Sang Guru Utama

Dunia pendidikan tak mungkin lepas dari sosok seorang guru yang berdiri di garda depan, yang berhadapan dengan anak didik secara langsung. Tegak lurusnya pendidikan kita sangat bergantung kepada kondisi guru, baik secara kuantitas, dan (terlebih) kualitas. Guru sepatutnya menjadi manusia utama, pusat referensi umat manusia. Peningkatan kuantitas guru akan mudah dipenuhi oleh perguruan tinggi pendidikan, tapi tidak untuk kualitas. Padahal kualitas guru akan berimbas langsung pada kualitas anak didik. Tentu lebih mudah mendapatkan anak didik berkualitas dari guru yang berkualitas, ketimbang mendapat anak didik dari guru yang tidak berkualitas. Sayangnya, diskursus tentang guru selama ini kalah hiruk pikuk daripada soal kontroversi UN atau kurikulum yang tak konsisten. Anggaran pendidikan yang belum 20% dianggap sebagai penghambat kemajuan pendidikan nasional. Isu guru ramai dalam rentang sertifikasi yang memiliki konsekuensi kenaikan pangkat-gaji, tapi belum tentu menjamin kualitas. Isu-isu tersebut seharusnya hanya menjadi catatan kaki dari isu yang lebih tragik; bahwa kita sangat kekurangan guru “berkualitas”. Secara kuantitas saja belum terpenuhi, apalagi secara kualitas dengan budaya pendidikan serta tujuan pendidikan yang kian hedonistik-konsumeristik. Guru-ideal Kehadiran guru sebagai figur sentral harus diupayakan terus menerus untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita yang masih karut marut. Kendati dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, guru telah menjadi profesi yang cukup menarik minat para mahasiswa calon guru. Terlebih jika menjadi guru PNS, menjadi impian banyak guru. Peran guru dalam dunia pendidikan mengalami titik nadir ketika dianggap sebagai sebuah profesi dengan konsekuensi gaji. Asketisme guru yang lekat dengan mitos pahlawan tanpa tanda jasa, luntur karena guru butuh gaji sebagai pemenuh kebutuhan hidup sehari-hari. Guru sebagai profesi telah “menjerumuskan” guru pada lubang hitam konsumerisme, yang mengandaikan relasi guru-siswa sebagai produsen dan konsumen dalam “ekonomi pendidikan”. Ini memang dilematis karena gaji guru honorer masih tak cukup untuk menutup kebutuhan primer. Apa yang dilakukan mereka akhirnya hanya bersifat sekadar. Sekadar datang ke sekolah, mengajar, menyampaikan ilmu pengetahuan (pelajaran), lalu pulang kembali untuk bergelut dengan keseharian manusia yang memiliki tanggung jawab ekonomi untuk diri sendiri maupun keluarga. Padahal tugas guru sangatlah berat. Maxime Greene menuturkan, guru memiliki proyek fundamental dalam kelas, dan dia harus menjadi perantara murid dengan dunia luar. Menjadikan murid peka terhadap situasi yang berkembang di masyarakat, untuk kemudian memahami gagasan-gagasan ideal di masyarakat (Paulo Freire dkk, 1999). Fungsi ideal tersebut merupakan tujuan mulia dari guru. Guru-penulis Sejarah pergerakan nasional tak lepas dari peran guru sebagai agen perubahan yang menurut Abdul Rivai (1902) disebut sebagai bangsawan pikiran (Latif; 1999). Politik etis yang diterapkan oleh Belanda mengakibatkan banyak warga pribumi yang mengenyam pendidikan ala Eropa (Belanda). Dari politik ini muncul nama-nama besar yang kita kenal sebagai pahlawan. Pendapat Abdul Rivai merupakan pengembangan dari peran guru dan jurnalis. Di masa kolonialisme, perubahan dimulai peranan dari dua kelas sosial-terpelajar ini untuk bergelut dengan problem sosial keangsaan yang masih terjajah. Perubahan bermula dengan kata dan bahasa untuk membakar semangat kaum muda menuntut kemerdekaan. Kata dan bahasa adalah milik para guru dan jurnalis. Kini kita mendapati bahwa guru yang bisa menulis dengan baik dan tulisannya memengaruhi masyarakat terbilang sedikit. Mereka lebih nyaman menggunakan buku panduan yang sudah ada. Para guru enggan menyusun diktat baru. Apa yang akan kita dapatkan dari guru yang buku-bukunya “out of date”? Lagi-lagi karena pendidikan kita tak mensyaratkan menulis sebagai poin untuk lulus. Skripsi barangkali adalah karya pertama dan terakhir calon guru yang tak memiliki keterampilan menulis dengan baik. Tak akan ada perubahan yang signifikan tanpa ada gerakan menulis dan memuliakan kata yang menjadi elan para guru. Terlalu riskan menggadaikan nasib anak-anak didik kita kepada guru-guru yang belum mencapai kualitas yang mumpuni. Hanya menjadi tukang transfer pengetahuan kepada anak-anak didik kita. Jika masih demikian, kita layak merasa skeptis, bahwa pemimpin Indonesia ke depan merupakan generasi inovatif-kreatif, melainkan hanya “generasi bebek”. Guru sebagai lokomotif perubahan layak dikembangkan sebegai gerakan revolusi-edukasi kita. Di tangan guru-guru, jutaan generasi muda dibimbing dan dididik untuk menjadi generasi muda yang tangguh, berkarakter, inovatif, dan memahami problema kebangsaan, mulai dari tingkat lokal sampai global.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil