satu kerajinan khas daerah yang satu dengan yang lain, atau makanan satu dengan yang lain, akan memunculkan produk baru yang khas.
Kultur geng-gengan (komunalisme) di kalangan pemuda menjadi potensi tersendiri jika dikaitkan dengan marketing (pemasaran). Selain untuk memadukan berbagai ide dalam beberapa kepala pemuda, kultur komunalisme bisa menjadi ”sales” atau Multi Level Marketing (MLM).
Ekonomi Kepemudaan
Terinspirasi jargon politik Megawati-Prabowo saat pemilu presiden 2009, Ekonomi Kerakyatan, tak salah kiranya kalau jargon Ekonomi Kepemudaan disematkan di tahun ekonomi kreatif ini. Sebab di tangan pemudalah, kreativitas itu tampak bagai ladang emas yang mahal.
Dalam konteks ekonomi kepemudaan ini, pemuda memiliki peran vital, sebagai peodusen, konsumen, dan distributor dari olah kreativitas mereka. Alangkah lebih indah, jika pemerintah turut mendukung, salah satunya dengan kurikulum pendidikan, dan peninjauan ulang tentang undang-undang ketatanegakerjaan. Maka beberapa tahun ke depan, akan muncul generasi entrepeneur yang memiliki pondasi nasionalisme yang kuat. Yang mendapat manfaat dari budaya yang ada di daerahnya, di negaranya.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Potret pemuda hari ini adalah gambaran tentang perilaku yang mengarah ke hedonisme-konsumerisme. Mereka dikepung dengan berbagai produk yang mementingkan citra remaja yang gaul, smart, funky, ceria, dan instan. Ideologi gaulisme ini kalau dirunut jauh ke dalam, pada akhirnya hanyalah salah satu strategi untuk memasarkan sebuah produk.
Televisi dengan sangat baik menggambarkan bagaimana remaja hidup sebagai entitas yang tumbuh dan bergaul secara global. Karena itu produk-produk yang menjadikan mereka sebagai target pasar adalah gaya hidup (life style) yang berkiblat ke barat.
Proses identifikasi menjadi manusia global inilah yang perlahan mengikis rasa nasionalisme akan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jaket dan atribut yang melekat, bukan dilabeli dengan bendera merah putih, namun bendera Amerika Serikat, Inggris, atau negara yang diasosiasikan sebagai kiblat modernitas.
Gerakan konsmumerime secara massif ini telah mengepung semua kalangan pemuda, tak hanya mereka yang hidup di kota-kota besar, namun juga pemuda kampung. Pada titik ini, televisi menjadi cultural broker (makelar budaya) yang mengusung budaya-budaya luar negeri ke benak pemuda kampung. Mungkin tak secara langsung, karena mereka sebetulnya berkiblat ke artis-artis, idola, yang ujung-ujungnya, sesungguhnya, berkiblat ke barat juga. Pemuda kampung mengalami imitasi budaya luar negeri secara tidak langsung.
Kalau sudah diketahui bahwa muara dari penanaman ideologi gaulisme adalah sebentuk kapitalisme model baru atau pemasaran produk gaya baru, tak salah jika pemuda mengambil itu sebagai model untuk merebut potensi ekonomis dari proses identifikasi tersebut.
Keterampilan Sejak Dini
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang sangat eksis di negeri ini. Sangat sedikit lembaga pendidikan non sekolah yang mampu eksis melebihi eksistensi sekolah. Namun, kurikulum yang diterapkan di tiap tingkatan pendidikan tak mengajarkan keterampilan sejak usia dini. Di sekolah anak didik menjadi keranjang yang bebas dimasuki bermacam-macam ilmu secara serempak. Ironisnya, anak didik malah menjadi keranjang sampah, karena ternyata banyak ilmu yang sebetulnya tak diperlukan tapi tetap dilesakkan.
