Dongeng dan Mentalitas Kancilisme
Dongeng
dikenal sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada seorang anak. Biasanya
disampaikan sebagai pengantar tidur anak atau disampaikan sebagai media pembelajaran
di kelas. Penyampaian dongeng sebelum tidur memiliki harapan agar anak yang
mendengar dongeng tersebut merekam dengan baik isi dan amanat yang mengandung
pesan-pesan kebajikan tersebut.
Karena
disampaikan untuk anak-anak, dongeng memiliki watak yang khas: hitam-putih.
Karakter dalam dongeng dijelaskan secara baik-jahat. Maka selalu muncul tokoh
pahlawan dan penjahat, protagonis dan antagonis. Yang semuanya berujung pada
pesan moral bahwa kebaikan selalu menang dan anak-anak harus berbuat baik agar
selalu menjadi pemenang.
Sebagai
bentuk pitutur atau sastra lisan, dongeng biasanya anonim. Tak diketahui
siapa pencipta dongeng. Dalam masyarakat yang tumbuh dalam budaya lisan seperti
kita, dongeng terus tumbuh secara alamiah, hidup dari generasi ke generasi.
Meski perannya kini tergantikan dengan budaya pitutur teknologi yang
lebih modern (film, sinetron).
Sejak
kecil kita tentu sudah akrab dengan dongeng Kancil dengan variannya. Kancil Nyolong Timun (Kancil Mencuri Ketimun),
Kancil dan Kerbau, Kancil dan Buaya, Kancil dan Keong, dan
lain sebagainya. Di situ ada
tokoh sentral, yakni Kancil yang digambarkan sebagai binatang yang cerdik
(licik?). Dalam semua dongeng tersebut, bagaimana diceritakan Kancil mampu berkelit
atau lepas ketika ia tertangkap.
Dalam
Kancil Mencuri Ketimun misalnya, meski Kancil tertangkap oleh Pak Tani,
kemudian dikurung, dan akan disembelih, tapi Kancil mampu lolos setelah menipu
hewan Pak Tani untuk menggantikannya dalam kurungan.
Kancil
dan Kerbau menceritakan bagaimana Kancil yang akibat kecerobohannya
terperosok dalam sumur. Ia tak bisa lepas, dan berhasil membuat Kerbau masuk ke
dalam sumur setelah menipu bahwa langit akan runtuh. Ketika kerbau masuk ke
dalam sumur, Kancil menggunakan tubuh Kerbau untuk naik ke atas.
Hanya
dalam Kancil dan Keong Berlomba Lari saja, di mana Kancil kalah oleh
kecerdikan Keong. Kancil yang sombong mengatakan bahwa dia tak mungkin kalah berlomba
lari melawan hewan melata seperti keong. Keong begitu cerdik dengan menempatkan beberapa Keong di pos-pos
tertentu. Saat Kancil bertanya, ”Keong, kamu
sampai mana?” Keong yang berada di pos di depan Kancil akan menjawab,
”aku di depanmu”.
Mentalitas Kancilisme
Pada
perkembangannya, dongeng Kancil ini terlihat ambigu. Bagaimana
menilai sosok Kancil tersebut? Apakah ia tokoh protagonis atau antagonis? Kancil Mencuri Timun jelas sebagai tokoh antagonis Karena ia
mencuri ketimun Pak Tani. Tapi lantas kenapa ia malah berhasil lolos dari sergapan
Pak Tani ketika ia ingin disembelih?
Jika
kita percaya bahwa dongeng sangat berpengaruh terhadap perilaku anak-anak, maka
kita patut curiga: jangan-jangan, naluri korupsi dan mencuri, oleh elite bangsa
ini karena warisan dari Dongeng Kancil Mencuri Timun (Komarudin
Hidayat, Politik Panjat Pinang).
Para
koruptor mungkin telah akrab dengan dongeng Kancil Mencuri Timun. Ketika
ia tertangkap, ia mencoba meloloskan diri dengan mengumpankan orang lain. Watak
Kancilisme inilah yang mendarah daging dalam memori kolektif bangsa ini. Di mana
mencuri bukan sebagai sebuah kesalahan. Dan meloloskan diri dari hukuman karena
kesalahan adalah sebuah prestasi karena berhasil ngibulin aparatus
negara.
Para
koruptor dengan baik menjalankan ”amanat” Sang Kancil. Bahwa untuk lolos, halal menggunakan orang
lain sebagai umpan. Maka muncullah apa yang sering disebut pengkambinghitaman
atau tumbal-tumbal politik. Tumbal yang dijadikan korban demi ambisi segelintir
orang untuk mencapai keinginan.
Dongeng Sinetron-Politik
Ketika
tradisi mendongeng luntur, dan digantikan dengan budaya visual, tidak lantas
anak-anak terlepas dari dongeng kancilisme yang ambigu tersebut. Televisi,
dengan sinetronnya, adalah dongeng kancil versi baru, dan lebih sadis.
Menyaksikan sinetron hari ini adalah menyaksikan parade keculasan, intrik
rebutan warisan, saling jegal, bentak-bentakan, dan karakter hitam-putih yang
begitu kentara. Karakter baik-buruk sangat atributif, sehingga penonton tak
perlu menebak lagi apakah dia si tokoh baik atau jahat.
Beberapa
waktu lalu kita juga disuguhi ”dongeng” baru, antara Polri dan KPK yang
dinisbatkan sebagai pertarungan ”Buaya VS Cicak” menjadi dongeng tersendiri di
masyarakat kita. Boleh jadi inilah dongeng politik paling santer terdengar di
Indonesia kerena melibatkan beberapa petinggi negara. Lalu dongeng Century,
dongeng Gayus, dongeng Anggodo yang menyadarkan kita betapa banyak orang-orang
bermental kancil, yang ingin selamat dengan mengorbankan yang lain.
Kita
juga tak bisa lagi menilai hitam-putih. Siapa yang benar dan salah. Apakah
kekuasaan bisa menjadi legitimasi untuk membenarkan segala tindakannya? Ataukah
yang mendapat dukungan (simpati) publik adalah pihak yang benar? Kebenaran itu
sederhana, tak perlu diperdebatkan dengan segala macam pengetahuan hukum, delik
kasus, alibi atau apapun yang bersifat teknis-prosedural.
Komentar