Gardu Facebook




Oleh Junaidi Abdul Munif

            Gardu menjadi penanda fisikal-kultural di sebuah masyarakat yang menganut prinsip gotong royong. Awalnya gardu hadir memang sebagai pos jaga; menjaga ketertiban dan keamanaan desa. Para warga digilir untuk piket jaga, dengan kenthongan berfungsi sebagai sirene peringatan dengan kode ketukan yang menandakan bahaya yang sedang mengancam.
            Sejarah gardu menyimpan sejarah yang panjang sejak masa kolonial hingga reformasi. Dalam bahasa kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) gardu menjadi “anjing penjaga” akan hadirnya liyan, the others yang diduga mengancam stabilitas kampung. Orde Baru pun setali tiga uang. Menjadikan gardu sebagai alat kontrol masyarakat akan hadirnya instabilitas dari luar.
            Setelah itu gardu mati suri seiring melemahnya otoritas Orde Baru yang memuncak pada turunnya Soeharto pada 1998. Reformasi dan tragedi Banyuwangi pada 1999 yang mengorbankan para kyai-kyai dengan isu dukun santet turut andil menghidupkan kembali fungsi gardu. Salah satu parpol saat itu identik dengan gardu yang tinggi, mencolok dengan warna dan atribut partai.  
            Di kota-kota, fungsi gardu kembali lagi ke fungsi sebagai alat pengaman masyarakat dan kompleks perumahan. Di setiap gang, gardu atau pos jaga (juga dengan portal) selalu ditunggui oleh pos satpam yang siap di tempat selama 24 jam. Kultur masyarakat kota yang individualis, kondisi sosiologis kota yang rentang dengan tindakan kriminal memang memerlukan gardu sebagai seleksi awal orang asing yang masuk.
            Ketika memasuki gang di perkotaan, petugas akan menyetop, bertanya mau ke rumah siapa, dan bahkan memberikan kartu tamu kepada siapa saja yang bertamu. Kartu adalah keyword dan pasword untuk keluar masuk di kompleks itu.   
Tapi di kampung-kampung atau gang-gang pinggiran, pos jaga ini tak selalu dijaga oleh petugas berseragam. Penjagaan dilakukan secara sawadaya masyarakat. Di sini, yang terjadi sebetulnya adalah ketersesakan masyarakat pingggiran yang tak mampu meraih akses terhadap ruang publik.  
Gardu menjadi semacam ruang sosial atau ruang publik, tapi tak sementereng konsep ruang publik politis yang digambarkan oleh Juergen Habermas, filsuf Jerman itu. Ini hanyalah gardu biasa, tempat ngumpul orang-orang kampong, melepas penat setelah seharian bekerja.
            Di gardu segala obrolan bebas meluncur, meski tak jarang nyerempet ke urusan politik dan kasus besar bangsa ini. Gardu juga menjadi tempat berkumpul “duda sementara” karena ditinggal istrinya jadi TKW ke luar negeri. Seperti galibnya kampung, gardu juga tempat untuk sambung rasa, curhat antar warga. Kadang laiknya diskusi, ngomong politik, budaya, agama, dan folklore kampung terselip di antara gelak tawa dan kebul asap rokok warga.
            Hasrat akan hadirnya sebuah komunitas dan komunalitas yang menjadi naluri ciri khas warga kampung tetap menjadikan gardu sebagai ruang publik. Penggunaan gardu sebagai tempat mabuk dan nongkrong para preman kampung hanya kasuistis dan temporal.    
Gardu selain menjadi ruang publik, juga menjadi ruang eskapisme masyarakat yang terimpit problematika ekonomi kehidupan yang membuat mereka semakin tersisih. Kehidupan masyarakat kampung dan pinggiran memang cenderung homogen; siang kerja dan malam istirahat. Di malam harilah, orang-orang menuju gardu demi hasrat melepas penat setelah siang hari digempur dengan urusan perut. Di gardu mereka menyalurkan hasrat berbagi kepada orang lain, melarikan diri sejenak dari silang sengkarut kehidupan.
Namun orang kota membangun gardu lain; facebook. Komunitas dan komunalitas bertemu, bergaul, diskusi, curhat, ngegosip, juga melarikan segala penat hiruk pikuk perkotaan. Kebutuhan manusia sepanjang zaman selalu sama, membutuhkan orang lain, homo homini socius. Aha, gardu beranjak dari ruang fisik ke ruang maya.

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil