coretan untuk sahabat (YAB)

Na(r)sionalisme
Oleh Junaidi Abdul Munif

Perasaan mencintai diri sendiri (narsisisme) dan mencintai daerah, tanah kelahiran, negara (nasionalisme) hampir selalu melekat pada diri setiap orang, meski kadarnya berbeda-beda. Sekecil apa pun, narsisisme dan nasionalisme itu tumbuh di setiap diri. Ketika bercermin, diam-diam, kita mengagumi diri sendiri. Memuji kita sangat cakep. Saat berbicara, kita mencoba menyembunyikan narsisisme dengan bahasa yang santun, agar lawan bicara tak mencemooh kita.

Saya mempunyai seorang sahabat. Yang boleh dikatakan narsis sekaligus nasionalis. Saya menyingkatnya menjadi narsionalisme. Narsisisme saya lihat bagaimana dia selalu ”menyombongkan diri”, dan tak rela kalau dia dibilang bodoh, jelek, atau kalah. Saya begitu menyukainya ketika dia bilang: ah, mereka jelek karena tidak ada saya.

Dia juga merasa bahwa dialah yang terbaik. Pernah suatu kali, dia mengikuti sebuah lomba. Sebelum lomba, ia sms saya: seberapa yakin kau akan menang? Saya dengan merasa tak yakin menjawab: 50-50. Dia terus mengejar saya dengan beberapa pertanyaan yang menyulitkan saya untuk menjawab mengapa saya tak yakin pada diri sendiri.

Ketika saya balik tanya, berapa yakin dia akan menang? Jawabnya: saya menyediakan 0,01 persen untuk kalah. Saya terhenyak, betapa yakin sahabat saya ini. Dengan jumlah peserta yang ribuan itu, saya saja keder untuk sedikit membayangkan bahwa saya bisa menjadi juara.

Sebelum pengumuman, ia mengirim sms pada teman-temannya, mengabarkan bahwa ia adalah sang juara. Saya bahkan merasa kalah ketika mendapat smsnya. Meski akhirnya saya ”jengkel”, dia hanya ngibul. Alasannya: simulasi menjadi juara!

Meski pada akhirnya ia tak jadi juara, ia tetap merasa juara. Tak ada gurat kecewa. Selalu ada apologi untuk tetap menyebut diri sebagai juara. ”Saya juara, minimal saya telah mengalahkan mentalmu. Aku ikut lomba, kamu tidak,” katanya pada saya dan teman-teman yang tak mengikuti lomba itu. Dia mengatakan: Tuhan menunda mimpiku.


***


Nasioalisme daerah sahabat ini saya lihat bagaimana ia sangat mencintai tim sepakbola dari kotanya. Setiap tim sepakbola itu main, ia selalu menonton. Saya mendengar ceritanya, bagaimana ketika ia pulang dari Yogyakarta, ia memilih mampir di sebuah warung di pinggir jalan untuk menonton tim kesayangannya bertanding. Padahal teman-temannya mengajak ia pulang.

Ketika dia membaca koran, yang dibacanya adalah berita tentang tim sepakbola kesayangnnya itu. Saya lihat dia main PS, memainkan tim kotanya dengan tim lain, dari Liga Inggris! Tim-tim elit dunia dia ibaratkan sebagai musuh-musuh tim kotanya yang harus dibantai dengan gol sebanyak-banyaknya.

Saya kagum, bagaimana dia mengekspresikan diri ketika tim kotanya itu bermain. Ia sangat heboh, berteriak-teriak, mengepalkan tangan, berdiri, meloncat, menggoyang-goyangkan pundak teman di sampingnya, bahkan berlari berputar-putar layaknya seorang pencetak gol. Dia sempat dianggap sebagai orang aneh, karena dia menonton pertandingan itu melalui televisi. Ketika tim kesayangannya kebobolan, atau kalah, ia akan sedih, sambil berdoa, dan memberi semangat kepada pemain-pemain di televisi itu.

Saya kagum bagaimana dia mencintai dirinya, daerahnya, kampusnya, tim sepakbola dari kotanya. Di laptop, dia telah mencetak namanya di kaos tim sepakbola dari kotanya itu, dengan diembel-embeli Indonesia.

Saya iri, betapa dia yakin pada dirinya, kemampuannya, pada tim sepakbola kotanya. Saya iri, karena dia begitu alami menunjukkan kecintaannya itu dengan sangat vulgar. Sementara saya, masih sering merasa minder pada diri dan kemampuan saya. Saya juga tak tahu menahu tentang tim sepakbola dari kota saya. Dia adalah juara sesungguhnya, yang mampu mengalahkan rasa takut dan minder dalam dirinya sendiri.

keep on your spirit and narcisism and nationalism

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil