Negeri Kudeta dan Tumbal



            Dalam sebuah negara, kedudukan dan kekuasaan menjadi tujuan beberapa gelintir orang yang ambisius demi terciptanya sebuah perubahan sosial masyarakat. Perebutan kekuasaan dan pucuk pimpinan adalah sebuah hal yang niscaya dalam dinamika sebuah negara. Cara-cara yang adil, jujur, dan konstisusional, semacam mekanisme pemilu dianggap sebagai cara paling demokratis dalam proses suksesi pemimpin negara.
            Namun tak jarang pula terjadi coup d’etat (kudeta), pemberontakan, pengambilalihan paksa kekuasaan dari satu pihak ke pihak lain dengan cara kekerasan dan pertumpahanan darah. Kudeta bermakna “pukulan, tiupan atau goncangan kepada pemerintah atau negara” (Christopher Orlando dan Sylvester Mawson: 1962). Kudeta menjadi cara untuk memangkas kekuasaan yang dianggap otoriter, memegang teguh status quo, anti perubahan, dan tidak memberi keadilan bagi rakyat.
Terdapat 100 pemberontakan dan kudeta yang pernah terjadi di Nusantara dan Indonesia. Sejak kudeta Ken Arok sampai tarian RMS di hadapan SBY (Petrik Matanasi :Pemberontak tak (Selalu): Seratus Pembangkangan di Nusantara; 2009). Sejarah mencatat bahwa kudeta paling canggih pertama di Nusantara adalah saat Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring. Inilah kudeta paling canggih yang pernah dilakukan dalam rangka ritual perebutan kekuasaan.
Modus operandi Ken Arok dalam mengkudeta Tunggul Ametung tidak dengan tangannya sendiri, ia “menggunakan” tangan Kebo Ijo untuk membunuh Tunggul Ametung. Arok muncul bak pahlawan, yang membunuh Kebo Ijo dengan dalih menghukum pemberontak karena pembunuh penguasa (Tunggul Ametung).

Kudeta Misterius

            Kudeta yang paling misterius dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara modern adalah peristiwa G 30 S. Peristiwa berdarah dan tragik ini seperti “ditakdirkan” menjadi misteri bangsa hingga hari ini. Sejarah G 30 S adalah sejarah paling kabur yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Melihat rentang waktunya, semestinya sejarah ini bisa hadir lebih terang benderang karena saksi sejarah masih banyak yang hidup. Namun politik represif Orde Baru menjadikan saksi-saksi sejarah itu “membisu”.
Dalam sejarah versi Orde Baru, adalah PKI yang dinisbatkan sebagai pemberontak dan hendak melakukan kudeta. Namun seiring reformasi, penulisan sejarah G 30 S seperti menggelinding dan liar. Banyak versi bermunculan, terutama dari mereka yang sebelumnya dicap sebagai bagian PKI. Salah satu versi yang berkembanag adalah Soeharto yang mengkudeta Soekarno.
Istilah kudeta merangkak kerap disematkan pada peristiwa ini. Soeharto, mungkin di sini mirip Ken Arok yang “menghabisi” lawan politik di bidang militer dengan tangan PKI, lantas ia muncul sebagai pahlawan yang menumpas PKI dan melindungi Presiden Soekarno. Beragam versi menghadirkan beragam tafsir, sehingga kebenaran sejarah G 30 S semakin berselimut kabut.
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang oleh beberapa pihak disebut sebagai surat sakti, hadir laiknya senjata ampuh bagi pemegangnya. Ia mirip keris Mpu Gandring yang dimiliki oleh Ken Arok. Supersemar hadir sebagai senjata untuk melakukan stabilisasi keamanan akibat G 30 S yang menimbulkan kegoncangan di masyarakat.
            Lewat surat sakti, Supersemar, Soeharto berpegang teguh pada instruksi dan mandat yang akhirnya mengantarkan dia menjadi Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun! Supersemar dan Keris Mpu Gandring ibarat dua senjata ampuh yang mengantarkan pemiliknya menaiki tampuk kekuasaan. Nasib Supersemar dan Keris Mpu Gandring kini sama-sama misterius, tak diketahui keberadaannya sampai hari ini.

Politik Tumbal

            Seperti laiknya dalam sebuah perebutan kekuasaan, tumbal kerap dihadirkan untuk memuluskan jalan kudeta. Mpu Gandring menjadi tumbal pertama bagi Ken Arok untuk mendapat kekuasaan dari tangan Tunggul Ametung. Tumbal bisa muncul dari kawan. Ken Arok menumbalkan Kebo Ijo, yang sama-sama menjadi pengawal Tunggul Ametung.
            Di peristiwa G 30 S, siapa tumbal teramat rumit untuk diidentifikasi. Ketujuh jenderal atau PKI bisa sama-sama dianggap tumbal kekuasaan yang memuluskan jalan Soeharto menggantikan Soekarno. Tumbal-tumbal berguguran untuk memuluskan kudeta atau melanggengkan kekuasaan seperti halnya Amangkurat II menumbalkan Trunojoyo yang melakukan pemberontakan.
            Dalam konteks politik kontemporer, kita baru saja menyaksikan Sri Mulyani Indrawati ditumbalkan melanggengkan kekuasaan. Huru hara Bank Century yang merampok negara senilai 6,7 triliun memaksanya untuk dikorbankan dengan cara yang elegan dan seksi. Politik tumbal yang hadir dengan eufemisme karena Sri Mulyani diangkat menjadi Direktur Pelaksana di Bank Dunia. Sri Mulyani juga “mengundurkan diri”, tidak “dicopot jabatannya” oleh SBY. Eufemisme bahasa politik tumbal inilah yang membuat ritual tumbal hadir secara samar namun mudah dibaca.
            Sejak kerajaan-kerajaan di Jawa menjalankan intrik kekuasaan, kudeta dan tumbal hadir silih berganti mengabadikan sejarah kerajaan tersebut. Kudeta dan tumbal adalah sejarah yang terus terulang, dengan aktor dan modus yang sama tapi berbeda. Kebo Ijo, Trunojoyo, Tujuh Jenderal Pahlawan Revolusi, Sri Mulyani, dan Nazaruddin adalah contoh tumbal-tumbal politik yang dikorbankan untuk membasuh tahta kekuasaan dari rongrongan “pemberontak” dan “orang lain”. Inilah negeri kudeta yang setiap pertarungan memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan selalu menuntut adanya tumbal yang dikorbankan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil