CORAT CORET
Teologi Pembebasan Kurban
Oleh Junaidi Abdul Munif
Hari raya Idul Adha menjadi hari raya umat Islam yang dirayakan dengan tidak terlalu gegap gempita. Berbeda dengan Idul Fitri yang selalu berjalin kelindan dengan persoalan yang profan, seperti mudik dan melonjaknya budaya konsumerisme. Idul Adha menjadi hari raya yang ”sepi” namun riuh dengan pesan-pesan teologis-humanis.
Sejarah menyembelih hewan kurban berawal dari mimpi Nabi Ibrahim yang disuruh Allah SWT untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail, sebagai wujud kepasrahan akan seorang hamba yang menempatkan Allah di atas segala-galanya. Allah ”seperti sengaja” membenturkan kecintaan transendental dengan kecintaan terhadap anak yang telah lama dinantikan kelahirannya oleh Ibrahim. Ibrahim sempat ragu dengan mimpinya tersebut. Namun ketika mimpi yang sama diulang sampai tiga kali, Ibrahim yakin kalau mimpi tersebut adalah benar-benar perintah Allah.
Kerelaan Ibrahim mengurbankan anak tercinta untuk Allah akhirnya diganti dengan menyembelih hewan (kambing). Peristiwa ini menjadi landasan teologis dan syariat Islam, yaitu perintah bagi umat Islam yang mampu secara finansial untuk mengurbankan hewan (kambing, sapi, kerbau, unta) dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin dan kaum dhuafa’ (QS: Al Kautsar: 1-3).
Kini seiring dengan banyaknya umat Islam yang mampu secara finansial, penyembelihan hewan kurban mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Tapi pada sisi lain, kemiskinan masih menjadi problematika utama umat Islam tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Meningkatnya jumlah hewan kurban tidak signifikan mengurangi angka kemiskinan. Mengapa?
Spirit Kurban
Perintah berkurban ini memiliki tujuan simbolis: sejauh mana seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah SWT. Secara substansi-individual, seorang hamba harus senantiasa berkurban, dari kata taqarrub yang artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai konsekuensi dari relasi teologis hamba-Khalik (hablun min Allah). Kedekatan dengan Sang Khalik akan menempatkan seorang hamba pada maqam (tempat) yang mulia. Inilah puncak situasi spiritual-transendental yang menjadi dambaan setiap muslim.
Selain sebagai wujud kecintaan terhadap Allah, pesan simbolik kenapa menyembelih hewan kurban adalah untuk melambangkan manusia harus menyembelih (memotong) sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Sifat-sifat kebinatangan inilah yang akan membuat manusia jauh dari nilai-nilai ketuhanan, malah membuat manusia jatuh terperosok melebihi binatang (QS. At Tin: 4-5).
Pemotongan hewan juga mengandung dimensi humanistik (kemanusiaan), di mana dagingnya harus dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin. Artinya pesan teologis kurban tidak semata-mata demi relasi hamba-Khalik, tapi juga relasi humanistik (hablun min al Naas): hamba dengan hamba. Ini sesuai dengan prinsip dalam Islam yang menyebutkan dalam harta yang kamu punya ada harta orang lain (fakir miskin).
Pembebasan Kemiskinan
Bisakah daging kurban digunakan sebagai media untuk membebaskan kemiskinan yang mendera mayoritas umat Islam di Indonesia? Jika Idul Adha tetap menjadi seremonial yang selama ini tampak, yakni memotong hewan dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin tanpa adanya spirit humanistik jangka panjang, akan terjadi stagnasi dari pemaknaan kurban. Spirit humanistik jangka panjang itu adalah pengentasan kemiskinan. Pembagian daging kurban hanya menyentuh spirit humanis yang sesaat.
Pada dasarnya semua mementum teologis (perintah Allah yang termaktub dalam riutal keagamaan) mengandung nilai filosofis dan simbol yang memuat pesan transendental dan mu’amalah (hubungan kemanusiaan). Hal-hal yang bersifat ’ubudiyyah (ritual/ibadah) menjadi pondasi awal untuk membangun spiritualitas yang lebih tinggi dan hakiki. Jika kurban adalah momentum teologis (ritual) yang terikat waktu karena hanya jatuh ada 10 Zulhijjah, namun pesan yang ingin disampaikan adalah tidak mengenal ruang dan waktu.
Sama seperti tradisi saling bermaafan yang secara substansial tidak hanya dilakukan saat hari raya Idul Fitri saja. Setelah bersalah umat Islam segera meminta maaf. Begitu juga semangat berkurban yang dimaknai sebagai proses mendekatkan diri kepada Allah SAWT, tidak mesti hanya pada tanggal 10 Zulhijjah saja.
Karena spirit kurban yang memang untuk membantu fakir miskin, tidak hanya pada tanggal 10 Zulhijjah saja. Semangat memberantas kemiskinan yang menjadi substansi kurban harus terus menggelora dalam paradigma teologis umat Islam sepanjang waktu. Karena kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran. Hadits Nabi juga menyebutkan bahwa Beliau lebih menyukai umat Islam yang kaya dan kuat dari pada yang miskin dan lemah.
Baik pemerintah, lembaga agama, organisasi keagamaan yang bernafaskan Islam harus senantiasa menjadikan kurban (taqarrub) sebagai arah gerakan-teologis untuk berusaha mengentaskan kemiskinan. Karena itu sejalan dengan prinsip dasar dari berkurban. Kurban kolektif harus menjadi agenda besar pemerintah dan organisasi Islam dalam memberantas kemiskinan. Kurban dimaknai dan diaplikasikan sebagai teologi pembebasan kemiskinan.
Perhatian pemerintah terhadap masalah kemiskinan dengan membuat undang-undang yang berpihak kepada fakir miskin adalah kurban sesungguhnya yang mengandung manfaat jangka panjang. Tidak hanya menyentuh level permukaan saja, yang cuma memberikan daging kurban untuk satu-dua hari saja. Karena seperti itu tak pernah benar-benar memotong sifat kebinatangan kita.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Hari raya Idul Adha menjadi hari raya umat Islam yang dirayakan dengan tidak terlalu gegap gempita. Berbeda dengan Idul Fitri yang selalu berjalin kelindan dengan persoalan yang profan, seperti mudik dan melonjaknya budaya konsumerisme. Idul Adha menjadi hari raya yang ”sepi” namun riuh dengan pesan-pesan teologis-humanis.
Sejarah menyembelih hewan kurban berawal dari mimpi Nabi Ibrahim yang disuruh Allah SWT untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail, sebagai wujud kepasrahan akan seorang hamba yang menempatkan Allah di atas segala-galanya. Allah ”seperti sengaja” membenturkan kecintaan transendental dengan kecintaan terhadap anak yang telah lama dinantikan kelahirannya oleh Ibrahim. Ibrahim sempat ragu dengan mimpinya tersebut. Namun ketika mimpi yang sama diulang sampai tiga kali, Ibrahim yakin kalau mimpi tersebut adalah benar-benar perintah Allah.
Kerelaan Ibrahim mengurbankan anak tercinta untuk Allah akhirnya diganti dengan menyembelih hewan (kambing). Peristiwa ini menjadi landasan teologis dan syariat Islam, yaitu perintah bagi umat Islam yang mampu secara finansial untuk mengurbankan hewan (kambing, sapi, kerbau, unta) dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin dan kaum dhuafa’ (QS: Al Kautsar: 1-3).
Kini seiring dengan banyaknya umat Islam yang mampu secara finansial, penyembelihan hewan kurban mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Tapi pada sisi lain, kemiskinan masih menjadi problematika utama umat Islam tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Meningkatnya jumlah hewan kurban tidak signifikan mengurangi angka kemiskinan. Mengapa?
Spirit Kurban
Perintah berkurban ini memiliki tujuan simbolis: sejauh mana seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah SWT. Secara substansi-individual, seorang hamba harus senantiasa berkurban, dari kata taqarrub yang artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai konsekuensi dari relasi teologis hamba-Khalik (hablun min Allah). Kedekatan dengan Sang Khalik akan menempatkan seorang hamba pada maqam (tempat) yang mulia. Inilah puncak situasi spiritual-transendental yang menjadi dambaan setiap muslim.
Selain sebagai wujud kecintaan terhadap Allah, pesan simbolik kenapa menyembelih hewan kurban adalah untuk melambangkan manusia harus menyembelih (memotong) sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Sifat-sifat kebinatangan inilah yang akan membuat manusia jauh dari nilai-nilai ketuhanan, malah membuat manusia jatuh terperosok melebihi binatang (QS. At Tin: 4-5).
Pemotongan hewan juga mengandung dimensi humanistik (kemanusiaan), di mana dagingnya harus dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin. Artinya pesan teologis kurban tidak semata-mata demi relasi hamba-Khalik, tapi juga relasi humanistik (hablun min al Naas): hamba dengan hamba. Ini sesuai dengan prinsip dalam Islam yang menyebutkan dalam harta yang kamu punya ada harta orang lain (fakir miskin).
Pembebasan Kemiskinan
Bisakah daging kurban digunakan sebagai media untuk membebaskan kemiskinan yang mendera mayoritas umat Islam di Indonesia? Jika Idul Adha tetap menjadi seremonial yang selama ini tampak, yakni memotong hewan dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin tanpa adanya spirit humanistik jangka panjang, akan terjadi stagnasi dari pemaknaan kurban. Spirit humanistik jangka panjang itu adalah pengentasan kemiskinan. Pembagian daging kurban hanya menyentuh spirit humanis yang sesaat.
Pada dasarnya semua mementum teologis (perintah Allah yang termaktub dalam riutal keagamaan) mengandung nilai filosofis dan simbol yang memuat pesan transendental dan mu’amalah (hubungan kemanusiaan). Hal-hal yang bersifat ’ubudiyyah (ritual/ibadah) menjadi pondasi awal untuk membangun spiritualitas yang lebih tinggi dan hakiki. Jika kurban adalah momentum teologis (ritual) yang terikat waktu karena hanya jatuh ada 10 Zulhijjah, namun pesan yang ingin disampaikan adalah tidak mengenal ruang dan waktu.
Sama seperti tradisi saling bermaafan yang secara substansial tidak hanya dilakukan saat hari raya Idul Fitri saja. Setelah bersalah umat Islam segera meminta maaf. Begitu juga semangat berkurban yang dimaknai sebagai proses mendekatkan diri kepada Allah SAWT, tidak mesti hanya pada tanggal 10 Zulhijjah saja.
Karena spirit kurban yang memang untuk membantu fakir miskin, tidak hanya pada tanggal 10 Zulhijjah saja. Semangat memberantas kemiskinan yang menjadi substansi kurban harus terus menggelora dalam paradigma teologis umat Islam sepanjang waktu. Karena kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran. Hadits Nabi juga menyebutkan bahwa Beliau lebih menyukai umat Islam yang kaya dan kuat dari pada yang miskin dan lemah.
Baik pemerintah, lembaga agama, organisasi keagamaan yang bernafaskan Islam harus senantiasa menjadikan kurban (taqarrub) sebagai arah gerakan-teologis untuk berusaha mengentaskan kemiskinan. Karena itu sejalan dengan prinsip dasar dari berkurban. Kurban kolektif harus menjadi agenda besar pemerintah dan organisasi Islam dalam memberantas kemiskinan. Kurban dimaknai dan diaplikasikan sebagai teologi pembebasan kemiskinan.
Perhatian pemerintah terhadap masalah kemiskinan dengan membuat undang-undang yang berpihak kepada fakir miskin adalah kurban sesungguhnya yang mengandung manfaat jangka panjang. Tidak hanya menyentuh level permukaan saja, yang cuma memberikan daging kurban untuk satu-dua hari saja. Karena seperti itu tak pernah benar-benar memotong sifat kebinatangan kita.
Komentar