Geliat Teater Kampus di Semarang

Geliat Teater Kampus di Semarang

STEREOTIP tentang teater adalah sebuah pertunjukan yang serius, simbolis, metaforis, dan ’’aneh’’ bagi kebanyakan orang. Terlebih di Semarang yang dijuluki sebagai ’’kuburan budaya’’.

Tak semua orang bisa menangkap pesan yang disampaikan lewat teater.

Teater juga dianggap sebagai karya seni yang belum bisa menghidupi kreatornya. Katakanlah, belum ada orang yang bisa hidup layak dengan menggantungkan hidupnya dari teater.

Seni peran ini bisa dianggap sebagai intermezo dari rutinitas keseharian, kendati tetap saja ada orang-orang ’’idealis’’ yang masih menganggap teater sebagai ’’laku spiritual’’.
Rendra, pada dekade 1970-an, pernah berkata bahwa kebanggan orang-orang teater adalah ’’biar miskin asal sombong’’.

Artinya, dalam keterbatasan ekonomi, ruang pentas, dan aktor yang berkecimpung dalam teater, para pegiatnya haruslah merasa ’’sombong’’. Mereka diharuskan tidak boleh menyerah dan kalah dengan keadaan dan keterbatasan.

Salah satu organisasi yang terus berikhtiar untuk menggerakkan denyut teater di Kota Semarang adalah Forum Teater Kampus Kota Semarang (Fotkas), yang intens bergerilya dari kampus ke kampus di Kota ATLAS. Tanpa banyak koar-koar, hampir setiap minggu selalu saja ada acara yang dilakukannya.

Fotkas tampaknya ingin sedikit demi sedikit meruntuhkan stereotip teater sebagai seni yang tak tersentuh. Lewat berbagai kesempatan, pada momen-momen tertentu, mereka melakukan ekspansi dengan menggelar pementasan di luar kampus.

Simpang Lima, Kota Lama, Tugu Muda, dan beberapa kampung menjadi arena pentas yang pernah digunakan.

Paling tidak sudah banyak teater kampus di Semarang yang intens mengadakan pertunjukan di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) maupun tempat-tempat lain. Antara lain Emka (Undip), SS dan Sangkur Timur (Unnes), Cabank (Unisbank), Kapling (Udinus),

Beta dan Asa (IAIN Walisongo), Gema (IKIP PGRI), Esa (Unissula), G-Terwahas (Unwahas) dan banyak lagi. Semuanya sering mengadakan pentas bersama, dialog, pertemuan rutin dan silaturahim teater.

Geliat teater kampus paling tidak menjadi suluh akan lahirnya generasi kreatif yang suatu saat nanti bisa menjadi ikon teater Semarang, semacam Teater Lingkar.

Tetapi seperti dikatakan Babahe (salah seorang penulis naskah yang cukup produktif) dalam diskusi usai pementasan Fotkas di TBRS, 5 Oktober lalu, sekarang terjadi kemiskinan dalam penulisan naskah. Teater lebih sering menampilkan naskah yang ditulis lebih dari 10 tahun lalu!

Lakon Lokal

Semarang sebagai sebuah kota yang mulai menggeliat dengan metropolisnya, menyisakan ruang lebar dan bisa digarap untuk menyampaikan kritik-kritik sosial terhadap kebijakan pemerintah. Kritik-kritik bisa disampaikan dengan teater, agar tampak lebih elegan dan seksis.

Dengan cara ini diharapkan teater tetap memberi pencerahan kepada masyarakat, bahwa ada yang tak beres dengan tatanan sosial dan kebijakan di Kota Semarang.

Pada kenyataannya, Semarang bukanlah milik sekelompok masyarakat yang mulai hedonis dengan mencintai mal, kafe, dan fast food sebagai bagian integral gaya hidup mereka.

Semarang juga milik orang-orang pinggiran, pedagang kaki lima, korban penggusuran, anak-anak jalanan, PSK yang beterbaran karena peminggiran sosial, juga kelompok masyarakat lain yang berdiri di garis marjinal. Mereka inilah sebenarnya objek (referensi) teater untuk melawan hegemoni kekuasaan.

Namun, apakah bangkitnya geliat teater kampus di Semarang karena didorong untuk meneguhkan teater sebagai alat kritik sosial? Masihkah tanggung jawab ideologis leluhur terus dipegang teguh para pegiat teater?

Apakah sudah saatnya teater mulai menyimpang dari fondasi awal sebagai seni di luar mainstream yang menanggung beban ideologis-kritis ? Atau, biarkan teater mengalir, tanpa beban dan tujuan ideologis yang berat tersebut?

Ah, jangan-jangan, teater hanyalah jembatan akting untuk selanjutnya membangun mimpi berkiprah di Ibu Kota? Hanya pegiat teaterlah yang tahu. (Junaidi Abdul Munif, pegiat teater G-Terwahas, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Suara Merdeka, 21 November 2009, halaman kampus

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil