BUNUH DIRI DAN PATOLOGI SOSIAL
Kasus bunuh diri akhir-akhir ini marak terjadi. Dalam rentang waktu 30 November sampai 15 Desember setidaknya ada lima kasus dugaan bunuh diri. Modusnya sama, yaitu terjun dari gedung bertingkat, baik mal maupun apartemen. Sebelumnya, tower (menara pemancar) dan jembatan tinggi menjadi tempat untuk mengakhiri hidup pelaku bunuh diri.
Bunuh diri bisa disebut sebagai tindakan a solution permanent to a temporay problem (solusi kekal untuk masalah yang sementara). Untuk masalah-masalah yang sebetulnya ringan seperti putus cinta, gagal membayar hutang, dan masalah lainnya yang menurut calon pelaku bunuh diri adalah besar karena ia hanya bersikap emosional sesaat dalam menghadapi masalah tersebut.
Tindakan mengakhiri hidup telah mengalami pergeseran, yang sebelumnya orang bunuh diri merasa malu dan melakukannnya sembunyi-sembunyi, kini malah dilakukan di tempat umum (mal, apartemen, tower). Jika melihat gejala ini, pelaku bunuh diri sebenarnya ingin menunjukkan penderitaannya kepada khalayak, semacam protes kepada lingkungan, sosial-masyarakat yang tak memahami bahwa mereka sebetulnya mengalami masalah yang berat.
Bukan hanya masyarakat yang berada di sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang akan mengetahui tindakan ini secara langsung, namun juga masyarakat lain, yang tak melihat secara langsung peristiwa ini. Media massa, terutama televisi, menjadi “informan” yang cepat, berupa audio-visual untuk memberitakan perilaku bunuh diri. Pernah saya menonton berita di televisi swasta, detik-detik seseorang menjatuhkan diri dari sebuah tempat yang tinggi.
Telah terjadi imitasi perilaku bunuh diri (copycat suicide) di masyarakat (Nalini Muhdi, Bunuh Diri Itu Menular, Kompas, 19/12/09). Dia, sebagaimana mengutip Fu dan Yip (2007) ,menjelaskan bahwa media memiliki andil besar terhadap perilaku bunuh diri. Remaja dan dewasa muda menjadi pihak yang paling rentan berisiko untuk mengimitasi cara-cara bunuh diri yang diberitakan media.
Adagium bahwa bad news is good news (berita buruk adalah berita baik) seperti menemukan bentuknya dalam kasus pemberitaan bunuh diri. Karena sifatnya yang sensasional, dramatis, tak lazim, dan suspensif (daya kejut) membuat pelaku media berpikir bahwa berita seperti ini akan laku “dijual”. Reportase yang “berlebihan” terhadap kasus bunuh diri, diduga memicu proses imitasi ini.
Patologi Sosial
Perilaku bunuh diri, selain karena kesehatan mental yang labil dan faktor ekonomi, yang semua ini bisa muncul karena patologi sosial yang menjangkiti masyarakat. Masyarakat dewasa ini dituntut untuk bertindak cepat, kreatif, dan kompetitif. Persaingan untuk hidup lebih layak secara sosial-ekonomi membuat manusia seperti serigala bagi yang lain, homo homini lupus (Thomas Hobbes). Tindakan apa pun, bahkan kriminal dan melawan norma sosial dan hukum, rentan terjadi ketika rasa humanisme tersingkirkan demi mengikuti kompetisi hidup ini.
Dalam masyarakat yang sakit, di mana segala sesuatu bersifat cepat dan kompetitif akan memunculkan pameo hanya orang-orang yang kuat saja yang menang, dan menimbulkan keputusasaan bagi mereka yang kalah. Orang yang kuat secara ekonomi dan jaringan (rekanan) akan semakin mudah memenuhi strata sosial yang lebih tinggi. Sementara yang lemah secara ekonomi dan jaringan akan semakin terpuruk.
Patologi sosial memunculkan kesenjangan begitu kentara antara si miskin dan si kaya, antara orang–orang yang beruntung dan kurang beruntung. Kesenjangan ini memunculkan problem baru yakni putusnya komunikasi antar elemen masyarakat. Semua sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, demi menghadapi kompetisi hidup yang semakin sulit. Nihilnya komunikasi antar elemen masyarakat akan menggerus sikap empatif dan simpatif dari pihak yang kuat ke yang lemah. Yang ada hanya sikap kecurigaan antara di kaya dan si miskin.
Roni Nitibaskara, kriminolog, melakukan penelitian tentang motif bunuh diri. Hasilnya ia mendapat kesimpulan bahwa perilaku bunuh diri disebabkan oleh empat faktor. Pertama adalah kegagalan beradaptasi, kegagalan hubungan interpersonal dengan orang lain hingga merasa terisolasi, kemarahan akibat ketidakmampuan mengendalikan emosi, serta ungkapan ketidakberdayaan atas berbagai masalah yang ia hadapi (www.indosiar.com).
Pemerintah juga kurang peka terhadap faktor “struktural” yang menyebabkan masyarakat banyak yang bunuh diri. Orang pedesaan yang memiliki penyakit sulit disembuhkan, juga rentan untuk melakukan bunuh diri. Mereka berpikir, dari pada menanggung beban sakit yang tak kunjung sembuh dan merepotkan keluarga, sebaiknya mengakhiri hidup agar terbebas semua beban.
Di sini, akses kesehatan yang sulit didapat oleh mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah, memunculkan anggapan bahwa penyakit yang dideritanya tidak ada obatnya. Selayaknya pemerintah lewat puskesmas lebih rajin turun ke masyarakat dan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat serta berobat murah dengan prosedur yang tak berbelit-belit.
Keluarga dan Agama
Maraknya kasus bunuh diri ini terjadi terutama karena memudarnya simpul-simpul komunitas terkecil, yakni keluarga. Robert Fristone dalam bukunya Suicide in the Inner Voice menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarganya menolak dan tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Orang tua, karena ikut larut dalam kompetisi hidup di masyarakat, hanya memiliki sedikit waktu untuk anak-anaknya. Antar elemen keluarga seperti tidak ada waktu untuk saling membicarakan masalah-masalah yang dihadapinya. Sekadar berkumpul atau bercengkerama mengenai obrolan-obrolan yang ringan pun mulai jarang.
Kebanyakan renggangnya komunikasi dalam keluarga karena tidak adanya kesalingterbukaan antar anggota keluarga. Terlebih seorang anak yang menginjak usia remaja, cenderung bersikap apatis dan menjauhi komunikasi sedekat mungkin dengan orang tua. Mereka takut jika membicarakan masalahnya, semisal pacar atau teman yang nakal, akan dianggap belum saatnya pacaran dan jangan bergaul dengan anak nakal. Akibatnya anak menjadi enggan curhat kepada orang tua.
Keluarga dan agama menjadi oase di tengah kegersangan dan ketatnya persaingan hidup karena patologi sosial. Lewat keluarga, segala masalah yang berkaitan dengan lingkungan sosial (teman, tempat kerja, pacar, sekolah) bisa dituangkan dalam suasana hangat dan solutif. Keterbukaan antar anggota keluarga menjadi penting, agar semua saling mengetahui masalah masing-masing dan bersama-sama mencari solusi.
Agama mengajarkan ada kekuatan yang maha tinggi di atas segala-segalanya. Kedekatan pada Tuhan akan membuat manusia senantiasa tunduk dan pasrah serta memiliki sandaran ketika menghadapi masalah yang berat. Tuhan tidak akan membebani (suatu masalah) kepada hambaNya di luar kemampuannya. Selalu ada jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Bunuh diri bisa disebut sebagai tindakan a solution permanent to a temporay problem (solusi kekal untuk masalah yang sementara). Untuk masalah-masalah yang sebetulnya ringan seperti putus cinta, gagal membayar hutang, dan masalah lainnya yang menurut calon pelaku bunuh diri adalah besar karena ia hanya bersikap emosional sesaat dalam menghadapi masalah tersebut.
Tindakan mengakhiri hidup telah mengalami pergeseran, yang sebelumnya orang bunuh diri merasa malu dan melakukannnya sembunyi-sembunyi, kini malah dilakukan di tempat umum (mal, apartemen, tower). Jika melihat gejala ini, pelaku bunuh diri sebenarnya ingin menunjukkan penderitaannya kepada khalayak, semacam protes kepada lingkungan, sosial-masyarakat yang tak memahami bahwa mereka sebetulnya mengalami masalah yang berat.
Bukan hanya masyarakat yang berada di sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang akan mengetahui tindakan ini secara langsung, namun juga masyarakat lain, yang tak melihat secara langsung peristiwa ini. Media massa, terutama televisi, menjadi “informan” yang cepat, berupa audio-visual untuk memberitakan perilaku bunuh diri. Pernah saya menonton berita di televisi swasta, detik-detik seseorang menjatuhkan diri dari sebuah tempat yang tinggi.
Telah terjadi imitasi perilaku bunuh diri (copycat suicide) di masyarakat (Nalini Muhdi, Bunuh Diri Itu Menular, Kompas, 19/12/09). Dia, sebagaimana mengutip Fu dan Yip (2007) ,menjelaskan bahwa media memiliki andil besar terhadap perilaku bunuh diri. Remaja dan dewasa muda menjadi pihak yang paling rentan berisiko untuk mengimitasi cara-cara bunuh diri yang diberitakan media.
Adagium bahwa bad news is good news (berita buruk adalah berita baik) seperti menemukan bentuknya dalam kasus pemberitaan bunuh diri. Karena sifatnya yang sensasional, dramatis, tak lazim, dan suspensif (daya kejut) membuat pelaku media berpikir bahwa berita seperti ini akan laku “dijual”. Reportase yang “berlebihan” terhadap kasus bunuh diri, diduga memicu proses imitasi ini.
Patologi Sosial
Perilaku bunuh diri, selain karena kesehatan mental yang labil dan faktor ekonomi, yang semua ini bisa muncul karena patologi sosial yang menjangkiti masyarakat. Masyarakat dewasa ini dituntut untuk bertindak cepat, kreatif, dan kompetitif. Persaingan untuk hidup lebih layak secara sosial-ekonomi membuat manusia seperti serigala bagi yang lain, homo homini lupus (Thomas Hobbes). Tindakan apa pun, bahkan kriminal dan melawan norma sosial dan hukum, rentan terjadi ketika rasa humanisme tersingkirkan demi mengikuti kompetisi hidup ini.
Dalam masyarakat yang sakit, di mana segala sesuatu bersifat cepat dan kompetitif akan memunculkan pameo hanya orang-orang yang kuat saja yang menang, dan menimbulkan keputusasaan bagi mereka yang kalah. Orang yang kuat secara ekonomi dan jaringan (rekanan) akan semakin mudah memenuhi strata sosial yang lebih tinggi. Sementara yang lemah secara ekonomi dan jaringan akan semakin terpuruk.
Patologi sosial memunculkan kesenjangan begitu kentara antara si miskin dan si kaya, antara orang–orang yang beruntung dan kurang beruntung. Kesenjangan ini memunculkan problem baru yakni putusnya komunikasi antar elemen masyarakat. Semua sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, demi menghadapi kompetisi hidup yang semakin sulit. Nihilnya komunikasi antar elemen masyarakat akan menggerus sikap empatif dan simpatif dari pihak yang kuat ke yang lemah. Yang ada hanya sikap kecurigaan antara di kaya dan si miskin.
Roni Nitibaskara, kriminolog, melakukan penelitian tentang motif bunuh diri. Hasilnya ia mendapat kesimpulan bahwa perilaku bunuh diri disebabkan oleh empat faktor. Pertama adalah kegagalan beradaptasi, kegagalan hubungan interpersonal dengan orang lain hingga merasa terisolasi, kemarahan akibat ketidakmampuan mengendalikan emosi, serta ungkapan ketidakberdayaan atas berbagai masalah yang ia hadapi (www.indosiar.com).
Pemerintah juga kurang peka terhadap faktor “struktural” yang menyebabkan masyarakat banyak yang bunuh diri. Orang pedesaan yang memiliki penyakit sulit disembuhkan, juga rentan untuk melakukan bunuh diri. Mereka berpikir, dari pada menanggung beban sakit yang tak kunjung sembuh dan merepotkan keluarga, sebaiknya mengakhiri hidup agar terbebas semua beban.
Di sini, akses kesehatan yang sulit didapat oleh mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah, memunculkan anggapan bahwa penyakit yang dideritanya tidak ada obatnya. Selayaknya pemerintah lewat puskesmas lebih rajin turun ke masyarakat dan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat serta berobat murah dengan prosedur yang tak berbelit-belit.
Keluarga dan Agama
Maraknya kasus bunuh diri ini terjadi terutama karena memudarnya simpul-simpul komunitas terkecil, yakni keluarga. Robert Fristone dalam bukunya Suicide in the Inner Voice menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarganya menolak dan tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Orang tua, karena ikut larut dalam kompetisi hidup di masyarakat, hanya memiliki sedikit waktu untuk anak-anaknya. Antar elemen keluarga seperti tidak ada waktu untuk saling membicarakan masalah-masalah yang dihadapinya. Sekadar berkumpul atau bercengkerama mengenai obrolan-obrolan yang ringan pun mulai jarang.
Kebanyakan renggangnya komunikasi dalam keluarga karena tidak adanya kesalingterbukaan antar anggota keluarga. Terlebih seorang anak yang menginjak usia remaja, cenderung bersikap apatis dan menjauhi komunikasi sedekat mungkin dengan orang tua. Mereka takut jika membicarakan masalahnya, semisal pacar atau teman yang nakal, akan dianggap belum saatnya pacaran dan jangan bergaul dengan anak nakal. Akibatnya anak menjadi enggan curhat kepada orang tua.
Keluarga dan agama menjadi oase di tengah kegersangan dan ketatnya persaingan hidup karena patologi sosial. Lewat keluarga, segala masalah yang berkaitan dengan lingkungan sosial (teman, tempat kerja, pacar, sekolah) bisa dituangkan dalam suasana hangat dan solutif. Keterbukaan antar anggota keluarga menjadi penting, agar semua saling mengetahui masalah masing-masing dan bersama-sama mencari solusi.
Agama mengajarkan ada kekuatan yang maha tinggi di atas segala-segalanya. Kedekatan pada Tuhan akan membuat manusia senantiasa tunduk dan pasrah serta memiliki sandaran ketika menghadapi masalah yang berat. Tuhan tidak akan membebani (suatu masalah) kepada hambaNya di luar kemampuannya. Selalu ada jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Komentar