coretan tentang dongeng dan mentalitas korupsi

Dongeng dan Mentalitas Bangsa
Oleh Junaidi Abdul Munif

Dongeng dikenal sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada seorang anak. Biasanya disampaikan sebagai pengantar tidur anak atau disampaikan sebagai media pembelajaran di kelas. Penyampaian dongeng sebelum tidur memiliki harapan agar anak yang mendengar dongeng tersebut merekam dengan baik isi dan amanat yang mengandung pesan-pesan kebajikan tersebut.

Karena disampaikan untuk anak-anak, dongeng memiliki watak yang khas: hitam-putih. Karakter dalam dongeng dijelaskan secara baik-jahat. Maka selalu muncul tokoh pahlawan dan penjahat, protagonis dan antagonis. Yang semuanya berujung pada pesan moral bahwa kebaikan selalu menang dan anak-anak harus berbuat baik agar selalu menjadi pemenang.

Sebagai bentuk pitutur atau sastra lisan, dongeng biasanya anonim. Tak diketahui siapa pencipta dongeng. Dalam masyarakat yang tumbuh dalam budaya lisan seperti kita, dongeng terus tumbuh secara alamiah, hidup dari generasi ke generasi. Meski perannya kini tergantikan dengan budaya pitutur teknologi yang lebih modern (film, sinetron).

Sejak kecil kita tentu sudah akrab dengan dongeng Kancil dengan variannya. Kancil Nyolong Timun (Kancil Mencuri Ketimun), Kancil dan Kerbau, Kancil dan Buaya, Kancil dan Keong, dan lain sebagainya. Di situ ada tokoh sentral, yakni Kancil yang digambarkan sebagai binatang yang cerdik (licik?). Dalam semua dongeng tersebut, bagaimana diceritakan Kancil mampu berkelit atau lepas ketika ia tertangkap.

Dalam Kancil Mencuri Ketimun misalnya, meski Kancil tertangkap oleh Pak Tani, kemudian dikurung, dan akan disembelih, tapi Kancil mampu lolos setelah menipu hewan Pak Tani untuk menggantikannya dalam kurungan.

Kancil dan Kerbau menceritakan bagaimana Kancil yang akibat kecerobohannya terperosok dalam sumur. Ia tak bisa lepas, dan berhasil membuat Kerbau masuk ke dalam sumur setelah menipu bahwa langit akan runtuh. Ketika kerbau masuk ke dalam sumur, Kancil menggunakan tubuh Kerbau untuk naik ke atas.

Hanya dalam Kancil dan Keong Berlomba Lari saja, di mana Kancil kalah oleh kecerdikan Keong. Kancil yang sombong mengatakan bahwa dia tak mungkin kalah berlomba lari melawan hewan melata seperti keong. Keong begitu cerdik dengan menempatkan beberapa Keong di pos-pos tertentu. Saat Kancil bertanya, ”Keong, kamu sampai mana?” Keong yang berada di pos di depan Kancil akan menjawab, ”aku di depanmu”.


Mentalitas Bangsa


Pada perkembangannya, dongeng Kancil ini terlihat ambigu. Bagaimana menilai sosok Kancil tersebut? Apakah ia tokoh protagonis atau antagonis? Kancil Mencuri Timun jelas sebagai tokoh antagonis Karena ia mencuri ketimun Pak Tani. Tapi lantas kenapa ia malah berhasil lolos dari sergapan Pak Tani ketika ia ingin disembelih?

Jika kita percaya bahwa dongeng sangat berpengaruh terhadap perilaku anak-anak, maka kita patut curiga: jangan-jangan, naluri korupsi dan mencuri, oleh elite bangsa ini karena warisan dari Dongeng Kancil Mencuri Timun (Komarudin Hidayat, Politik Panjat Pinang).

Para koruptor mungkin telah akrab dengan dongeng Kancil Mencuri Timun. Ketika ia tertangkap, ia mencoba meloloskan diri dengan mengumpankan orang lain. Watak Kancilisme inilah yang mendarah daging dalam memori kolektif bangsa ini. Di mana mencuri bukan sebagai sebuah kesalahan. Dan meloloskan diri dari hukuman karena kesalahan adalah sebuah prestasi karena berhasil ngibulin aparatus negara.

Para koruptor dengan baik menjalankan ”amanat” Sang Kancil. Bahwa untuk lolos, halal menggunakan orang lain sebagai umpan. Maka muncullah apa yang sering disebut pengkambinghitaman atau tumbal-tumbal politik. Tumbal yang dijadikan korban demi ambisi segelintir orang untuk mencapai keinginan.


Dongeng Sinetron-Politik


Ketika tradisi mendongeng luntur, dan digantikan dengan budaya visual, tidak lantas anak-anak terlepas dari dongeng kancilisme yang ambigu tersebut. Televisi, dengan sinetronnya, adalah dongeng kancil versi baru, dan lebih sadis. Menyaksikan sinetron hari ini adalah menyaksikan parade keculasan, intrik rebutan warisan, saling jegal, bentak-bentakan, dan karakter hitam-putih yang begitu kentara. Karakter baik-buruk sangat atributif, sehingga penonton tak perlu menebak lagi apakah dia si tokoh baik atau jahat.

Kita juga disuguhi ”dongeng” baru. Menyaksikan pertikaian antara Polri dan KPK yang dinisbatkan sebagai pertarungan ”Buaya VS Cicak” menjadi dongeng tersendiri di masyarakat kita. Boleh jadi inilah dongeng politik paling santer terdengar di Indonesia kerena melibatkan beberapa petinggi negara.

Kita juga tak bisa lagi menilai hitam-putih. Siapa yang benar dan salah. Apakah kekuasaan bisa menjadi legitimasi untuk membenarkan segala tindakannya? Ataukah yang mendapat dukungan (simpati) publik adalah pihak yang benar? Kebenaran itu sederhana, tak perlu diperdebatkan dengan segala macam pengetahuan hukum, delik kasus, alibi atau apapun yang bersifat teknis-prosedural. Rekaman di Mahkamah Konstisusi (MK) yang diperdengarkan kepada publik pada selasa (3/11) sudah mulai menampakkan kebenaranya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil