Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo


 
            Dalam dunia yang dikatakan serba posmo ini, melihat ke dalam dan menukik ke lorong kesadaran semakin menjadi barang langka. Problem kehidupan, peristiwa sehari-hari menjadi rutinitas yang berjalan begitu adanya.
Rutinitas ini semakin menihilkan peran kemanusiaan yang sesungguhnya. Perasaan yang reflektif; tidak hanya melihat segala sesuatu yang tampak begitu adanya semakin hilang dalam masyarakat yang pragmatis, instan, dan mobile. Di mata masyarakat yang senantiasa ingin lekas bergerak cepat ini, dunia tampak baik-baik saja, tanpa perlu dipertanyakan, apalagi digugat.
            Jacques Derrida, sang filsuf Perancis kelahiran Aljazair telah melahirkan konsep dekonstruksi yang penting. Konsep ini seolah menggugat seluruh konsep yang ada.  Namun, bila dilihat secara sederhana, dekonstruksi adalah cara pandang reflektif, untuk menemukan kesadaran hakiki di tengah entitas yang terhampar di jagad kehidupan ini.
Dengan mendekonstruksi apa pun, cara pandang kita terhadap suatu masalah semakin kaya warna. Konsekuensinya, kita bisa marah, tertawa, dan kemudian berteriak, “oooo, jebule ngene tho? (ternyata begini tho?) ketika makna itu berhasil kita dapatkan.
            Di zaman modern ini, kian sulit menemukan sufi, penguar kearifan yang konsisten untuk melihat dunia tak hanya permukaan saja. Prie GS, kolumnis dan motivator bisa dibilang salah satu dari yang sedikit itu.
Lewat kolom-kolomnya yang terangkum dalam buku-bukunya, misalnya Nama Tuhan Dalam Sebuah Kuis, Hidup Bukan Cuma Urusan Perut dan lain sebagainya adalah refleksi seorang sufi yang melihat dunia dari berbagai sisi, tak hanya memandang dengan kacamata biner: positif dan negatif.
            Lewat kolom-kolom yang sederhana ini, ia menertawakan, merenungkan, memarodikan, sakaligus menyelami samudera makna yang luas itu. Makna itu mungkin bagi kita, orang-orang yang tak memiliki “indera khusus”, berjalan apa adanya dan tak ada yang perlu digugat.
            Dengan gaya yang jenaka, Prie GS tidak malu untuk menyadari bahwa dirinya bisa jadi lebih kanak-kanak dari anak-anak sekalipun. Lebih jahat dari penjahat sekalipun, sekaligus lebih kyai dari kyai sekalipun.
Anak-anak yang polos lebih jujur dan lugas mengungkapkan keinginannya, tidak berusaha menutupi keinginannya. Orang tua lebih hipokrit, dan bisa tampak bijak untuk menutupi bopeng-bopeng di hatinya.
            Masalah yang diangkatnya beragam, baik yang bersifat lokal, (keluarga dan kampung), sampai masalah negeri, nasionalisme. Masalah yang serius pun bisa ditertawakan, sebaliknya, masalah yang remeh pun bisa diseriuskan. Latar belakang dia sebagai wartawan, sangat membantu untuk jeli melihat peristiwa yang ditemuinya.
            Ketika menemui peristiwa, yang muncul pertama kali adalah klaim, vonis terhadap peristiwa itu sendiri. Kita gampang saja menuduh bahwa itu salah, melanggar hukum dan tak beretika. Mata sufi kita seolah tertutupi oleh perasaan vonis lebih dulu. Prie GS pun begitu. Menanggapi peristiwa dengan vonis lebih dulu, baru kemudian ia mendekonstruksi vonis itu.   
            Membaca buku-buku Prie GS, kita seolah diajak ke masa lalu, bertemu dengan Abu Nawas di Baghdad. Dengan kekocakannya, Abu Nawas hadir untuk “meluruskan” masyarakat yang patologis dan penguasa yang kebal kritik.
Demikian juga Prie GS. Ia hadir untuk memberi perspektif baru, terhadap kondisi sosial masyarakat yang patologis. Sangat salah jika modernitas, posmodernisme tak memberi ruang bagi sufisme. Sufisme bisa muncul di mana saja. Justru pada zaman yang semrawut inilah, sufisme akan lebih lantang berteriak dan memunculkan kejernihan-kejernihan spiritual.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil