Buku, Rezim, dan Seleksi Alam
Buku memang ditakdirkan untuk lahir
dari rahim sejarah yang dilematis. Buku akan berdialektika dengan konteks
sosial dan politik yang merangsang buku lahir sebagai dokumen sejarah. Penemuan
mesin cetak oleh Gutenberg menandai massifikasi percetakan buku dan melintasi
batas geografis. Gejala ini juga menandai penerjemahan buku di luar bahasa ibu
penulis.
Dunia
buku pun berkembang seiring perkembangan teknologi. Internet menjadi batas
antara buku kertas dan buku elektronik. Kertas tidak lagi menjadi satu-satunya
media untuk mencetak dan memublikasikan buku. Teknologi copy-paste
menandai buku menjadi barang yang bebas digandakan sesuai keinginan pengganda.
Inilah (r)evolusi buku, yang di Indonesia masih harus menghadapi rendahnya
minat baca dan krisis pembaca.
Rezim
Namun,
satu yang tak pernah berubah, hidup matinya peradaban buku tidak hanya
bergantung pada penulis, penerbit, dan pembaca, tapi juga kekuasaan (rezim).
Meski selalu saja ada penulis dan penerbit klandestin, yang menyusup di antara
tangan besi rezim kekuasaan yang mengontrol penerbitan dan peredaran buku.
Di satu
sisi buku adalah kabar gembira datangnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat yang
bergerak menuju sebuah peradaban yang progresif-sempurna. Di sisi lain buku
adalah ancaman bagi eksistensi rezim kekuasaan. Kekuasaan, sebagaimana
dikatakan oleh Macheviali, bisa menjadi tujuan yang dicapai dengan cara-cara
yang curang dan anarkis. Pelarangan buku adalah cara bagi rezim kekuasaan untuk
memberangus lawan-lawan politik dan melanggengkan otoritarianisme.
Hampir di semua negara sosialis dan
otoriter, akan membatasi dengan ketat buku-buku yang beredar di masyarakat. Keran
kebebasan berekspresi yang merupakan bagian HAM tak bisa dibuka
selebar-lebarnya. Penulisan buku yang dianggap subversif dan mengancam stabilitas
negara akan diancam dengan sanksi yang berat.
Orde Baru
mengamini hal itu dengan baik. Buku-buku yang beredar harus melalui sensor yang
ketat sebelum layak terbit. Imbas buku sebagai produk peradaban yang mampu
merangsang gerakan kolektif massa dalam menggulingkan rezim menjadi hantu yang
mengancam kekuasaan.
Di sini, kekuasaan telah menjadikan
buku sebagai alat propaganda dan hegemoni wacana. Antonio Gramsci mendefiniskan
hegemoni sebagai sebuah proses dominasi dalam memengaruhi, dan melesakkan
ideologi ke masyarakat dengan cara yang halus. Kebudayaan, buku, dan wacana
adalah alat hegemonik yang menata masyarakat pada satu konsensus yang
diinginkan rezim.
Indonesia di masa rezim Soeharto sangat
mengerti betul bagaimana sebuah buku akan menjadi ancaman serius jika tak
dibatasi penerbitan dan peredarannya. Maka buku-buku Pramoedya Ananta Toer, sebagai
representasi teori kritis masyarakat (meminjam istilah untuk mazhab frankfurt)
diberangus. Orde Baru paham benar sebagaimana Foucault merumuskan sebuah
hubungan integratif antara pengetahuan dan kekuasaan. Buku adalah representasi
pengetahuan, sedangkan Orde Baru adalah representasi kekuasaan. Pengetahuan
selalu punya efek terhadap kekuasaan.
Di antara
keduanya, sebagai titik singgung antara buku dan kekuasaan, muncul wacana sebagai
alat untuk menghasilkan output otoritarianisme yang kuat. Wacana dalam
pemerintahan otoriter menjadi anak kandung kekuasaan yang tidak akan dibiarkan
tumbuh secara organik. Pelarangan peredaran buku akan diimbangi dengan pengondisian
wacana yang hadir ke permukaan. Wacana bagi Foucault adalah elemen yang sahih
untuk membentuk opini publik yang sesuai hasrat rezim. Tegak-hancurnya sebuah
kekuasaan bergantung pula bagaimana wacana menjadi pondasi yang kuat bagi
bangunan kekuasaan tersebut.
Tidak hanya dalam aspek wacana dan
kebudayaan, buku dilarang melalui sebuah aturan, undang-undang. Undang-undang
No. 4/PNPS/1963 yang berkaitan dengan ketertiban umum memberi legitimasi bagi Jaksa
Agung sebagai lembaga yang berhak memutusperkarakan sebuah buku bisa terbit
atau tidak. Beruntung MK telah menganulir undang-undang tersebut sehingga
gairah penulisan buku diharapkan akan kembali muncul. Para penulis tidak perlu
takut lagi menuliskan ide-idenya, seliar apa pun ke dalam bentuk buku karena telah
dijamin kebebasannya.
Seleksi Alam
Putusan
MK ini sebetulnya mengembirakan
sekaligus menggelisahkan. Siapkah publik kita dicekoki dengan produk buku
lintas ideologi, lintas ide dan mengumbar kreativitas tanpa batas? Jika yakin
kita telah melewati masa transisi menuju demokrasi, prasyarat penting yang
perlu dibangun adalah public civilty (keadaban publik) yang memunculkan
sikap kritis masyarakat namun tidak anarkis. Kita masih disesaki dengan
peristiwa pembredelan dan pembakaran buku oleh sekelompok masyarakat atau
komunitas. Kultur adu wacana dan argumentasi masih absen di negeri ini.
Sekarang tinggal menyerahkan sebuah
buku sebagai produk kebudayaan yang akan mengalami seleksi alam. Artinya, masyarakat
yang menjadi penentu sebuah buku akan dibaca atau tidak. Hukuman ekonomis bahwa
buku tidak laku bisa menjadi alasan penulis untuk ngeper. Masyarakat
sebagai publik yang mengonsumsi buku, -dan wacana- menjadi entitas krusial
apakah ide-ide yang ditawarkan sebuah buku bisa menjadi elan positif atau
negatif. Di sini pendidikan publik, akses untuk menyampaikan keluhan dan
membangun ruang publik yang dinamis, dialogis, dan humanis untuk membicarakan
dan mewacanakan isi buku penting adanya.
Biarkan buku-buku hadir dalam seleksi
alamnya sendiri. Jika penulis adalah orang idealis, apakah penerbit juga akan
bersikap sama dengan penulis? Jika sebuah wacana tak laku, apakah penerbit mau
mengambil risiko rugi dengan menerbitkan buku itu? Rasanya tidak. Kalaupun ada,
jumlahnya sedikit. Karena kini rezim pragmatis dan konsumtif telah menggejala
di republik ini, termasuk dalam dunia buku.
Komentar