coretan tentang Moge
Borjuasi Transportasi Moge
Oleh Junaidi Abdul Munif
Memiliki kendaraan mewah atau moge (motor gede) adalah hak masyarakat yang mampu secara finansial. Regulasi pemerintah dalam bentuk ijin dan pajak barang mewah juga diatur sehingga memberi sumbangan devisa negara.
Namun, hal ini akan menjadi masalah jika dihadapkan dengan kondisi mayoritas masyarakat yang tak mampu memiliki moge. Sering kita dengar parade moge mendapat kritikan dari masyarakat pengguna jalan raya. Pengendara moge sering dianggap arogan dengan mamakai jalan raya seenaknya sendiri.
Bunyi sirene serupa ambulans atau polisi sering terdengar saat rombongan moge melintas. Masyarakat telanjur meyakini bahwa bunyi sirene adalah milik ambulans dan polisi yang tak bisa diganggu gugat dan diwajibkan mendahulukannya. Pengendara lain harus menyingkir ketika terdengar bunyi sirene.
Akan tetapi ketika yang lewat adalah rombongan moge, kecewalah masyarakat. Memang jalanan ini milik nenek moyangnya, begitu kira-kira keluhan masyarakat terhadap pengendara moge. Kekecawaan yang bertanda negatif dan menimbulkan ekses destruktif jika terus dibiarkan.
Moge adalah penanda status ekonomi seseorang. Tidak semua orang bisa dengan mudah memiliki kendaraan ini. Hanya beberapa kalangan high class (kelas tinggi) seperti pengusaha, selebriti dan politisi yang bisa membeli kendaraan ini.
Mereka juga membentuk komunitas sesama pemilik moge. Pada waktu tertentu mereka mengadakan touring (keliling) ke daerah. Penampilannya juga sangat atributif, dengan memakai aksesoris khas moge yang mahal dan “sangar”. Mirip Renegade, film era 1990-an yang dibintangi Lorenzo Lamas yang dikenal dengan motor jenis Harley Davidson-nya.
Dengan finansial yang berlimpah, komunitas moge ini bisa dengan mudah “menyewa” polisi untuk mengawal touring mereka. Inilah wujud borjuasi transportasi moge dan menciptakan jurang pemisah yang jauh antara pemilik moge dan tidak.
Sebetulnya komunitas ini juga berusaha mengikis kesenjangan masyarakat dengan mengadakan bakti sosial kepada mereka yang kurang beruntung. Di sela gagah-gagahan pamer moge, mereka tak lupa berbagi rejeki.
Apakah cukup yang mereka lakukan untuk mengikis persepsi masyarakat yang telanjur menganggap bahwa mereka adalah pengguna jalan yang arogan? Belum cukup. Sebagai perbandingan, komunitas motor lain, semisal vespa butut. Mereka ini juga aneh-aneh dengan motor “ekstrem” yang tak sesuai standar keamanan dan kenyamanan, juga dihiasi dengan atribut-atribut lusuh, kotor dan menjijikkan. Apakah karena mereka tak berlimpah finansial?
Kuncinya adalah tidak gampangnya polisi memberikan ijin kepada komunitas moge untuk “menyewa” mereka. Biarkan moge lewat seperti kendaraan lain yang tak perlu pengawalan khusus. Jalanan di Indonesia sudah cukup padat dan macet, jika masih ditambah dengan moge yang sering lalu lalang, sungguh kasihan masyarakat lainnya yang bahkan harus berebut jalan untuk lewat.
Kompas jawa tengah, 26 Juni 2009, halaman Akademia
Oleh Junaidi Abdul Munif
Memiliki kendaraan mewah atau moge (motor gede) adalah hak masyarakat yang mampu secara finansial. Regulasi pemerintah dalam bentuk ijin dan pajak barang mewah juga diatur sehingga memberi sumbangan devisa negara.
Namun, hal ini akan menjadi masalah jika dihadapkan dengan kondisi mayoritas masyarakat yang tak mampu memiliki moge. Sering kita dengar parade moge mendapat kritikan dari masyarakat pengguna jalan raya. Pengendara moge sering dianggap arogan dengan mamakai jalan raya seenaknya sendiri.
Bunyi sirene serupa ambulans atau polisi sering terdengar saat rombongan moge melintas. Masyarakat telanjur meyakini bahwa bunyi sirene adalah milik ambulans dan polisi yang tak bisa diganggu gugat dan diwajibkan mendahulukannya. Pengendara lain harus menyingkir ketika terdengar bunyi sirene.
Akan tetapi ketika yang lewat adalah rombongan moge, kecewalah masyarakat. Memang jalanan ini milik nenek moyangnya, begitu kira-kira keluhan masyarakat terhadap pengendara moge. Kekecawaan yang bertanda negatif dan menimbulkan ekses destruktif jika terus dibiarkan.
Moge adalah penanda status ekonomi seseorang. Tidak semua orang bisa dengan mudah memiliki kendaraan ini. Hanya beberapa kalangan high class (kelas tinggi) seperti pengusaha, selebriti dan politisi yang bisa membeli kendaraan ini.
Mereka juga membentuk komunitas sesama pemilik moge. Pada waktu tertentu mereka mengadakan touring (keliling) ke daerah. Penampilannya juga sangat atributif, dengan memakai aksesoris khas moge yang mahal dan “sangar”. Mirip Renegade, film era 1990-an yang dibintangi Lorenzo Lamas yang dikenal dengan motor jenis Harley Davidson-nya.
Dengan finansial yang berlimpah, komunitas moge ini bisa dengan mudah “menyewa” polisi untuk mengawal touring mereka. Inilah wujud borjuasi transportasi moge dan menciptakan jurang pemisah yang jauh antara pemilik moge dan tidak.
Sebetulnya komunitas ini juga berusaha mengikis kesenjangan masyarakat dengan mengadakan bakti sosial kepada mereka yang kurang beruntung. Di sela gagah-gagahan pamer moge, mereka tak lupa berbagi rejeki.
Apakah cukup yang mereka lakukan untuk mengikis persepsi masyarakat yang telanjur menganggap bahwa mereka adalah pengguna jalan yang arogan? Belum cukup. Sebagai perbandingan, komunitas motor lain, semisal vespa butut. Mereka ini juga aneh-aneh dengan motor “ekstrem” yang tak sesuai standar keamanan dan kenyamanan, juga dihiasi dengan atribut-atribut lusuh, kotor dan menjijikkan. Apakah karena mereka tak berlimpah finansial?
Kuncinya adalah tidak gampangnya polisi memberikan ijin kepada komunitas moge untuk “menyewa” mereka. Biarkan moge lewat seperti kendaraan lain yang tak perlu pengawalan khusus. Jalanan di Indonesia sudah cukup padat dan macet, jika masih ditambah dengan moge yang sering lalu lalang, sungguh kasihan masyarakat lainnya yang bahkan harus berebut jalan untuk lewat.
Kompas jawa tengah, 26 Juni 2009, halaman Akademia
Komentar