Pengambangan ilmu yang tak jelas ini, menjadi masalah serius ketika anak didik tersebut telah memasuki dunia produktif (kerja). Kurikulum sekolah ternyata tak menyiapkan anak didik untuk mengenal dunia kerja. Hanya SMK yang mencoba mengenalkan dunia kerja, itu pun masih terlihat setengah-setengah.
Konsentrasi ilmu yang akan digunakan sebagai keterampilan (bekal) untuk kerja, ”baru” dimulai sejak kuliah. Dalam waktu empat tahun, untuk menempuh gelar sarjana, tentu sulit menyiapkan mahasiswa yang siap kerja.
Inilah ironi dunia pendidikan kita. Ketika kampus sebagai penggodokan intelektual, hanya melahirkan pengangguran-pengangguran yang menjadi beban negara. ”Penyiasatan” dengan mata kuliah kewiraswastaan pun dijalankan hanya ”setengah-setengah”, semata-mata untuk menampakkan kepedulian kampus yang peduli akan nasib mahasiswanya, agar setelah lulus tak mendapat gelar ”pengangguran terdidik dan intelektual”.
Kerja Mulai kecil
Potret tokoh-tokoh besar dunia adalah mereka yang berjuang sejak kecil. Dunia kerja telah diakrabinya sejak mereka berusia di bawah sepuluh tahun, sehingga saat mereka besar dan tumbuh dewasa, tinggal memanen hasil apa yang telah diperjuangkan dari kecil.
Anak-anak dengan kejernihan jiwanya, memiliki naluri pembelajar, keberanian mencoba, dan mengambil resiko yang bahkan ditakuti oleh orang dewasa sekalipun. Kurikulum pendidikan di sekolah pada akhirnya menjadi pemasungan sistemik dan menjauhkan mereka dari pemahaman kerja. Hal ini diperparah dengan paradigma di masyarakat bahwa dunia anak adalah dunia sekolah dan belajar, dan bekerja adalah dunia orang tua.
Kerja, mencari uang, seolah adalah hukum alam yang terkait dengan usia. Tanpa dibekali ”pengalaman” kerja pun, ketika sang anak sudah dewasa dan memiliki tanggung jawab ekonomis, secara naluriah anak itu akan bisa kerja dengan sendirinya.
Saya mendefinisikan sebagai pragmatisme kerja untuk menyebut pekerjaan yang hanya semata-mata bertumpu ada hasil akhir uang atau materi. Ketika kerja dianggap sebagai sebuah pragmatisme, pada saat itu juga telah menumpulkan ruang kreativitas yang semestinya menjadi ruh utama bagi tindakan kerja.
Ketidakreatifan dalam menyusun tindakan kerja ini sekarang memunculkan plagiarisasi, epigonisasi, dan membebek pada apa yang sudah dahulu sukses. Bahkan, yang lebih parah, bidang yang sebetulnya medan kreativitas, seperti seni, juga tak lepas dari budaya ekor mengekor ini.
Generasi muda adalah generasi yang kreatif, inovatif, penuh ide, visioner, dan menatap jauh ke depan. Sayangnya, sekolah memangkas potensi ini dengan menjadikan anak- didik sebagai ”keranjang sampah”.
Dalam dunia Islam, kita mengenal Nabi Muhammad SAW yang mengenal kerja sejak umur 8 tahun. Ia menjadi penggembala kambing, dan beberapa tahun kemudian menjadi entrepeneur dengan mengikuti pamannya berdagang ke Negeri Syam.
Thomas Alva Edison, di sela berjualan koran di kereta api, berhasil mengubah salah satu gerbong sebagai labotarorium. Kelak, kita mengenalnya sebagai penemu paling produktif sepanjang zaman, yang telah mematenkan lebih dari 1000 penemuannya.
Ini sangat berbeda dengan di Indonesia, anak tak dikenalkan dunia kerja sejak dini. Jika anak-anak yang dalam usia sekolah sudah bekerja, dianggap melanggar hak anak-anak untuk belajar dan bermain. Undang-undang perlindungan anak dengan jelas menyatakan hal ini, dan bisa dituduh mengeksploitasi anak di bawah umur.
Pemuda akan sangat rugi jika dunia kerja dak dikenal sejak kecil. Saat menjadi anak-anak adalah usia dengan potensi besar, otak masih segar, kreatif, dan mudah menangkap apa yang disampaikan kepadanya. Baik itu informasi maupun pengalaman-pengalaman hidupnya.
Dengan otak yang masih ”baru”, informasi dan pengalaman-pengalaman hidupnya akan menyulut api kreativitas pada diri mereka. Orang tua di sini laik berperan sebagai supervisor, pengawas, yang semakin memunculkan semangat kreativitas pada diri sang anak.
Pemuda Kreatif di tahun Ekonomi Kreatif
Menyaksikan pemuda bekerja, sebetulnya mudah dijumpai, terutama di lapisan masyarakat bawah. Mereka pada umumnya adalah anak-anak putus sekolah, bisa karena kurang mampu atau akibat kenakalan remaja yang membuat mereka dikeluarkan dari sekolah.
Namun, pekerjaan mereka sangat sedikit membutuhkan kreativitas. Pekerjaan mereka dalah pekerjan ”gaya” orang tua, pekerjan pragmatis: asal dapat uang. Mereka bekerja secara ”mekanis”, seperti robot, monoton. Mereka pun takut mencoba hal baru, karena kreativitas, semangat bekerja tak ditanamkan sejak kecil.
Tahun 2009 dicanangkan sebagai tahun ekonomi kreatif. Peran pemuda akan sangat menonjol jika berhasil dioptimalkan dengan baik. Generasi kreatif sangat klop dengan jargon ekonomi kreatif. Akan tetapi peluang ini nampaknya belum begitu digarap oleh pemuda. Hanya segelintir pemuda (mahasiswa) yang menggeluti bidang wirausaha, itu pun karena embel-embel penelitian kewirausahaan yang dikeluarkan oleh Dikti maupun Diknas, dengan cara mahasiswa mengajukan proposal penelitian, yang salah satunya adalah program kewirausahaan.
Barter Ekonomi-Budaya
Beberapa tahun belakangan, ancaman disintegrasi bangsa kembali muncul. Pasca lepasnya Timor-Timur menjadi negara mereka, beberapa daerah lain menuntut hal serupa. Tiba-tiba saja nasionalisme kembali digulirkan untuk menangkal perpecahan bangsa ini.
Namuan cukupkah kampanye nasionalisme tersebut membuat rakyat (khususnya pemuda) semakin cinta Indonesia dan menjadi nasionalis? Nasionalisme, sebagaimana didefinisikan oleh Benedict Anderson, adalah komunitas terbayang. Sebuah komunitas yang di dalamnya kesamaan agama, suku, budaya, geografi, menimbulkan ikatan persaudaraan yang kuat, meski sesama anggota komunitas itu tak saling mengenal.
Kalau dikejar lebih jauh, nasionalisme yang hanya bertumpu pada kesamaan suku, agama, budaya, geografi, adalah nasionalisme semu yang gagah di permukaan tapi rapuh di dalam. Tidak akan ada nasioalisme yang kuat jika komponen-komponen dalam sebuah komunitas tak saling mengenal.
Selama ini kampanye nasionalisme yang dilakukan masih sebatas permukaan saja. Pondasi nasionalisme belum tergali. Sebabnya, karena tak pahamnya bagaimana unsur-unsur yang ada dalam suku, budaya, agama, dan daerah dibentuk atau terbentuk. Nasionalisme hanya berhenti pada agama, suku, budaya, geografi dan lainnya. Bukan penggalian lebih dalam pada entitas-entitas tersebut.
Inilah yang membuat orang latah berteriak nasionalisme, tapi kering secara substansi. Salah satu unsur yang menjadi pondasi nasioalisme adalah potensi kebudayaan yang bisa bernilai ekonomis. Pemuda harus dikenalkan dengan kebudayaan bangsa, yang terdiri dari kebudayaan daerah, lantas mengolahnya sehingga bernilai ekonomis.
Setiap pemuda di daerahmasing-masing mengolah kebudayaan, memodifikasi budaya tersebut menjadi bernilai ekonomis. Kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau, bisa menjadikan pemuda sebagai produsen sekaligus konsumen bagi mereka sendiri. Sistem barter bisa dilakukan dengan masing-masing daerah menjadi ”importir-eksportir” hasil kebudayaan yang diekonomiskan.
Pemuda-pemuda yang kreatif, bisa menjadi tonggak bagi proses barter ekonomi-budaya ini. Organisasi Karang Taruna yang telah memiliki struktur kepengurusan dari Pusat hingga ke daerah, bisa menjadi alat efektif untuk melakukan barter ekonomi-budaya ini, tanpa menafikan organisasi kepemudaan lain yang telah memiliki kepengurusan dari pusat sampai daerah.
”Ekspor-impor” dalam konteks lokal ini bisa menjadi batu pijakan untuk meletakkan semangat kaum muda dalam berpikir jauh ke depan. Tak akan ada globalisasi secara mendunia jika dalam lingkup lokal belum ”mengglobal” terlebih dahulu.
Ada dua keuntungan yang didapat ketika para pemuda dengan kreativitasnya berhasil menjadikan Indonesia sebagai produsen sekaligus pasar. Selain ekonomi, nasionalisme juga bisa ditanamkan karena para pemuda akan mengenal kebudayaan dari daerah lain. Kebudayaan-kebudayaan yang beraneka macam ini yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme pada NKRI.
Hal ini pernah kami coba dalam pelaksanaan OSPEK di kampus. Para peserta kami wajibkan membawa kerajinan khas daerah atau makanan khas daerah beserta artikel mengenai produk khas daerah tersebut. Hasilnya sangat menggembirakan. Banyak potensi, baik kerajinan maupun makanan yang berbeda-beda. Itu baru sebagian besar daerah di Jawa Tengah. Bagaimana kalau Indonesia, tentu akan lebih beragam.
Potensi-potensi inilah yang luput dari perhatian kita. Jika diolah secara serius, ini akan menjadi lahan yang bernilai ekonomis. Hanya perlu satu tindakan: kreativitas. Asimilasi budaya, semisal memadukan satu kerajinan khas daerah yang satu dengan yang lain, atau makanan satu dengan yang lain, akan memunculkan produk baru yang khas.
Kultur geng-gengan (komunalisme) di kalangan pemuda menjadi potensi tersendiri jika dikaitkan dengan marketing (pemasaran). Selain untuk memadukan berbagai ide dalam beberapa kepala pemuda, kultur komunalisme bisa menjadi ”sales” atau Multi Level Marketing (MLM).
Ekonomi Kepemudaan
Terinspirasi jargon politik Megawati-Prabowo saat pemilu presiden 2009, Ekonomi Kerakyatan, tak salah kiranya kalau jargon Ekonomi Kepemudaan disematkan di tahun ekonomi kreatif ini. Sebab di tangan pemudalah, kreativitas itu tampak bagai ladang emas yang mahal.
Dalam konteks ekonomi kepemudaan ini, pemuda memiliki peran vital, sebagai peodusen, konsumen, dan distributor dari olah kreativitas mereka. Alangkah lebih indah, jika pemerintah turut mendukung, salah satunya dengan kurikulum pendidikan, dan peninjauan ulang tentang undang-undang ketatanegakerjaan. Maka beberapa tahun ke depan, akan muncul generasi entrepeneur yang memiliki pondasi nasionalisme yang kuat. Yang mendapat manfaat dari budaya yang ada di daerahnya, di negaranya.
Komentar