Pendidikan dan Bulan Ramadan

“Ritual” pendidikan seperti ujian nasional (UN), kelulusan, dan kenaikan kelas telah berlangsung sejak beberapa minggu menjelang datangnya Ramadan. Ada tawa dan tangis yang hadir secara bersamaan terkait hasil yang telah dicapai oleh siswa. Nyaris, di awal Ramadan ini, orang tua dan siswa disibukkan untuk menyongsong tahun ajaran baru. Anak-anak mempersiapkan diri untuk kembali belajar selama setahun, yang akan diakhiri dengan pelbagai “ritus” UN dan lain sebagainya. Apa yang bisa kita petik dari momentum yang beriringan ini? Angka-angka menunjukkan siswa dinyatakan lulus dan naik kelas. Sekaligus menunjukkan siswa dianggap berhasil dalam menyelesaikan soal-soal pelajaran. Pendidikan pun berjalan, salah satunya, untuk mencapai angka-angka tinggi. Di perguruan tinggi ada IPK. Dan di masyarakat, keberhasilan diukur dengan banyaknya angka (baca: uang/materi) yang dimiliki seseorang. Terlepas dari kontroversi pelaksanaan ujian nasional, Ramadan memberi bukti, bahwa indikasi seseorang berhasil dalam proses pendidikan adalah ketika kualitas diri sebagai pribadi dan makhluk sosial, manusia menjadi insan kamil (manusia sempurna). Kisah Nabi Muhammad SAW yang seusai perang Badar, bersabda pada sahabatnya, bahwa kita baru saja pulang dari peperangan kecil, dan akan menuju peperangan besar. Sahabat merasa heran, bagaimana perang Badar yang begitu dahsyat itu oleh Nabi disebut sebagai peperangan kecil? Lantas apakah peperangan besar itu? Nabi kemudian menjawab, peperangan melawan hawa nafsu. Peperangan hawa nafsu itu dilakukan dengan puasa. Proses menahan diri dari segala potensi negatif yang dapat dilakukan oleh panca indera manusia, yakni tangan, kaki, mata, telinga, mulut, serta perut. Tuhan menganugerahi manusia dengan panca indera dengan memberinya dua potensi, positif dan negatif. Ramadan adalah jalan untuk mengolah potensi positif yang ada dalam panca indera manusia. Tetapi, sentral dari semua itu adalah hati. Sesuai sabda Nabi, hati (kalbu) merupakan organ yang menentukan anggota tubuh lainnya akan akan berbuat baik atau buruk. Betapa banyak ayat Alquran dan hadis Nabi dihafal oleh umat muslim, tapi belum sampai menjadi ruh dari segala tindakan. Seolah ada jarak yang jauh antara teori dan praktik dalam kehidupan nyata. Banyak paradoks yang terjadi Indonesia. Sebagai muslim terbesar, tetapi angka korupsinya tinggi. Tingkat kebersihan juga memprihatinkan. Pendidikan nir-ego Angka-angka tersebut rentang menjadikan hawa nafsu sebagai panglima. Hawa nafsu dan ego menusia sebagai pusat, yang membuat diri manusia (sebagai pribadi) seakan harus menjadi pemenang tunggal. Ego ini lantas berkembang menjadi kesepakatan masyarakat, menjadi “norma sosial” yang mendapatkan legitimasi zaman. Betapa banyak anak-anak kita menjalani sekolah dan proses pendidikan karena tuntutan orang tua dan masyarakat. Anak-anak belum merasa bebas menentukan apa yang dia suka, yang sesuai dengan potensi dan bakatnya. Pendidikan mesti diarahkan untuk membentuk manusia yang dapat menyingkirkan sifat egoisme yang memuncak dalam diri. Mental filantropis dan asketis adalah narasi untuk membunuh ego manusia dalam hal material. Selain itu, ego- batiniah menjadi tonggak untuk melakukan refleksi sekaligus relaksasi dari tuntutan dunia profan, demi mencapai ketenangan dan ketenteraman yang bersifat profetik. Bulan Ramadan adalah bulan pendidikan, di mana di bulan ini kita diajarkan untuk menahan diri dari segala godaan negatif. Sangat tepat jika Ramadan dijadikan bulan refleksi untuk menarik makna pendidikan yang sejati. Manusia menjalankan pendidikan bukanlah dalam rangka untuk mengalahkan manusia lain, melainkan mengalahkan diri sendiri. Ranah sosial Dalam hal ini, pendidikan yang genuine, selalu bergerak pada ranah sosial. Kesediaan berbagi menjadi ukuran akhlak (karakter) seseorang. Ukuran keberhasilannya, adalah kemanfaatan manusia untuk manusia lain, bukan semata manfaat untuk diri sendiri dan orang-orang terdekatnya. Di Australia, pendidikan di sana menekankan pada capaian-capaian komunal, seperti membudayakan antri dan dan menghormati orang lain di ruang publik. Katanya, untuk mendidik siswa pandai matematika, dibutuhkan waktu bulanan. Tapi untuk mendidik siswa memiliki budaya antri, perlu waktu bertahun-tahun. Di situlah pentingnya pendidikan nir-ego untuk mendahulukan kepentingan orang lain (dalam artian kepentingan bersama) ketimbang mementingkan egoisme individu. Ramadan adalah bulan ujian nasional sesungguhnya. Di sini terpapar kondisi, bahwa ilmu dan pengetahuan teoritik, diuji-aplikasikan ke dalam kehidupan nyata, dengan tetap mengedepankan kebaikan utama untuk kebersamaan. Egoisme harus disingkirkan untuk emncapai komualisme yang sehat. Kebenaran untuk mengalahkan sikap ego, adalah kebenaran universial, bukan milik suatu agama atau kepercayaan tertentu. Di sinilah peran orang tua, masyarakat, dan pemerintah adalah menyediakan model pendidikan yang menggembirakan, yang akan membuat anak-anak nyaman dan senang. Maka, kehidupan ini medan “pertarungan” yang akan melahirkan iklim kompetisi untuk menjadi manusia unggul. Persoalannya adalah, dalam berkompetisi itu, norma, etika, dan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang negatif, harus menjadi alas utama. Oleh karena itu, musuh utama pendidikan bukanlah kebodohan orang lain. Namun, kebodohan kita sendiri, yang sering luput dari perhatian kita. Ketika seorang siswa mendapatkan hasil buruk, secara egois menyalahkan muridnya yang dianggap bodoh. Boleh jadi, siswa tersebut pintar, hanya sang guru yang tidak tepat menggunakan metode pembelajaran. Pendidikan yang kita jalankan adalah untuk mengarahkan siswa memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial. Capaian-capaian nilai yang disimbolkan dengan angka kelulusan/kenaikan, tidak berarti apa-apa kalau siswa tidak meraih capaian-capaian sosial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil