coretan sederhana tentang seleksi menteri SBY

Panggung Broadway di Cikeas
Oleh Junaidi Abdul Munif


Menyaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyeleksi menteri-menteri yang akan duduk di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua (KIB II) terasa mendebarkan. Bukan hanya oleh orang-orang yang menunggu panggilan dari SBY. Masyarakat juga menunggu dengan cemas siapa yang bakal duduk di kabinet dan membawa perubahan.

Seleksi calon menteri, beberapa televisi menyebutnya audisi menteri, menjadi panggung tersendiri. SBY dengan gayanya yang santai, terkesan cool, sengaja memancing rasa penasaran pemirsa. SBY tahu, ia sedang menjadi aktor utama dalam pemilihan kabinet ini.

Eep Saifulloh Fatah dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta menyebut ada teatrekalisasi dalam proses seleksi menteri. Maka, mikropon yang disediakan di halaman rumah SBY, setelah para calon menteri ini diaudisi, layaknya panggung broadway, karpet merah. Ada wajah-wajah sumringah di sana. Dan komentar-komentar yang diucapkan dengan bahasa tak langsung. Mereka takut untuk berkomentar mendahului sang penentu jalannya cerita. Kehadiran Andi Malarangeng, sang juru bicara kepresidenan, menambah sakral panggung brodway ini.

Media, tertutama televisi, akhir-akhir ini sering sekali tiba-tiba saja menayangkan secara langsung momen-momen tertentu. Biasa disebut dengan breaking news. Sebelumnya, breaking news muncul saat ada peristiwa penting berupa kecelakaan, penangkapan teroris, dan sidang umum DPR.

Hal inilah yang membuat rasa penasaran masyarakat untuk tetap setia mengikuti breaking news tersebut dari awal sampai akhir. Semacam menikmati panggung teater, yang harus mengikuti adegan demi adegan, lalu merangkainya sebagai sebuah kisah.


Teatrikalisasi Politik


Pada titik semacam inilah, para politikus yang sadar panggung, layaknya sebuah aktor-aktor yang berakting dan menyusun ketegangan-ketegangan, suspence (kejutan) demi mendapatkan soroton kamera yang lebih dibanding aktor lainnya.

Bagaimana SBY menjawab pertanyanaan wartawan terkait kemungkinan dirangkulnya PDIP sebagai mitra koalisi, dengan tanda memasukkannya kader PDIP sebagai menteri.
Dengan senyum, gestur tubuh, mimik wajah yang teduh, SBY menjawab pertanyaan itu terserah pada pihak PDIP, apakah mau dirangkul. PDIP pun tak kalah mengadirkan akting yang heorik, menolak tawaran SBY dan memilih menjadi oposisi, meski Taufik Kiemas menolak istilah oposis, hanya sebagai chek and balances.

PDIP sadar, jawaban SBY yang menyerahkan keputusan kepada petinggi PDIP adalah semacam siasat untuk memunculkan ewuh pekewuh. Media sudah telanjur mencitrakan posisi SBY dengan Demokrat-nya serta Megawati dengan PDIP-nya adalah minyak dengan air. Tak mungkin bisa bercampur. Jika bercampur, akan memengaruhi pangung teater politik. Tidak ada lagi protagonis dan antagonis. Jika begini, tontonan tak lagi seru dan menarik.

Bahasa, gerak, warna baju, tempat, dalam kajian semiotika adalah tanda-tanda yang mengarah pada makna tertentu. Pada akhirnya semuanya itu membentuk sebuah citra yang melekat pada sang aktor (politisi). Sebagaimana dikatakan Roland Barthes dalam Mythologi, semiotika adalah mitos yang mampu mengukuhkan eksistensi seseorang. Umberto Eco bahkan dengan sinis menyebut bahwa semiotika sebagai ilmu untuk mendustai, menutupi bopeng diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil