coretan tentang rondan, kampung halaman, dan masa kecil

Rondan
Oleh Junaidi Abdul Munif


Setiap pulang kampung, tempat yang pasti saya kunjungi setiap malam adalah rondan. Daerah lain menyebutnya gardu, di kota gardu jaga atau pos jaga. Bukan untuk ronda atau siskamling, tapi ngumpul-ngumpul dengan teman-teman dan tetangga.

Di kampung saya ada dua rondan. Di RT 1 dan RT 2. Namun, hanya satu rondan yang berfungsi dan ramai, yaitu di RT 1. Rondan RT 1 ini terletak di ujung kampung. Jika Anda memasuki kampung saya, yang pertama Anda temui adalah rondan itu.

Rondan itu telah berpindah-pindah, Seingat saya, dua kali. Saat saya mulai ndolor dan bisa mengingat masa kecil, rondan itu terletak di tengah kampung, tepat di pertigaan gang menuju rumah saya. Lalu berpindah ke ujung kampung. Dan pada Ramadhan lalu pindah lagi ke tempat semula, di tengah kampung. Rondan kembali ke fungsi asalnya: tempat siskamling, dan tentu saja ada kenthongan di situ.

Ketika rondan kembali ke tengah kampung, para pemuda mulai gusar. Mereka tak rela, tapi tak bisa mencegahnya. Akhirnya mereka membuat lincak sebagai pengganti rondan itu, di ujung kampung. Dan entah kenapa sehabis lebaran kemarin, rondan itu kembali lagi ke ujung kampung. Jadilah ada dua tempat nongkrong: rondan dan lincak.

Saya selalu rindu akan rondan itu. Rondan menjadi semacam ruang sosial, atau ruang publik, tapi tak sementereng konsep ruang publik politis yang digambarkan oleh Juergen Habermas. Itu hanyalah rondan biasa, tempat ngumpul orang-orang kampung. Melepas penat setelah seharian bekerja.

Di rondan itu pula, menjadi tempat berkumpul “duda sementara” karena ditinggal istrinya jadi TKW ke Saudi Arabia atau Malaysia.

Seperti galibnya kampung, rondan itu juga tempat untuk sambung rasa, curhat antar warga. Kadang laiknya diskusi, ngomong politik, budaya, agama, dan folklor kampung terselip di antara gelak tawa dan kebul asap rokok.

Rondan itu pun jadi semacam penanda keremajaan atau kedewasaan seseorang. Pemuda yang tak siap dianggap dewasa, tak akan berani nongkrong di tempat itu pada malam hari. Rondan itu juga pernah menimbulkan masalah, karena orang tua mulai resah dengan ulah preman kampung yang mabuk di situ. Mereka tak rela anaknya tertular tabiat preman kampung gara-gara nongkrong di situ.


****


Jauh sebelumnya, saat saya masih kecil, saya sering main ke rondan itu. Masih ada kentongan besar, bekas kentongan dari mushola yang dipindahkan ke situ. Mushola sudah pakai mikropon dan speaker yang dipasang dengan bambu yang tinggi. Di rondan itu ada juga papan rambu-rambu, kode pukulan kenthongan ketika bahaya mengancam kampung.

Pada siang hari rondan itu jadi tempat mangkal tukang jual sayur keliling (ider) yang digendong. Mereka adalah perempuan dari Karangawen, Demak yang bertahun-tahun berjualan di kampung kami, sebelum saya lahir, hingga sekarang. Mereka sering mengupas nanas di situ. Mata nanas dibuang, tapi dikumpulkan di atas sebuah daun pisang. Kami, anak-anak kecil sering meminta mata nanas itu. Kata orang tua, mata nanas bisa membikin gatal. Kata teman saya, mata nanas bisa mengobati amandel. Saya lebih percaya teman saya. Hehe.

Setelah itu kami mengambil tanah yang empuk, melempengkannya di papan rondan itu. Membuat mainan, orang-orangan, robot dan traktor-traktoran.

Rondan berkembang setelah itu. Istilahnya gardu. Selepas reformasi, banyak bermunculan gardu yang tinggi, atau disebut posko oleh sebuah parpol tertentu. Lalu menjadi tempat siskamling ketika musim ninja yang memburu para kyai.

Kini, rondan itu tak lagi dipakai oleh tukang ider sayur dari kecamataan Karangawen. Tak ada kenthongan di sana. Rondan di kampung saya kini menjadi semacam ruang katharsis untuk melupakan sejenak beban hidup. Melupakan masalah ekonomi, sawah yang gagal panen, anak yang merengek minta uang SPP dan jajan, angsuran bank atau ngelangut karena ditinggal istri jadi TKW.

Meski, ketika malam berangsur larut, para penghuni rondan itu kembali ke rumah masing-masing, dan esoknya kembali ke kehidupan normal manusia: bekerja dan berkeluarga. Seterusnya. Berulang-ulang. Seperti lingkaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil