Fatwa Haram Pengiriman TKI; Sebuah Solusi?





            Pasca eksekusi hukuman pancung terhadap Ruyati, TKW asal Bekasi di Arab Saudi, kondisi di dalam negeri sudah patut diduga; heboh! Presiden membentuk semacam satgas TKI, Menlu dipanggil DPR, Menarkertrans “mengadem ayemi” dengan moratorium, aktivis menggelar demonstrasi, dan MUI mengeluarkan fatwa haram pengiriman TKI.
            Semua sah-sah saja karena persoalan hukuman pancung kepada Ruyati bukan hanya persoalan individu Ruyati, melainkan persoalan harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata negara lain. Jika masalah Ruyati tidak selesai, akan banyak Ruyati-Ruyati lain yang menunggu eksekusi.
            Lantas mampukah fatwa haram pengiriman TKI yang dikeluarkan oleh MUI mampu menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri? Saya merasa skeptis fatwa MUI kesekian kali ini akan dapat dipatuhi oleh masyarakat. Mengingat fatwa-fatwa MUI terdahulu seperti “menguap” begitu saja. Ada banyak variabel yang membuat fatwa ini seakan menemui kebuntuan.
            Pertama, terkait fatwa MUI sendiri yang tidak mengikat secara umum. Fatwa hanya bersifat anjuran. Tidak mematuhinya tidak akan menimbulkan sanksi hukum. Sanksi hanya bersifat moral. Dan moral di negeri ini sering kalah dengan urusan perut.
            Kedua, pengiriman TKI merupakan medan bisnis yang besar dan melibatkan para pemain dari tingkatan elite politik, negara, PJTKI, serta masyarakat sendiri yang banyak mendapatkan keuntungan ekonomis. Pembangkangan fatwa ini memang tak akan berlangsung gegap gempita di permukaan, hanya berlangsung di bawah tanah.
            Ketiga, pengiriman TKI hanyalah pintu masuk terakhir untuk membuat warga negara di Indonesia bisa lolos menjadi TKI. Sebelumnya ada faktor-faktor lain, semisal, pemalsuan paspor dan identitas calon TKI, serta tak adanya seleksi yang ketat sebagai syarat menjadi TKI.
            Lebih dari itu semua, negara manjadi faktor determinan mengapa permasalahan TKI ini selalu muncul-tenggelam-muncul tanpa pernah ada optimisme untuk terselesaikan.      

Pemiskinan Struktural

Faktor yang mendasar dari silang sengkarut urusan TKI bermula dari ketidakmampuan pemerintah memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat. Contoh yang paling kentara adalah pendidikan menjadi syarat penting dalam rekrutmen pekerja. Mereka yang memiliki ijazah tinggi bisa masuk kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Membludaknya lulusan SMA dan sarjana tak sebanding dengan pekerjaan yang ditawarkan kepada mereka. Akibatnya kita kebanjiran pengangguran terdidik-intelektual (sarjana) dan pengangguran usia produktif (lulusan SMA). Sedangkan untuk membuka usaha sendiri (entrepeneur), mentalitas kolektif masyarakat masih berpijak pada mentalitas pekerja dan PNS.    
            Karena itu persaingan untuk mendapatkan pekerjaan melahirkan kompetisi yang sangat ketat. Sementara banyak lowongan pekerjaan di koran mensyaratkan pengalaman kerja beberapa tahun dan usia maskimal. Kompetisi menjadi lebih sengit lagi karena “filter” (kualifikasi) calon pekerja tambah ketat.
Apa pun akan dilakukan asal dapat kerja atau menjadi PNS, termasuk menyuap. Maka di masyarakat muncul semacam paradigma; jangankan untuk menadapatkan gaji yang layak, sudah mendapatkan pekerjaan saja merupakan berkah yang luar biasa. Pekerja (buruh) tak memiliki hak tawar di mata pengusaha dan pemerintah.
Dari sini kemudian terjadi fenomena “pengabaian” pada keselamatan kerja, penuntutan hak-hak pekerja, dan ketidakacuhan pada kebijakan-kebijakan pekerja sendiri. Karena jika hal itu dilakukan akan dapat mengancam pekerjaannya. PHK dan pemutusan kontrak menjadi ancaman serius bagi mereka yang telah bekerja.
            Mereka yang menjadi TKI di luar negeri, terutama ke Saudi Arabia dan Malaysia, hampir-hampir tak mensyaratkan pendidikan minimum. Bahkan dulu ada tetangga saya yang tak bisa membaca dan menulis pun bisa berangkat ke Malaysia. Ini tentu saja merepotkan jika mereka harus melakukan kontrak tertulis atau memahami peraturan keselamatan diri di dalam dan di luar negeri.
            Telah terjadi pemiskinan struktural oleh negara karena membiarkan kompetisi mendapat pekerjaan hanya berlaku untuk mereka yang mengenyam pendidikan. Mereka yang tak memiliki ijazah “berkompetisi” di pekerjaan informal.   

Konvensi ILO

Dalam Konvensi ILO ke-100 di Jenewa beberapa hari sebelum eksekusi Ruyati, SBY menyampaikan pidato di sesi high level plenary yang menjadi agenda penutup sidang. Sidang ILO tersebut menghasilkan pengesahan mengenai perlindungan pekerja rumah tangga.
            Pemerintah, dalam dokumen-dokumen kebijakan ketenagakerjaan, menyebut pekerja rumah tangga sebagai pekerja tidak terampil (unskilled workers) atau pekerja tidak resmi (infromal workers). Faktor inilah yang menyebabkan para TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mengalami kebijakan diskriminatif (Wahyu Susilo, Media Indonesia, 27/6/11).
            Ketidakmauan pemerintah meratifikasi hasil konvensi ILO, di mana pekerja rumah tangga diakui sebagai pekerja seperti pekerjaan lainnya, akan sulit mengubah kebijakan dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Pekerja rumah tangga hanya menjadi pelengkap penderita saja. Mereka sangat dibutuhkan tapi tak pernah diperlakukan secara layak.  
            Dari pada hanya retorika dan fatwa, lebih elok jika pemerintah membenahi masalah kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan di dalam negeri. Ada dua opsi yang bisa dilakukan. Pertama, pemerintah membuka kesempatan bekerja dan membuka usaha seluas-luasnya kepada masyarakat. Kedua, pemerintah meratfikasi konvensi ILO 2011 yang lebih memartabatkan pekerja ruamh tangga.
Kalau dua opsi ini tak dilakukan salah satunya, harapan hujan emas di negeri tetangga lebih menarik dari pada hujan batu di negeri sendiri. Fatwa jalan terus, mengirim TKI juga jalan terus.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil