coretan tentang UU BHP

Mengupayakan Pendidikan Tandingan
Oleh Junaidi Abdul Munif


Beberapa waktu lalu Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo mengadakan seminar Masa Depan Pendidikan di Indonesia Pasca Diberlakukannya UU BHP. Sekaligus juga Musyawarah Daerah (Musda) Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Seluruh Indonesia (IMAKIPSI) Wilayah Jawa Tengah.

Sebelum disahkan menjadi UU, RUU BHP memang telah menjadi polemik panjang berbagai kalangan yang khawatir akan membawa pendidikan Indonesia ke arah komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Akibatnya bagi rakyat adalah tertutupnya akses untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

UU BHP memang telah disahkan dan akan dijadikan legal formal dalam sistem pendidikan di Indonesia. Demonstrasi dan wacana mahasiswa seolah menguap begitu saja karena tak mampu menahan agar RUU ini tidak jadi diketok palu.

Tema seminar tersebut menjadi pemantik bagaimana seharusnya pendidikan di Indonesia. Kebetulan, yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut selain dari kalangan DPR (Munawar Soleh) dan Dirjen Pendidikan (Prof Mustafidz), adalah Ahmad Bahrudin, pendiri sekolah alternatif Qoryah Toyyibah di Kalibening, Salatiga.

Ketiga pembicara pun menjadi dua pihak yang saling berseberangan dan beda pendapat mengenai tafsir UU BHP. Kepentingan birokasi (kekuasan) dan independensi pendidikan tampak jelas dalam silang pendapat ini.


Pendidikan Tandingan


Mahasiswa jurusan pendidikan dan keguruan merasa gelisah jika UU BHP benar-benar diterapkan akan banyak orang miskin yang tak bisa sekolah. Ada pembodohan secara sistemik lewat UU ini jika dibaca lebih kritis. Padahal semua orang sepakat, kebodohan adalah pintu bagi kemiskinan.

Jika akses pendidikan formal (sekolah) tak bisa diraih, akan semakin banyak orang bodoh, dan semakin banyak orang miskin. Maka negeri jamrud khatulistiwa gemah ripah loh jinawi ini akan semakin tidak terurus karena tenaga-tenaga ahli banyak dari luar negeri yang rekam-jejak kearifan lokal mengenai Indonesia minim.

Mahasiswa dengan power (kekuatan) yang ada, kini hanya bisa pasrah menerima UU BHP ini menjadi “tuhan” yang akan menyetir pendidikan Indonesia. Stakeholder (pemangku kebijakan) menjadi hantu yang tak jelas wujudnya. Sebab dikuatirkan mereka adalah investor asing yang bias kepentingan dengan Indonesia, baik secara politis, ekonomi, dan budaya. Yang bisa dilakukan mahasiswa adalah mengawal dan mengawasi agar kebijakan dari stakeholder tetap berpihak pada rakyat.

Namun, benarkah pengawalan dan controlling terhadap aplikasi UU ini akan efektif dilakukan oleh mahasiswa agar tak ada penyelewengan penerapannya? UU BHP adalah otoritas sah yang memiliki kebenaran secara hukum. Sedangkan kekuatan mahasiswa, semassif apapun, adalah gerakan luar pagar.

Gerakan mahasiswa akan efektif jika isu yang diangkat sama. Seperti halnya reformasi 1998, di mana musuh bersama (common enemy) adalah otoritarianisme Orde Baru.

Kiranya perlu mpertimbangkan kembali untuk menilik wacana Budaya Tanding (Cak Nun: 1995). Budaya tanding adalah gerakan sosial dan kebudayaan yang independen dan berada di luar tembok birokrasi kekuasaan. Ia hadir untuk mengakomodasi ekspresi dan kepentingan yang tak difasilitasi penguasa (negara).

Contoh paling nyata dari budaya tanding di bidang pendidikan adalah inisiatif Ahmad Bahruddin mendirikan sekolah -tepatnya komunitas pembelajar- Qoryah Toyyibah. Konsep ini mirip dengan pemikiran Paulo Freire tentang teologi pembebasan dan buku Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of The Oppressed, Freire: 1970).

Bahwa kaum tertindas bisa sekolah tanpa seragam, tak ada SPP, Ujian Nasional dan berpijak pada konteks kearifan lokal. ”Siswa” sendiri yang menentukan ”kurikulum” dan kapan waktunya belajar.

Mahasiswa perlu mengolah kembali pendidikan tandingan (counter education) untuk menjadi balancing (penyeimbang) atau antitesis dari sistem sekolah resmi yang didukung oleh UU BHP. Jika masih terus berkutat dengan perdebatan UU BHP, pendidikan Indonesia akan ketinggalan.

Negara-negara lain akan terus berlari cepat, dan pendidikan di Indonesia masih jalan di tempat. Maka harus ada sekelompok orang yang berani banting setir untuk menjadi agen pendidikan tandingan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil