coretan tentang kota atlas

Paradoks Kota Atlas
Oleh Junaidi Abdul Munif

Menyaksikan Semarang hari ini adalah seperti menyaksikan sebuah karnaval kapitalisme. Hampir tiap sudut kota, dijejali dengan mal, tempat makan, pusat perbelanjaan yang berbau asing.

Ruang publik yang semula bersifat sosial-interaktif, kini bergeser ke sifat ekonomis-transaktif. Mal memang sangat ramai, tapi masing-masing diri (pengunjung) seperti mengalienasi diri dari lingkungan sosialnya. Interaksi terjadi hanya ketika terjadi transaksi suatu barang.

Semarang tampaknya ingin menjadi kota metropolis yang maju dan sejajar dengan kota metropolitan lainnya. Proyek prestisius SPA (Semarang Pesona Asia) menjadi penanda jelas bagaimana kota Atlas ini hendak menjadi kota wisata berlevel Asia.

Fasilitas-fasilitas wah terus dibangun. Atas nama keindahan tata ruang kota, pedagang kaki lima digusur secara paksa. Hal ini secara langsung menggerus potensi lokal yang dibangun masyarakat untuk meningkatkan ekonomi.

Dari teropong sejarah, kita sedang mengalami penjajahan secara ekonomi. Melanjutkan kolonialisme menjadi neo-kolonialsme. Dalam kolonialisme aktor penjajah adalah nation state (negara bangsa). Sedangkan dalam neo-kolonialisme aktor bermetamorfosa menjadi Multi National Corporation (MNC), perusahaan multi nasional lintas negara yang mendapat lisensi untuk ”berinvestasi” ke negeri ”jajahan”.

Penguasa (negara, pemprov dan pemkab) lewat undang-undang dan regulasi menjadi pintu masuk investor asing untuk menancapkan cengkeraman kapitalisme. Dengan sokongan dana yang hampir tak terbatas, mereka gencar berpromosi lewat media elektronik, media massa dan reklame yang menyesaki jalan-jalan protokol. Masyarakat seperti kehilangan ruang nalar yang otonom, terlepas dari iklan yang menyesatkan dan memicu jiwa konsumerisme.

Otonomi dan kedaulatan diri masyarakat semakin menipis karena intensitas iklan yang begitu tinggi. Hannah Arendt (1976) mendefinisikan kedaulatan (souverignty) adalah bentuk kekuasaan yang bebas dari tekanan atau dominasi dari kekuasaan asing. Daniel Bell menyebut masyarakat post-industrial. Sistem produksi berselingkuh mesra dengan iklan yang dalam definisi Baudrillard (1983) adalah iklim pasar yang didasarkan imaji citra.


Hegemoni Budaya


Lewat mal, iklan, citra, dan dikotomi tradisional-modernitas menjadi penanda yang sahih untuk menjelaskan jurang perbedaan ini. Daya beli masyarakat terus diletupkan karena mal adalah tempat belanja yang bergengsi dan yang belanja ke sana penanda identitas kaum berduit.

Dunia telanjur disederhanakan dalam dua kotak, modern yang maju menjadi kiblat dunia. Dan tradisional distigmakan sebagai pihak yang konservatif nan tertinggal. Hal inilah yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai hegemoni budaya. Barat, dengan seperangkat nilainya adalah agen tunggal dan bangsa paling sah untuk tampil di depan.

Agus Maftuh Abegebriel dalam pengantar buku Gus Dur, Islam Kosmopolitan, (2007: vii) dengan cerdik menunjukkan bahwa kata modern dan ortodoks (tradisional) memiliki akar filologi dari bahasa Arab. Modern berasal dari mudlirrin yang artinya berdampak negatif dan membahayakan. Sedangkan kata ortodoks berasal dari kata irtadloka (Allah meridhoi anda).

Sayangnya, politik bahasa sudah dari dulu (sejak masa kolonialisme Belanda) diciptakan untuk sengaja menempatkan masyarakat pribumi (Indonesia) sebagai bangsa inlander, kelas dua. Proses penggembosan secara sistemik yang menciptakan inferioritas bangsa Indonesia.


Belajar dari Jepang


Terlepas dari Jepang yang kini juga bertindak sebagai imperialis ekonomi, Jepang adalah contoh sebuah negara yang kukuh menjaga tradisi tapi tak lantas tertinggal dalam era teknologi yang menjadi penanda produk barat. Runtuhnya era Tokugawa dan restorasi Meiji menjadi peralihan bagi masyarakat Jepang untuk berdiaspora.

Ben Anderson dalam bukunya Imagined Communities (hal:146) menjelaskan dengan baik bagaimana isolasi diri Jepang selama dua setengah abad memberikan pertahanan budaya yang kuat, hingga muncul nasionalisme Jepang yang unik.

Saat mereka membuka isolasi diri, Jepang mengirim warganya untuk ”mencuri” ilmu dari negara-negara maju dan dikembangkan di negerinya. Jepang bukanlah bangsa penemu, tapi bangsa modifikator yang menghasilkan barang yang lebih canggih dari barang yang ditemukan oleh negara lain.

Mentalitas nasionalisme bangsa Jepang ditunjukkan dengan kesetiaan untuk menyimpan uang di dalam negeri. Ketika bank di Zurich, Swis dianggap sebagai tempat paling aman dan terpercaya untuk menyimpan kekayaan, kekaisaran Jepang tetap tak mau mengangkut surplus kekayaan mereka ke luar negeri. Ideologisasi tersebut bertahan hingga sekarang.

Jika potensi-potensi lokal Semarang, seperti pasar, pedagang kaki lima, angkringan, warung pinggir jalan digusur, sementara agen-agen kapitalis tetap berdiri megah, Semarang tetap menjadi sebuah kota yang paradoksal. Tak kunjung metropolis, karena kaum miskin kota tetap menjamur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil