coretan sederhana tentang pameran buku
Dilema Pameran Buku
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tiada yang lebih nikmat bagi pencinta buku selain berada di sebuah tempat yang penuh buku. Mereka bisa ”berdialog” dengan pemikiran tokoh-tokoh yang diabadikan dalam bertumpuk-tumpuk kertas itu.
Tempat itu adalah toko buku yang memajang buku dari berbagai disiplin ilmu. Namun, banyak ”keterbatasan” ketika berkunjung ke toko buku. Sering didapati tak ada buku yang ”sengaja” dibuka plastik pembungkusnya.
Bagi yang tak mendapatkan info mengenai buku tersebut, tentu saja kesulitan untuk mengetahui isinya. Sementara ingin merobek, takut ditegur oleh satpam atau karyawan. Apalagi buku-buku yang dijual harganya cukup mahal. Mungkin hanya pencinta buku sejati yang bisa mengeliminasi faktor harga buku.
Maka, pameran buku selalu menjadi surga bagi para pencinta buku, terutama mahasiswa yang memang wajib bergaul dengan buku. Di sinilah para mahasiswa yang pas-pasan atau memang irit (pelit?) beli buku, bisa memborong buku dengan harga murah.
Ketidaktersediaan buku murah yang mudah dibeli di berbagai tempat, bahkan sampai ke kota-kota kecil, menjadi alasan mengapa pameran buku seperti ini selalu dibanjiri oleh pembeli. Tak cuma mahasiswa.
Fenomena pameran buku di Semarang adalah oase tersendiri di tengah ”kegersangan intelektualitas” mahasiswa. Lazim diketahui, anggaran beli buku mahasiswa kita masih kalah dengan anggaran pulsa, pakaian, atau jalan-jalan (having fun).
Meski patut diduga, pameran buku hanyalah semacam ”cuci gudang” untuk buku-buku yang tak habis pada kurun waktu tertentu. Namun, sebuah pemikiran (buku) adalah sumbangan berharga dari penulis untuk mengabadikan semangat atau gejolak zaman.
Buku akan menjadi rekam-jejak wacana sebuah masa. Dan wacana ada yang berumur pendek dan panjang. Dari sini, kita tak perlu lagi mempermasalahkan tema-tema buku yang dianggap usang. Karena masalah-masalah (wacana) itu sering mengalami repetisi (pengulangan).
Beberapa Keuntungan
Membeli buku di pameran buku memiliki beberapa keuntungan. Pertama, buku-buku dijual dengan harga murah. Apalagi sering ada diskon untuk lebih menarik pembeli. Secara umum, mentalitas masyarakat kita sangat ”gila” dengan pesta barang-barang sale dan diskon. Pesta diskon selalu dibanjiri oleh pembeli.
Kedua, bisa mendapatkan buku-buku lama yang jarang masih dipajang di toko buku besar. Kenapa mahasiswa cenderung membeli buku yang (agak) out of date? Ternyata ini ada hubungannya dengan tradisi di dunia pendidikan kita yang sering ”telat” dalam menerima buku baru. Dalam memberikan materi kuliah, masih banyak dosen yang menggunakan buku-buku pegangan ”jadul” sebagai referensi untuk mahasiswa.
Ketiga, minimnya komunitas pencinta buku di Semarang. Jarangnya komunitas-komunitas pecinta buku ini membuat nihilnya ruang untuk berdiskusi dan bertukar informasi buku baru, atau saling meminjamkan buku. Hal ini memaksa mahasiswa mencari alternatif lain, yakni pameran buku untuk memenuhi dahaga informasi.
Tidak Sehat
Lalu, sehatkah pameran buku seperti itu untuk terus menghidupkan denyut dunia keberaksaraan di negara kita? Tidak sehat. Pemeran buku malah menghadirkan sebuah dilema.
Bayangkan, bagaimana perasaan seorang penulis yang mendapati bukunya hanya laris saat pameran buku, diobral pula! Hal ini secara tak langsung akan berpengaruh pada niat (semangat) mereka untuk terus menulis buku.
Pameran buku akhirnya berjalin kelindan dengan tingkat membaca kita yang masih rendah, pelit membeli buku, dan tidak ”menghargai” kerja-kerja intelektual.
Selama ketersediaan buku murah yang bisa diakses tidak hanya di toko-toko buku besar belum terpenuhi, selama itu pula pameran buku menjadi ”surga” bagi konsumen. Tapi menjadi ”neraka” bagi penerbit, dan terlebih bagi penulis!
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tiada yang lebih nikmat bagi pencinta buku selain berada di sebuah tempat yang penuh buku. Mereka bisa ”berdialog” dengan pemikiran tokoh-tokoh yang diabadikan dalam bertumpuk-tumpuk kertas itu.
Tempat itu adalah toko buku yang memajang buku dari berbagai disiplin ilmu. Namun, banyak ”keterbatasan” ketika berkunjung ke toko buku. Sering didapati tak ada buku yang ”sengaja” dibuka plastik pembungkusnya.
Bagi yang tak mendapatkan info mengenai buku tersebut, tentu saja kesulitan untuk mengetahui isinya. Sementara ingin merobek, takut ditegur oleh satpam atau karyawan. Apalagi buku-buku yang dijual harganya cukup mahal. Mungkin hanya pencinta buku sejati yang bisa mengeliminasi faktor harga buku.
Maka, pameran buku selalu menjadi surga bagi para pencinta buku, terutama mahasiswa yang memang wajib bergaul dengan buku. Di sinilah para mahasiswa yang pas-pasan atau memang irit (pelit?) beli buku, bisa memborong buku dengan harga murah.
Ketidaktersediaan buku murah yang mudah dibeli di berbagai tempat, bahkan sampai ke kota-kota kecil, menjadi alasan mengapa pameran buku seperti ini selalu dibanjiri oleh pembeli. Tak cuma mahasiswa.
Fenomena pameran buku di Semarang adalah oase tersendiri di tengah ”kegersangan intelektualitas” mahasiswa. Lazim diketahui, anggaran beli buku mahasiswa kita masih kalah dengan anggaran pulsa, pakaian, atau jalan-jalan (having fun).
Meski patut diduga, pameran buku hanyalah semacam ”cuci gudang” untuk buku-buku yang tak habis pada kurun waktu tertentu. Namun, sebuah pemikiran (buku) adalah sumbangan berharga dari penulis untuk mengabadikan semangat atau gejolak zaman.
Buku akan menjadi rekam-jejak wacana sebuah masa. Dan wacana ada yang berumur pendek dan panjang. Dari sini, kita tak perlu lagi mempermasalahkan tema-tema buku yang dianggap usang. Karena masalah-masalah (wacana) itu sering mengalami repetisi (pengulangan).
Beberapa Keuntungan
Membeli buku di pameran buku memiliki beberapa keuntungan. Pertama, buku-buku dijual dengan harga murah. Apalagi sering ada diskon untuk lebih menarik pembeli. Secara umum, mentalitas masyarakat kita sangat ”gila” dengan pesta barang-barang sale dan diskon. Pesta diskon selalu dibanjiri oleh pembeli.
Kedua, bisa mendapatkan buku-buku lama yang jarang masih dipajang di toko buku besar. Kenapa mahasiswa cenderung membeli buku yang (agak) out of date? Ternyata ini ada hubungannya dengan tradisi di dunia pendidikan kita yang sering ”telat” dalam menerima buku baru. Dalam memberikan materi kuliah, masih banyak dosen yang menggunakan buku-buku pegangan ”jadul” sebagai referensi untuk mahasiswa.
Ketiga, minimnya komunitas pencinta buku di Semarang. Jarangnya komunitas-komunitas pecinta buku ini membuat nihilnya ruang untuk berdiskusi dan bertukar informasi buku baru, atau saling meminjamkan buku. Hal ini memaksa mahasiswa mencari alternatif lain, yakni pameran buku untuk memenuhi dahaga informasi.
Tidak Sehat
Lalu, sehatkah pameran buku seperti itu untuk terus menghidupkan denyut dunia keberaksaraan di negara kita? Tidak sehat. Pemeran buku malah menghadirkan sebuah dilema.
Bayangkan, bagaimana perasaan seorang penulis yang mendapati bukunya hanya laris saat pameran buku, diobral pula! Hal ini secara tak langsung akan berpengaruh pada niat (semangat) mereka untuk terus menulis buku.
Pameran buku akhirnya berjalin kelindan dengan tingkat membaca kita yang masih rendah, pelit membeli buku, dan tidak ”menghargai” kerja-kerja intelektual.
Selama ketersediaan buku murah yang bisa diakses tidak hanya di toko-toko buku besar belum terpenuhi, selama itu pula pameran buku menjadi ”surga” bagi konsumen. Tapi menjadi ”neraka” bagi penerbit, dan terlebih bagi penulis!
Komentar