coretan tentang regenerasi tandur yang mendek

Stagnasi Regenerasi Perempuan Tandur
Oleh Junaidi Abdul Munif

Dalam masyarakat agraris, tandur (menanam padi) menjadi awal bagi proses masa tanam padi. Sebelumnya terjadi masa pra-tandur yang diawali dengan pembajakan sawah dan persemaian benih.

Dari dua proses ini, tampak terdapat pembagian kerja berdasarkan gender. Proses membajak sawah, dari awal sampai siap ditanduri, dikerjakan oleh laki-laki. Begitu juga ketika mengambil persemaian benih yang siap ditandur juga dikerjakan laki-laki.

Perempuan mulai bekerja saat tandur dan menyiangi (matun). Memang, dua macam pekerjaan ini membutuhkan ketelatenan dan tenaga yang tak begitu besar. Sehingga lebih cocok dikerjakan oleh perempuan yang telanjur distereotipkan sebagai makhluk lemah (fisik) tapi tekun.

Tandur juga bukan semata bernilai produksi. Di dalamnya terdapat nilai-nilai kultural khas desa: kebersamaan dan guyup rukun. Tandur juga sering menjadi ajang rembug desa antar perempuan untuk menyelesaikan masalah-masalah sekitar mereka. Meski akhir-akhir ini, entah karena pengaruh infotainment, mereka tak jarang juga bergosip ria. Baik tentang selebriti atau tetangga mereka sendiri.

Beberapa tahun terakhir terjadi fenomena menurunnya jumlah perempuan yang mau bekerja sebagai tukang tandur. Industrialisasi yang semakin ”menginvasi” daerah-daerah yang sebelumnya dikenal sebagai basis pertanian, kini telah banyak kehilangan perempuan-perempuan muda yang siap menjadi tukang tandur.

Generasi perempuan muda lebih memilih bekerja di sektor pabrik garmen yang juga lebih membutuhkan tenaga kerja wanita di banding pria. Hal yang bisa dimaklumi, di samping alasan finansial yang berbeda jauh, tandur juga sebuah pekerjaan yang insidental dan kurang prestis. Hanya dilakukan dua kali dalam semusim, di tempat yang kotor pula.

Fenomena menarik di desa penulis, di mana ibu penulis beberapa waktu lalu kesulitan mencari orang yang sela (tidak sedang bekerja). Terpaksa harus mencari tenaga dari desa lain. Jumlah sawah relatif sama, tapi jumlah penanam cenderurng stagnan.

Waktu menanam juga relatif sama sehingga sering bertabrakan dengan jadwal menanam petani lain. Tanpa kesepakatan tertulis, petani harus berbagi hari dengan petani lainnya. Sebisa mungkin mereka menghindari dalam satu hari jangan sampai ada dua petani yang nandur bareng.


Mesin Produksi


Jika menggunakan kacamata sistem produksi, minimnya jumlah perempuan yang tandur bisa dianalogikan sebagai minimnya mesin produksi. Perempuan paralel sebagai mesin produksi, sementara tandur sebagai hasil produksi.

Bagi perempuan yang ”setia” menjalani profesi ini, ninimnya tenaga tandur adalah berkah tersendiri bagi mereka. Sebab mereka adalah pengendali utama bagi jadwal tanam para petani. Petani yang akan tandur harus menemui mereka untuk menyesuaikan jadwal.

Dari sinilah mulai muncul mirip-mirip kapitalisme dalam dunia per-tanduran. Sedikitnya tenaga membuat mereka membentuk grup tandur. Ada semacam ketua yang bertugas mengomunikasikan (mencari job) dengan petani.

Sistem imbal balik tandur pun bukan lagi asas gotong royong, tapi borongan. Satu grup dengan bayaran sekian berani menargetkan dapat menyelesaikan tandur dalam waktu sekian. Pada situasi seperti ini sering petani terpaksa ”ngalah” dan menyesuaikan harga yang diminta para tukang tandur.

Jika tak segera dicari cara terbaru di mana sedikitnya sumber daya manusia (tukang tandur) digantikan dengan mesin produksi yang cepat dan efisiem, problem dunia pertanian akan semakin bertambah. Tidak hanya mengalami kelangkaan pupuk, tapi juga kelangkaan tenaga kerja.

Bukankah sebelumnya sistem bajak sawah yang menggunakan kerbau juga telah digantikan traktor yang dapat menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang cepat?

Setidaknya ada dua alternatif yang harus dilakukan. Pertama adalah mempertahankan kultur tradisionalisasi tandur seperti sekarang, tapi dengan regenerasi yang terjaga. Kedua menggunakan teknologi modern sebagai pemecah solusi.

Ada dua keuntungan yang didapat dengan sistem tandur ini. Pertama, penguatan ketahanan pangan yang pada akhirnya menjadi kekuatan ekonomi desa. Kedua, terjaganya nilai-nilai kultural desa yang khas. Sinergitas antara ketahanan ekonomi dan ketahanan budaya akan melahirkan ketahanan desa yang tak terpengaruh dengan fluktuasi situasi ekonomi gobal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil