Seks yang Malu-malu Mau
Persoalan seks di negeri ini hadir
secara ambigu. Sigmund Freud mendedahkan seks, -bersama kekerasan-, sebagai
hasrat purba manusia yang tersembunyi (id). Kepurbaan ini yang coba dilacak
Michel Foucoult dalam bukunya Ingin Tahu Sejarah Seksualitas?.
Di
negeri ini seks bertumbuh kembang dalam psikologi anak baru gede (ABG) secara
sembunyi. Dampak seks yang dikurung, selama masa Victoria di Inggris, nyata
hadir di Indonesia. Seks, karena alasan moral dan agama, diringkus untuk
pendisiplinan moral masyarakat.
Tapi
rupanya kita mesti membayar mahal, ketika seks yang lucah dan amoral itu
mengendap di pikiran seperti pencuri yang mengendap-endap dalam rumah.
Pendidikan seks yang digaungkan sebagai counter culture bagi seks yang
membabi buta, datang terlambat, terutama juga akibat globalisasi yang lari
begitu kencang menabrak bangsa ini.
Setidaknya,
seks muncul dalam guyonan secara parodik, dari ruang publik akademik sampai
ruang publik agama. Dalam pengajian, sangat banyak kyai yang selalu
mengeksplorasi seksualitas dalam dakwahnya, yang sering menghadirkan seks dalam
kacamata patriarkis. Perempuan dituduh sebagai penanggungjawab utama
ketidaksiplinan seks di ruang domestik (rumah tangga).
Sebagai
bangsa kita gagal mendisiplinkan dua hal; kekerasan dan seksualitas. Yang
pertama hadir secara terang-terangan, sementara yang kedua datang sembunyi dan
malu-malu, namun sama-sama massif. Seks adalah entitas yang selalu menarik
untuk diperbincang-guyonkan di masyarakat.
Biodata Penulis
Nama :
Junaidi Abdul Munif
TTL :
Grobogan, 16 April 1986
Alamat :
Ponpes Luhur Wahid Hasyim Semarang, Jl. Menoreh Tengah II/14 Sampangan Semarang
50233
HP : 085640086314
Bekerja sebagai editor lepas dan menulis untuk
media massa, baik lokal dan nasional
Komentar